MEDIA sosial telah menjadi ruang bermain baru bagi anak-anak, namun di balik warna-warni kontennya tersimpan ancaman yang jauh lebih gelap dari yang banyak orang bayangkan. Berbagai penelitian global menunjukkan bahwa anak-anak di bawah usia 17 tahun menghadapi risiko kerusakan mental yang signifikan ketika terpapar media sosial tanpa kontrol. Laporan Royal College of Psychiatrists menemukan bahwa lonjakan gangguan kecemasan pada remaja meningkat 70% setelah maraknya penggunaan smartphone dan media sosial.
Di sisi lain, studi Harvard menunjukkan bahwa anak-anak yang menghabiskan lebih dari tiga jam per hari di platform digital memiliki kemungkinan dua kali lipat mengalami depresi. Bahkan, data dari UNICEF memperkirakan bahwa satu dari tiga anak pengguna internet pernah mengalami perundungan digital, pelecehan, atau paparan konten berbahaya. Fakta-fakta ini menampar kesadaran kita: ada masalah besar yang sedang tumbuh di tangan anak-anak kita, dan seringnya kita sebagai orang tua terlambat menyadarinya.
Negara-negara mulai bergerak. Prancis membahas regulasi ketat pembatasan penggunaan ponsel bagi anak di bawah 15 tahun. Inggris sedang mempertimbangkan usia minimal 16 tahun untuk akses media sosial. Dan Malaysia telah mengumumkan kebijakan mengejutkan: mulai 2026, anak di bawah 18 tahun dilarang menggunakan media sosial tanpa verifikasi identitas dan persetujuan orang tua.
Lalu bagaimana Indonesia? Hingga kini, belum ada regulasi tegas yang secara eksplisit melarang penggunaan media sosial bagi anak di bawah usia tertentu. Perlindungan lebih banyak bergantung pada literasi digital keluarga dan kebijakan masing-masing platform. Padahal ancaman berada tepat di depan mata: ketergantungan, kecanduan, pornografi, perundungan digital, hingga manipulasi algoritma yang menggerus kepribadian dan akhlak anak.
Baca Juga: Saat Lembaga Pendidikan Hanya Jadi Lumbung Cuan
Di banyak rumah, anak-anak menghabiskan waktu berjam-jam menatap layar, tetapi kehilangan kemampuan fundamental: fokus, empati, adab berbicara, dan kemampuan bersosialisasi secara nyata. Di sekolah-sekolah, guru mengeluhkan generasi yang mudah lelah, mudah stres, dan sulit berkonsentrasi. Banyak anak yang merasa hidupnya “kurang berharga” hanya karena melihat hidup orang lain di media sosial terlihat lebih indah. Padahal, mereka masih dalam tahap pencarian jati diri yang sangat rapuh. Inilah fase ketika ketidakstabilan emosi bertemu paparan konten tanpa batas—sebuah kombinasi yang berbahaya.
Pada titik ini, kita tidak hanya berbicara tentang teknologi. Kita berbicara tentang masa depan generasi. Media sosial membentuk cara berpikir, cara merasa, bahkan cara anak-anak menilai diri mereka sendiri. Ketika anak-anak lebih memikirkan jumlah likes daripada kualitas dirinya, ini bukan lagi persoalan “kecanduan”, tetapi persoalan kehilangan arah hidup. Orang tua yang tidak mengawasi akan mendapati anaknya hidup di dua dunia: dunia nyata yang semakin sepi, dan dunia maya yang semakin ramai namun semu.
Di Balik Layar yang Gelap: Luka yang Tak Terlihat
Banyak anak tidak sadar bahwa mereka sedang terperangkap dalam dunia yang dirancang untuk menahan mereka selama mungkin. Algoritma media sosial dibuat untuk menciptakan kecanduan psikologis. Setiap notifikasi memberikan ledakan dopamin kecil yang membuat anak ingin kembali dan kembali lagi. Inilah sebabnya mengapa anak-anak sulit melepaskan gawai meskipun sedang belajar atau makan bersama keluarga. Dan tanpa disadari, hubungan keluarga mulai longgar, percakapan berkurang, dan dinding kesepian perlahan dibangun dalam diri mereka.
Efek lain yang sangat mencolok adalah meningkatnya rasa cemas dan rendah diri. Anak-anak yang melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna sering merasa dirinya kurang. Mereka lupa bahwa apa yang dilihat di layar hanyalah potongan kecil, bukan kenyataan penuh. Jiwa mereka yang masih rapuh belum mampu membedakan mana realita dan mana ilusi digital. Dampaknya, semakin banyak anak yang merasa gagal bahkan sebelum memulai kehidupan dewasa.
