Freeport Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi

Oleh: Dr. Fahmy Radhi, MBA, Pengamat Ekonomi Energi UGM

Penandatangan Head of Agreement (HoA) pada 12 Juli 2018 menandakan proses awal pengambilalihan (divestasi) saham . Kepemilikan saham yang sebelumnya hanya 9,36% naik menjadi 51%, yang 10% diserahkan kepada Pemerintah Daerah Papua dalam bentuk Participating Interest (PI).

Setelah setengah abad, bangsa Indonesia akan dapat menguasai mayoritas 51% saham Freeport, yang diperoleh dari proses perundingan panjang dan berliku berdasarkan prinsip-prinsip perundingan internasional.

Proses panjang diawali dengan persetujuan Kontrak Karya (KK) pertama (KK-1) yang ditandatangani pada 1967, berdasarkan Undang-undang No 11/1967 tentang Modal Asing, yang 100% saham dikuasai oleh perusahaan asing Mc. Moran.

Empat tahun setelah KK-1, Indonesia baru mendapatkan bagian saham sebesar 9,36% yang diberikan pada 1971. Setelah KK-1 berlangsung selama 30 tahun, pada 1997 KK Freeport diperpanjang lagi selama 30 tahun ke depan hingga KK baru akan berakhir pada tahun 2021.

Selama 50 tahun, Pemerintah Indonesia tetap saja memegang saham minoritas hanya sebesar 9,36%, sedangkan Freeport McMoran Inc menggenggam saham mayoritas sebanyak 90,64%. Ironisnya, deviden, yang porsinya kecil, kerap kali tidak dibayarkan, dengan alasan kebijakan laba ditahan untuk modal ekspansi. Royalti yang diberikan kepada Pemerintah Indonesia juga sangat kecil, antara 1%-3,5%.

Dalam perjanjian perpanjangan KK-2, yang ditandatangani pada tahun 1997, sebenarnya sudah memasukan ketentuan divestasi secara bertahap hingga mencapai 51% paling lambat pada tahun 2011. Namun, Freeport berupaya untuk tetap menguasai mayoritas saham dengan melancarkan trik jual-beli kembali (sell and buy back) dan penetapan harga divestasi saham mahal (expensive pricing)

Penerapan trik sell and buy back dilancarkan pada 1991 dengan menawarkan 10% saham kepada Pemerintah Indonesia, yang merupakan syarat perpanjangan KK selama 30 tahun ke depan. Dengan alasan Pemerintah tidak memiliki kecukupan dana, saham 10% yang merupakan jatah Pemerintah, dijual kepada Pengusaha Abu Rizal Bakri.

Beberapa tahun kemudian, 10% saham itu dijual kepada Pengusaha Bob Hasan, lalu dijual kembali kepada Freeport, sehingga Freeport tetap menguasai saham sebesar 91,64%.

Lima tahun menjelang berakhirnya KK-1 pada 2017, Freeport kembali melancarkan trik sell and buy back dengan menawarkan 20% saham kepada Pemerintah sebagai syarat perpanjangan KK hingga 2041. Pembicaraan perpanjangan KK melibatkan CEO PTFI Syamsudin, Ketua DPR Setya Novanto, dan Pengusaha Muhammad Reza Chalid .

Namun, modus sell and buy back, yang lebih dikenal sebagai skandal “Papa Minta Saham”, gagal diterapkan lantaran dibongkar oleh Menteri ESDM Sudirman Said. Lagi-lagi, Freeport tetap menguasai mayorias saham 91,64%

Trik expensive pricing diterapkan pada saat Freeport harus menjual 10,64% saham kepada Pemerintah Indonesia. Freeport menetapkan harga saham sangat mahal  sebesar US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp. 22,1 triliun (pada saat itu US$ 1 setara Rp. 13.000).

Asumsinya, KK akan diperpanjang selama 20 tahun, maka cadangan diperhitungkan hingga 2041. Konsekwensinya, harga saham ditawarkan saat itu sangat tinggi, bahkan cenderung over value. Pemerintah menolak tawaran harga sebesar itu, sehingga Freeport tetap saja menggegam 90,64% mayoritas saham, saham Indonesia masih saja 9,36%.

Sejak awal Pemerintahan Joko Widodo sudah bertekat untuk mengambil alih Freeport dengan menguasai 51% saham Freeport melalui perundingan, yang diwakili Menteri ESDM, Menteri BUMN dan Menteri Keuangan, menawarkan kepada Freeport untuk mengubah KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Awalnya Freeport menolak keras IUPK, bahkan Freeport sempat mengancam untuk mengadukan Indonesia ke Arbitasi International, menghentikan produksi, dan PHK besar-besaran, jika Pemerintah Indonesia memaksakan pemberlakuan IUPK.

