Fatwa Imaamul Muslimin (Hizbullah) Tentang Shalat Jumat dalam Situasi Wabah

Cileungsi, MINA – Imaamul Muslimin (Hizbullah) Yakhsyallah Mansur , Kamis (26/3), mengeluarkan tentang Shalat Jumat dalam Situasi Wabah seperti pandemi virus corona (COVID-19) :

Berdasarkan:

1. Al-Qur’an:

a. Q.S. Al-Jumu’ah [62]: 9

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ (الجمعة [٦٢]: ٩)

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Jumu’ah [62]: 9)

b. Q.S. Al-Baqarah [2]: 185

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ (البقرة [٢]: ١٨٥)

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 185)

c. Q.S. An-Nisa [4]: 28

يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا (النساء [٤]: ٢٨)

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (Q.S. An-Nisa [4]: 28)

d. Q.S. Al-Hajj [22]: 78

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ ۚ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ… (الحج [٢٢]: ٧٨)

“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama…” (Q.S. Al-Hajj [22]: 78)

2. As-Sunnah:

a. H.R. Muslim

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِينَ (رواه مسلم)

“Janganlah diulang lagi oleh kaum-kaum yang suka meninggalkan shalat Jum’at, karena siapa yang sering meninggalkannya, niscaya Allah akan membutakan hati mereka dan akhirnya niscaya menjadi orang yang melupakan (terhadap kebenaran).” (H.R. Muslim)

b. H.R. Abu Dawud

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيْضٌ (رواه أبو داود)

“Shalat Jum’at haq yang wajib atas tiap-tiap muslim dalam jama’ah, selain dari empat orang: budak yang dimiliki, wanita, anak kecil, dan orang sakit.” (H.R. Abu Dawud)

c. H.R. Abu Dawud

كُنَّا مَعَ النَّبِيّ ﷺ زَمَنَ الْحُدَيْبِيَّةِ وَأَصَبْنَا مَطَرٌ لَمْ يَبُلَّ أَسْفَلَ نِعَالِنَا فَنَادَي مُنَادِي رَسُوْلِ اللهِ ﷺ أَنْ صَلُّوْا فِي الرِّحَالِ (أبو داود)

“Dahulu kami bersama Nabi ﷺ pada waktu Hudaibiyah dan hujanpun menimpa kami, (tapi hujan tersebut) tidak sampai membasahi sandal-sandal kami. Lalu mu’adzin Rasulullah ﷺ mengumandangkan: Shallu fiil Rihaal”. (H.R. Abu Dawud)

d. Abu Dawud

أَنَّهُ (الْمَلِيْحَ) شَهِدَ النَّبِيَّ ﷺ زَمَنَ الْحُدَيْبِيَّةِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَأَصَابَهُمْ مَطَرٌ لَمْ تَبْتَلْ أَسْفَلَ نِعَالِنَا فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُصَلُّوْا فِى رِحَالِكُمْ (رواه أبو داود)

“Sesungguhnya dia (Malih) bersama Nabi ﷺ pada waktu Hudaibiyah di hari Jum’at dan hujan pun menimpa mereka tidak sampai membasahi sandal-sandal kami. Lalu Rasulullah ﷺ memerintahkan mereka, “Agar shalat di tempat kalian.” (H.R. Abu Dawud)

e. Abu Dawud

مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِيَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلَاةُ الَّتِى صَلَّى قَالُوْا وَمَا الْعُذْرُ قَالَ خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ (رواه أبو داوُد)

“Barang siapa yang mendengar adzan shalat dan tidak mendatanginya, maka tidak sah shalatnya, kecuali karena udzur.” Para sahabat bertanya: “Apakah udzur itu?”, beliau menjawab: “Takut atau sakit.” (H.R. Abu Dawud)

f. H.R. At-Tirmidzi

مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ (رواه الترمذي)