Baca Juga: Dua Santri Shuffah Al-Jama’ah Ikuti International Student Exchange di Thailand
Belum lagi masalah pornografi digital. Kini, anak-anak dapat menemukan konten seksual hanya dengan tiga klik. Bahkan tanpa mencari pun, algoritma sering mendorong konten-konten yang merusak adab, akhlak, serta kesucian jiwa mereka. Ini bukan hanya masalah moral, tetapi masalah neurologis: paparan pornografi dapat merusak fungsi otak remaja, menurunkan kontrol impuls, dan mengacaukan persepsi mereka terhadap hubungan dan kehormatan diri.
Perundungan digital juga menjadi luka yang tidak terlihat. Anak yang disakiti lewat komentar atau pesan pribadi sering tidak berani bercerita kepada orang tua. Luka ini disembunyikan, lama-lama membusuk, lalu berubah menjadi depresi atau keinginan menyakiti diri sendiri. Kasus-kasus bunuh diri remaja akibat cyberbullying terus meningkat di seluruh dunia.
Tentu saja, ada manfaat dari teknologi. Namun manfaat hanya dapat dinikmati oleh mereka yang cukup matang mengelola diri. Bagi anak-anak, dunia digital ibarat hutan tanpa pagar. Tanpa bimbingan, mereka bisa tersesat, terluka, bahkan tidak kembali menjadi pribadi yang utuh seperti sebelumnya.
Kembali kepada Syariat: Jalan Selamat bagi Generasi
Islam sejak awal telah mengajarkan prinsip penjagaan jiwa (hifzhun nafs), penjagaan akal (hifzhul ‘aql), penjagaan kehormatan (hifzhul ‘irdh), dan penjagaan keturunan (hifzhun nasl). Media sosial yang tanpa batas bertentangan dengan keempat prinsip ini jika tidak dikontrol dengan baik. Dalam Islam, segala sesuatu yang membuka pintu kerusakan harus dicegah sebelum kerusakan itu terjadi. Rasulullah SAW bersabda, “Kalian semua adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.” Hadis ini menegaskan bahwa orang tua tidak cukup hanya memberi gawai dan membiarkan anak menggunakannya sesuka hati.
Baca Juga: Anak Hebat Lahir dari Lingkungan yang Mendukung
Solusi pertama menurut syariat adalah ta’dib—pendidikan adab sebelum ilmu dan teknologi. Anak yang dibiasakan takut kepada Allah, menjaga pandangan, dan mengendalikan diri, akan lebih kuat menghadapi godaan digital. Karena teknologi berubah, tetapi adab tidak akan pernah ketinggalan zaman.
Solusi kedua adalah pengawasan. Dalam Islam, pengawasan bukan bentuk ketidakpercayaan, tetapi bentuk kasih sayang. Orang tua wajib memeriksa aktivitas digital anak, bukan untuk mengontrol, tetapi untuk melindungi. Allah berfirman,“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6). Ayat ini adalah dalil kuat bahwa menjaga anak dari bahaya digital adalah bagian dari ibadah.
Solusi ketiga adalah membangun budaya rumah tanpa kecanduan. Batasi waktu layar, buat zona bebas gadget, dan perbanyak kegiatan nyata: membaca, olahraga, diskusi, dan bermain. Syariat mendorong aktivitas yang menguatkan jasmani dan ruhani, bukan sekadar aktivitas pasif di depan layar.
Solusi keempat adalah mendorong negara membuat regulasi ketat. Islam menghargai peran pemerintah dalam menjaga kemaslahatan umum. Jika negara lain berani mengambil langkah tegas, Indonesia seharusnya juga mempertimbangkan regulasi yang melindungi anak dari paparan digital yang destruktif.
Baca Juga: Belajar Sabar dari Anak Sendiri
Pada akhirnya, masa depan generasi bukan ditentukan oleh seberapa canggih teknologi yang mereka gunakan, tetapi seberapa kuat nilai yang membimbing langkah mereka. Kita tidak bisa menghentikan dunia bergerak menuju era digital, tetapi kita bisa memastikan anak-anak tidak hanyut dan tenggelam di dalamnya. Jalan terbaik adalah jalan yang diajarkan Islam: menjaga, membimbing, mengarahkan, dan mencintai. Karena keluarga yang kuat akan melahirkan generasi yang kuat, dan generasi kuat adalah harapan bagi bangsa serta agama.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Belajarlah Bahagia dengan Hal-Hal Sederhana
















Mina Indonesia
Mina Arabic