Di luar dugaan, Freeport menyetujui kesepakatan kerangka dasar (framework), yang diumumkan ke publik pada 29 Agustus 2018. Kerangka dasar yang disepakati adalah perubahan KK menjadi IUPK, dengan persyaratan: smelterisasi, divestasi 51% saham Freeport, dan penerimaan negara yang lebih tinggi dari pajak dan royali. Dalam kesepakatan kerangka dasar itu, Pemerintah menyetujui perpanjangan operasi Freeport 2×10 tahun dan memberikan jaminan kepastian investasi.

Meskipun sudah menyetujui kesepakatan kerangka dasar, Freeport menolak usulan pemerintah terkait penetapan harga saham divestasi, yang dihitung berdasarkan nilai asset dan cadangan hingga tahun 2021.

Freeport tetap bertahan pada penetapan harga divestasi saham yang mencerminkan nilai pasar wajar adalah dengan memperhitungkan nilai asset dan cadangan hingga tahun 2041. Tidak bisa dihindari terjadi lagi dead lock dalam perundingan.

Di tengah ancaman alotnya dead lock, Tim Perunding Pemerintah memutuskan untuk membeli participating interest (PI) Rio Tinto, yang ada pada  PTFI sebanyak 40%. Freeport pun juga menyetujui keputusan Indonesia untuk membeli PI sebagai bagian dalam proses divestasi 51% saham Freeport.

Namun, perundingan kembali dead lock lantaran antara Inalum dan Rio Tinto tidak menyepakati penetapan harga jual PI dan tahapan konversi PI menjadi saham.

PI 40% dapat dikonversi menjadi saham, yang nilainya diperkirakan setara dengan 36,14% saham PT FI. Kalau ditambah existing saham sebesar 9,64%, maka total saham Pemerintah Indonesia menjadi sebesar 45,78% (36,14% + 9,64%). Untuk mencapai 51% saham Freeport, Pemerintah masih membutuhkan divestasi saham Freeport sebesar 5,22% (51%-45,78).

Setelah melalui jalan panjang dan berliku yang dijalani dengan penuh kesabaran, akhirnya pada 12 Juli 2018, Pemerintah Indonesia, Freeport Mc MoRan dan Rio Tinto sepakat untuk menandatangani HoA.

Inalum mengeluarkan dana sebesar US$3,85 miliar untuk membeli 40% PI Rio Tinto di PTFI dan  saham Freeport di PT Indocopper Investama 9,36% saham di PTFI. Genap lah sudah Indonesia mengusai mayoritas 51% saham Freeport.

Berdasarkan perjanjian KK, jika Pemerintah dan Freeport sepakat mengakhiri KK pada 2021, Tambang memang dikembalikan, tetapi Pemerintah harus membeli seluruh asset dan perlatan dengan nilai buku, yang diperkitrakan sekitar US$ 6 miliar. Pengeluaran dana divestasi saham sebesar US$3,85 miliar lebih murah dibanding pengeluaran dana pengambilalihan Freeport pada 2021.

Penguasaan 51% saham Freeport akan memberikan beberapa manfaat ekonomi, di antaranya: peningkatan pendapatan dari deviden, pendapatan pajak dan royalty, yang akan ditentukan dari besaran pendapatan tahun berjalan PTFI.

Berdasarkan laporan keuangan tahun 2017 yang telah diaudit, PTFI membukukan Earning After Tax (EAT) sebesar US$ 4,44 miliar, naik dari US$ 3,29 miliar di tahun 2016. Dengan EAT sebesar itu, jangka waktu pengembalian (Pay Back Period) pengeluaran divestasi saham US$ 3,85 miliar diperkirakan selama 3 tahun.

Pendapatan kekayaan deposit emas, dengan nilai cadangan diperkirakan sebesar  US$ 42 miliar, cadangan tembaga US$ 116 miliar, dan cadangan perak US$ 2,5 miliar, total cadangan terbukti (proven) mencapai US$ 160 miliar atau setara Rp 2.290 triliun. Cadangan itu diperkirakan dapat diekplorasi dan eksploitasi hingga tahun 2060.

Pembangunan smelter memberikan nilai tambah dari pengolahan konsentrat menjadi Emas, Perak, dan Tembaga, juga membuka lapangan pekerjaan untuk dipekerjakan di sejumlah smelter yang akan dibangun. Smelterisasi itu akan memberikan multiplier effect yang memicu usaha-usaha yang terkait, yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah

Penguasaan mayoritas saham Freeport itu, tidak hanya menandai awal pengembalian Freeport ke Pangkuan Ibu Pertiwi, tetapi juga mengembalikan kedaulatan energi kepada Negara Republik Indonesia dalam pengelolaan tambang di Bumi Papua.

Selain itu, penguasaan 51% saham Freeport juga akan memberikan manfaat ekonomi yang dapat dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sesuai amanah konstitusi UUD 1945, utamanya rakyat Papua. (A/R06/RS3)

Mi’raj News Agency (MINA)