“Barang siapa yang meninggalkan tiga kali shalat Jum’at, karena meremehkannya (tanpa udzur), maka Allah akan mengecap (kemunafikan) pada hatinya.” (H.R. At-Tirmidzi)

3. Pendapat Ulama

a. “Rasulullah ﷺ dan para sahabat ketika bepergian waktu melaksanakan haji, tidak melaksanakan shalat Jumat tetapi melaksanakan shalat Zhuhur” (Irwaul Ghalil: III/60, Talkhisul Habir: II/63)

b. “Tidak wajib shalat Jum’at atas orang yang sakit, meskipun shalat Jum’atnya orang kampung terlewat (tidak dapat dilaksanakan) karena tanpa kehadirannya yang menjadikan kurangnya jumlah jamaah. Dan sakit yang menggugurkan kewajiban shalat Jum’at, hanyalah sakit yang menyebabkan kesulitan yang jelas, bukan hanya perkiraan. Orang yang sakit diare yang tidak dapat menahannya, maka haram baginya shalat Jum’at karena menyebabkan masjid menjadi najis akibat terkotori oleh kotorannya. Inti dari pendapat di atas adalah bahwa orang yang tidak mampu pergi atau mengalami kesulitan ke masjid, tidak wajib melaksanakan shalat Jum’at.” (Dr. Amir Abdul Azizi: Fiqhul Kitab Wa Sunnah, juz 5, hal. 2887)

4. Kaidah Fiqhiyyah

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Menolak kerusakan didahulukan dari pada mencari kemaslahatan”

الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ

“Bahaya harus dicegah dalam batas kemampuan”

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

“Kebijakan Imaam terhadap rakyat harus mengikuti kemaslahatan”

5. Pembahasan

Berdasarkan dalil-dalil di atas (Q.S. Al-Jumu’ah [62]: 9) dan hadis riwayat Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi di atas, para ulama menetapkan bahwa hukum shalat Jum’at adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki, sehat dan muqim (penduduk suatu tempat / tidak bepergian).

Kewajiban shalat Jum’at ini gugur karena berbagai sebab sesuai prinsip syariah yang memudahkan dan tidak mempersulit (Q.S. Al-Baqarah [2]: 185, An-Nisa [4]: 28, Al-Hajj [22]: 78). Di antara penyebab gugurnya shalat Jum’at adalah sakit dan kondisi yang menyulitkan, seperti hujan, jalan becek, bepergian, merawat orang tua yang tidak ada yang mengurusi, menunggui orang yang sakit parah, dan sebagainya.

COVID-19 adalah virus corona disease, penyakit menular yang disebabkan oleh virus corona yang ditemukan pada tahun 2019. Penyakit ini sekarang menjadi wabah pandemi yang menjangkiti hampir di seluruh pelosok bumi. Sampai saat ini sudah ada 198 negara yang terjangkiti virus ini.

Virus ini apabila tidak dicegah akan menimbulkan bahaya lebih besar yang dapat mengenai siapa saja. Salah satu penyebaran virus disebabkan social contact (kontak sosial) di antara manusia, dan dapat dicegah melalui social distancing (pembatasan sosial).

Shalat Jum’at karena disyaratkan berjama’ah akan mengakibatkan terjadi kontak sosial tersebut dan dikhawatirkan akan terjadi penularan di antara orang yang berjama’ah.

Oleh karena itu, perlu ditetapkan fatwa yang dapat dijadikan pedoman pelaksanaan shalat Jum’at dalam situasi wabah COVID-19 atau yang semisalnya.

6. Kesimpulan:

Shalat Jum’at boleh ditinggalkan dan diganti dengan shalat Zhuhur apabila suatu daerah masuk dalam zona merah (zona yang memiliki potensi penularan tinggi) yang ditetapkan oleh pihak yang berkompeten.

Bogor, 1 Sya’ban 1441 H. / 26 Maret 2020 M.

IMAAMUL MUSLIMIN

YAKHSYALLAH MANSUR

(TR7/RS2)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.