Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Genosida Israel di Gaza Melalui Kelaparan  

Ali Farkhan Tsani - Kamis, 21 Maret 2024 - 18:12 WIB

Kamis, 21 Maret 2024 - 18:12 WIB

5 Views

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior MINA News

Pernyataan Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) pada tanggal 20 Februari 2024 menyatakan, kematian kini tengah mengancam sekitar 600.000 anak-anak di Rafah, selatan Jalur Gaza.

Mereka hidup tanpa makanan dan obat-obatan yang memadai. Kondisi yang sangat berbahaya, terutama di kamp-kamp pengungsian yang sangat padat.

Sebuah gambaran gelap tergambar atas nasib ratusan ribu warga yang terancam menderita kelaparan akut. Warga kekurangan pasokan makanan, yang menjadi sasaran serangan Israel sejak agresi Israel 7 Oktober 2023 lalu.

Baca Juga: Jumlah Syahid di Jalur Gaza Capai 44.056 Jiwa, 104.268 Luka

Laporan Al Jazeera mengatakan, Menteri Pertahanan Israel Yoav Galant mengumumkan keputusannya untuk mencegah masuknya “makanan, air dan bahan bakar ke Jalur Gaza.”

Pendudukan mulai memaksakan tindakannya dengan blokade kelaparan di Jalur Gaza.

Israel menutup semua pintu perbatasan dengan Jalur Gaza. Bantuan kemanusiaan yang mengalir dari berbagai negara pun ke bandara Al Arish, Mesir masih tertahan.

Pendudukan memisahkan Kegubernuran Gaza Utara dari Kegubernuran Pusat Kota Gaza, dengan memotong Jalan Shalahuddin, dan maju menuju pesisir Jalan Rashid di barat untuk melakukan blokade terhadap Kota Gaza dan kota-kota di Jalur Gaza utara.

Baca Juga: Hamas Sambut Baik Surat Perintah Penangkapan ICC untuk Netanyahu dan Gallant

Organisasi-organisasi internasional pun segera menarik diri dari Jalur Gaza bagian utara, menyebabkan lebih dari satu juta warganya berada di bawah kendali mesin perang Israel.

Persediaan makanan secara bertahap mulai habis, karena wilayah utara dikepung dari empat penjuru. Masuknya bantuan dalam bentuk apa pun terus dicegah. Sementara lingkungan pemukiman, pasar, toko, dan pabrik roti dihancurkan secara sistematis.

Jalur Gaza bagian utara kehabisan persediaan makanan di rumah-rumah dan toko-tokonya. Warga pun terpaksa mencari-cari makanan kaleng atau makanan beku yang mungkin masih tersisa di rumah-rumah yang hancur atau kosong, yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya.

Tanda-tanda kelaparan mulai terlihat pada penduduk yang tersisa di Jalur Gaza utara, seiring dengan desakan Israel untuk mencegah masuknya bantuan makanan.

Baca Juga: Iran: Veto AS di DK PBB “Izin” bagi Israel Lanjutkan Pembantaian

Di bagian selatan Jalur Gaza dan wilayah tengah, kondisi kehidupan masih relatif lebih baik dibandingkan di bagian utara, dengan jumlah truk bantuan yang masuk terbatas.

Namun masuknya ratusan ribu pengungsi dari bagian utara Jalur Gaza memberikan tekanan pada persediaan makanan di wilayah tersebut. Ini juga meningkatkan kebutuhan akan bantuan dalam jumlah yang lebih besar.

Kondisi ini diperparah dengan serangan pendudukan pada awal Desember 2023 lalu, yang melancarkan operasi darat untuk menyerang kota Khan Yunis di Jalur Gaza selatan. Ini menyebabkan ratusan ribu penduduknya mengungsi, terutama menuju kota Rafah, dan area kamp pengungsian dalam jumlah yang lebih kecil.

Jalur Gaza pun berubah menjadi 3 blok populasi,yaitu Rafah, Distrik Tengah, dan Distrik Utara.

Baca Juga: IDF Akui Kekurangan Pasukan untuk Kendalikan Gaza

Tiga bulan penuh setelah agresi, bagian utara Jalur Gaza terus dipisahkan dari pusat dan selatan.

Menurut perkiraan, Jalur Gaza bagian utara yang masih berada di bawah pengepungan, dihuni oleh sekitar 700.000 warga. Para warga sama sekali tidak mendapat dukungan pangan atau akses terhadap bantuan kemanusiaan, yang menurut Program Pangan Dunia (WFP) telah terputus sama sekali.

