Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ekonom: Penguncian dan Panik Belanja Dapat Picu Inflasi Dunia

Rudi Hendrik - Ahad, 22 Maret 2020 - 12:25 WIB

Ahad, 22 Maret 2020 - 12:25 WIB

13 Views

Penguncian dan panik berbelanja makanan akibat pandemi virus corona (COVID-19) dapat memicu inflasi pangan dunia meskipun ada banyak pasokan biji-bijian pokok dan biji minyak di negara-negara pengekspor utama. Demikian seorang ekonom senior di Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) Abdolreza Abbassian.

Negara-negara terkaya di dunia mencurahkan bantuan yang belum pernah terjadi sebelumnya ke dalam ekonomi global, ketika kasus-kasus virus corona menggelembung di seluruh Eropa dan AS, dengan jumlah kematian di Italia melebihi di daratan Cina, tempat virus itu berasal.

Dengan lebih dari 270.000 infeksi dan 11.000 kematian, pandemi ini mengejutkan dunia dan membandingkannya dengan periode seperti Perang Dunia II dan pandemi flu Spanyol 1918.

“Ini bukan masalah pasokan, tetapi ini adalah perubahan perilaku terhadap keamanan pangan,” kata Abbassian kepada kantor berita di Inggris melalui telepon dari Roma, markas FAO.

Baca Juga: Hadiri Indonesia-Brazil Business Forum, Prabowo Bahas Kerjasama Ekonomi 

“Bagaimana jika pembeli massal berpikir mereka tidak bisa mendapatkan pengiriman gandum atau beras pada Mei atau Juni? Itulah yang dapat menyebabkan krisis pasokan pangan global,” katanya.

Konsumen di seluruh dunia dari Singapura hingga AS telah mengantri di supermarket dalam beberapa pekan terakhir untuk persediaan barang-barang, mulai dari beras dan pembersih tangan hingga kertas toilet.

Patokan global berjangka gandum Chicago naik lebih dari 6 persen pekan ini, kenaikan pekanan terbesar dalam sembilan bulan. Sementara harga beras di Thailand, eksportir biji-bijian terbesar ke-2 dunia, telah naik ke level tertinggi sejak Agustus 2013.

Industri biji-bijian Perancis kesulitan menemukan truk dan staf yang cukup untuk menjaga pabrik dan pelabuhan tetap beroperasi karena paniknya pembelian pasta dan tepung bertepatan dengan lonjakan ekspor gandum.

Baca Juga: Rupiah Berpotensi Melemah Efek Konflik di Timur Tengah

Pembatasan yang diberlakukan oleh beberapa negara Uni Eropa di perbatasan mereka dengan negara-negara anggota lainnya dalam menanggapi pandemi, juga mengganggu pasokan makanan, kata perwakilan industri dan petani.

Namun, stok gandum global pada akhir tahun pemasaran tanaman pada Juni diproyeksikan naik menjadi 287,14 juta ton, naik dari 277,57 juta ton tahun lalu, menurut perkiraan Departemen Pertanian AS (USDA).

Stok beras dunia diproyeksikan 182,3 juta ton dibandingkan dengan 175,3 juta ton setahun lalu.

Namun, menurut para pengamat, logistik cenderung menjadi masalah global utama.

Baca Juga: Komite Perlindungan Jurnalis Kutuk Israel atas Tebunuhnya Tiga Wartawan di Lebanon

“Ada sekitar 140 juta ton jagung yang masuk dalam etanol di AS dan beberapa di antaranya dapat digunakan untuk makanan karena tidak akan diperlukan untuk bahan bakar, mengingat penurunan harga minyak,” kata Ole Houe, Direktur Layanan Konsultasi di broker IKON Commodities.

“Kekhawatirannya adalah memiliki makanan pada waktu yang tepat di tempat yang tepat,” katanya.

Pembeli Asia tidak aktif pekan ini dengan ketidakpastian yang menjulang di pasar.

“Kami tidak yakin dengan permintaan itu. Akan seperti apa bulan Juni atau Juli?” kata seorang manajer pembelian yang berbasis di Singapura di sebuah perusahaan penggilingan tepung yang beroperasi di Asia Tenggara. “Bisnis restoran sedang turun, akibatnya permintaan agak lunak sekarang.”

Baca Juga: OJK Dorong Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah untuk Santri di Kalteng

Para importir gandum Asia, termasuk importir utama kawasan ini, telah mengambil sebagian besar kargo dari wilayah Laut Hitam di tengah kelebihan pasokan global.

Negara-negara pengekspor minyak di Timur Tengah, yang juga importir biji-bijian, kemungkinan akan merasakan lebih banyak kesulitan keuangan dengan minyak mentah kehilangan lebih dari 60 persen nilainya tahun ini.

“Kapasitas eksportir minyak bersih untuk membeli biji-bijian telah menurun mengingat jatuhnya harga minyak dan depresiasi dalam mata uang,” kata Abbassian dari FAO.

“Akan ada lebih sedikit kapasitas untuk mengambil tindakan kebijakan untuk meningkatkan ekonomi.” (AT/RI-1/P1)

Baca Juga: Wapres: Ekonomi Syariah Arus Baru Ketahanan Ekonomi Nasional

 

Sumber: Arab News

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Ketum Muhammadiyah: Jadikan Indonesia Pusat Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Kolom
Indonesia