Antrean Warga Ditembaki

Ketika truk-truk bantuan kemanusiaan bertahap masuk ke Jalur Gaza bagian selatan, warga pun berbaris antre untuk mendapatkan makanan kaleng dan tepung dalam jumlah yang masih sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan lebih dari satu juta warga yang tinggal di Rafah dan Kegubernuran Pusat.

Baca Juga: Hamas Tegaskan, Tak Ada Lagi Pertukaran Tawanan Israel Kecuali Perang di Gaza Berakhir

Saat warga berbaris antre hendak menerima bantuan, pasukan Israel tiba-tiba melepas tembakan ke arah kerumunan warga Palestina di dekat Kota Gaza.

Otoritas Kesehatan di Jalur Gaza pada hari Kamis, 29 Februari mengatakan lebih dari 100 orang tewas dalam serangan ke warga sipil tersebut.

Dalam sebuah pernyataan di akun media sosial Facebook, Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan, sedikitnya 104 orang tewas dan 760 lainnya terluka dalam insiden tersebut, dan menggambarkannya sebagai “pembantaian”.

Juru bicara kemenkes Gaza Ashraf al-Qidra mengatakan bahwa insiden tersebut terjadi di bundaran al-Nabusi di sebelah barat Kota Gaza. Seperti dilaporkan Deutsche Welle (DW), media online berbasis di Jerman.

Baca Juga: Hamas: Rakyat Palestina Tak Akan Kibarkan Bendera Putih

Militer Israel mengklaim, pihaknya memang melepaskan tembakan, seraya menambahkan bahwa penyelidikan awal menunjukkan hanya ada sekitar 10 korban luka-luka yang disebabkan oleh tembakan Israel tersebut.

Insiden itu telah memicu reaksi keras dari berbagai pihak yang terlibat dalam konflik tersebut, termasuk Hamas, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Israel dan Amerika Serikat (AS).

Negara tetangga, Mesir dan Yordania mengutuk kejadian itu dan menyebutnya sebagai “kejahatan yang memalukan dan penargetan brutal” terhadap warga sipil.

Mesir, yang berbatasan langsung dengan Gaza, mengatakan, “Kami menganggap penargetan warga sipil yang secara damai berusaha mendapatkan jatah bantuan itu adalah kejahatan yang memalukan dan merupakan pelanggaran nyata terhadap hukum internasional.”

Baca Juga: Israel Makin Terisolasi di Tengah Penurunan Jumlah Penerbangan

Makan Rerumputan

Menurut Dr. Umar Abdullah Shalah, salah satu pejuang yang baru keluar dari Jalur Gaza, warga di Jalur Gaza sekarang terpaksa harus makan dari rerumputan dan tanaman liar yang direbus.

Atau makanan yang biasa dimakan oleh binatang ternak pun, terpaksa harus ditelan untuk mengganjal perut yang kelaparan.

Syaikh Dr. Umar mengatakan, menyebarnya kelaparan massal di Jalur Gaza merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan yang sengaja dilakukan pendudukan Israel untuk menghabisi warga Palestina.

Baca Juga: Palestina Tolak Rencana Israel Bangun Zona Penyangga di Gaza Utara

“Zionis Israel terang-terangan memblokade, menghambat bantuan kemanusiaan, memutus aliran listrik, air dan semua kebutuhan warga Gaza. Ini kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa dibiarkan oleh dunia internasional,” ujar Syaikh Umar dalam Kajian Subuh di Masjid Babul Iman Kota Sabang, Aceh, Selasa (19/3/2024).

Penulis yang ikut serta dalam Safari Ramadhan bersama Syaikh Dr. Umar Abdullah Salah, mendengar langsung bagaimana kondisi sangat mengkhawatirkan warga di Jalur Gaza, yang terancam kelaparan akut massal, dan kematian besar-besaran, jika dibiarkan.

Syaikh Umar mengatakan, dirinya datang berkeliling ke berbagai wilayah di Indonesia dalam rangkaian Safari Ramadhan bersama Lembaga Kepalestinaan Aqsa Working Group (AWG), hendak menyuarakan jeritan jutaan warga Palestina, kebanyakan anak-anak, kaum perempuan dan lanjut usia yang kini sedang dilanda kelaparan.

“Kami memasuki bulan Ramadhan dengan kelaparan, dan warga kami sudah lebih dulu berpuasa tanpa makanan yang cukup selama enam bulan, sejak agresi Israel 7 Oktober 2023,” imbuh Dosen Universitas Al-Azhar Gaza, dan pembina tahidzul Quran kelahiran Sijaiyah, Gaza tersebut.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

“Kami yang berdiri di barisan terdepan dalam mempertahankan kesucian Masjidil Aqsa dan mempertahankan tanah wakaf negeri para Nabi, Palestina, ingin mengingatkan jamaah tentang tanggung jawab bersama membela saudara-saudaranya yang tertindas dalam kezaliman,” ujar pejuang dan aktivis Palestina yang pernah mendekam di dalam penjara Israel selama 11 tahun itu.

Syaikh Umar juga mengingatkan setiap kaum Muslimin kelak akan ditanya di hadapan Allah, sudah sejauh mana dalam membela sesama kaum Muslimin yang sedang kelaparan, perlu makan, perlu pakaian, perlu obat-obatan, dan lainnya.

“Bahkan sekarang, terpaksa banyak di antara warga saudara-saudara yang makan rumput yang diolah dan makanan yang biasa dimakan binatang untuk sekedar mengganjal perut dari kelaparan. Pakaian pun banyak di antara warga kami di pengungsian yang belum ganti hingga enam bulan ini karena memang tidak ada pakaian untuk salin,” ujarnya.

Sekecil apapun itu, walau hanya setetes minyak zaitun, untuk Masjidil Aqsa tetap bersinar, dan untuk memberikan harapan hidup bagi para pembebas Al-Aqsha, akan dicatat sebagai amal shaleh, lanjutnya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Namun demikian, ia dan para pejuang Palestina tidak mengenal kata menyerah, tidak akan mengangkat bendera putih, tapi akan terus berjuang mempertahankan Masjidil Aqsa dan wilayah Palestina dari pencurian zionis Yahudi, sampai merdeka, sampai penjajahan hengkang, atau meraih syuhada di sisi Allah.

Hentikan Genosida

Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak atas Pangan, Michael Fakhri menggambarkan penggunaan kampanye kelaparan yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina di Gaza sebagai “genosida”, dan mengatakan bahwa Israel menggunakan makanan dan kelaparan sebagai senjata.

Mengutip Anadolu Agency edisi Jumat, 8 Maret 2024, Michael Fakhri, yang berada di Jenewa untuk menghadiri sesi ke-55 Dewan Hak Asasi Manusia PBB, menjelaskan, “Ketika perang pecah, kami melihat orang-orang mengalami kelaparan dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kami belum pernah melihat komunitas mana pun yang mengalami kelaparan secepat ini.”

Dia melihat anak-anak sekarat karena kekurangan gizi dan dehidrasi. Dia mengatakan, belum pernah melihat anak-anak mengalami malnutrisi secepat ini dalam konflik apa pun dalam sejarah modern.

“Kami khawatir mereka akan mengalami stunting, yang berarti akan berdampak fisik dan kognitif jangka panjang yang permanen. Kami melihat anak-anak meninggal karena kekurangan gizi dan dehidrasi, ini adalah tahap yang mengerikan,” ujarnya.

“Kami segera memberikan peringatan ketika para ahli hak asasi manusia independen PBB mengatakan ada risiko genosida. Seperti yang kita dengar dari Mahkamah Internasional baru-baru ini, dalam keputusan awal mereka, mereka menemukan kasus genosida yang masuk akal. Pada titik perang ini, saya pikir sudah jelas bahwa ini adalah genosida,” imbuhnya.

“Kami melihat kampanye kelaparan yang dimulai sejak awal perang dan terus berlanjut hingga saat ini. Tidak ada keraguan bahwa ini adalah genosida dan ini adalah kampanye kelaparan yang disengaja oleh Israel terhadap rakyat Palestina di Gaza,” tambahnya.

Perang Israel telah menyebabkan 85% penduduk Gaza terpaksa mengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan. Sementara 60% infrastruktur di wilayah tersebut telah rusak atau hancur.

Tidak ada istilah lain, kecuali genosida lewat kelaparan ini harus dihentikan, apapun caranya. Bantuan kemanusiaan harus segera masuk, dan Mesir harus berani menunjukkan keperwiraannya untuk membuka gerbang Rafah selama mungkin.

Negara-negara di kawasan Timur Tengah, sebagai tetangga terdekat Palestina, sudah selayaknya memboikot Israel. Negara-negara Eropa, terutama Amerika Serikat, yang mengaku sebagai pelopor demokrasi dan hak asasi manusia, sudah sepantasnya memberikan peluang sebesar-besarnya untuk mendesak Israel menghentikan serangannya dan segera mendesak gencatan senjata, untuk memastikan bantuan kemanusiaan masuk ke jutaan warga Gaza.

Semoga Allah memberikan pertolongan, kekuatan dan kesabaran untuk saudara-saudara kita di Palestina, wabil khusus di Jalur Gaza yang terzalimi. Serta Allah pecah belah dan porak-porandakan kekuatan zionis yahudi ke titik terendah, sampai menghentikan serangannya, dan sampai hengkang dari bumi Palestina yang menjadi hak milik bangsa Palestina. (A/RS2/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda