Ghirah, yang secara harfiah berarti semangat atau kecemburuan dalam bahasa Arab, adalah konsep penting dalam Islam yang mengacu pada semangat atau gairah untuk membela dan menjunjung tinggi ajaran agama. Dalam konteks yang lebih luas, ghirah dapat diartikan sebagai dorongan internal yang kuat untuk melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Dari sudut pandang psikologi, ghirah dapat dipahami sebagai manifestasi dari motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik adalah dorongan internal untuk melakukan sesuatu karena kepuasan atau kesenangan yang didapat dari aktivitas itu sendiri, bukan karena faktor eksternal. Dalam hal ini, ghirah mendorong seseorang untuk bertindak atas dasar keyakinan dan nilai-nilai yang dianutnya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, Surah Al-Maidah ayat 54, “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” Ayat ini menggambarkan karakteristik orang-orang yang memiliki ghirah yang kuat dalam agama mereka.
Studi neurosains menunjukkan bahwa emosi dan motivasi yang kuat, seperti yang terwujud dalam ghirah, melibatkan aktivasi sistem limbik otak, terutama amigdala dan hippocampus. Aktivasi ini memicu pelepasan neurotransmitter seperti dopamin dan norepinefrin, yang berperan dalam meningkatkan kewaspadaan, fokus, dan kesiapan untuk bertindak.
Baca Juga: Kekuatan Storytelling
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya; dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim). Hadits ini menekankan pentingnya ghirah dalam menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Dari perspektif hidup berjamaah, ghirah dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi sebuah jamaah yang membantu menjaga kohesi dan integritas anggotanya. Ketika anggota jamaah memiliki ghirah yang kuat terhadap nilai-nilai bersama, mereka cenderung lebih aktif dalam menjaga dan mempromosikan (mendakwahkan) nilai-nilai tersebut, yang pada gilirannya memperkuat ikatan sosial.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 71, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Ayat ini menunjukkan bahwa ghirah tidak hanya bersifat individual, tetapi juga kolektif (jamaah).
Dalam konteks psikologi positif, ghirah dapat dikaitkan dengan konsep “flow” yang dikembangkan oleh Mihaly Csikszentmihalyi. Flow adalah keadaan mental di mana seseorang sepenuhnya tenggelam dalam aktivitas yang dilakukannya, disertai perasaan energi fokus, keterlibatan penuh, dan kenikmatan dalam proses. Ghirah yang kuat dapat memfasilitasi pengalaman flow ini dalam menjalankan ibadah dan amal saleh.
Baca Juga: Cara Efektif untuk Upgrade Skill Komunikasi Anda dan Tingkatkan Karir
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah cemburu, dan kecemburuan Allah adalah ketika seorang hamba-Nya melakukan apa yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa ghirah juga merupakan sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang harus diteladani oleh hamba-Nya dalam proporsi yang sesuai.
Penelitian dalam bidang psikologi sosial menunjukkan bahwa individu dengan identitas sosial yang kuat cenderung memiliki motivasi yang lebih tinggi untuk menjaga dan mempromosikan nilai-nilai kelompok mereka. Dalam konteks Islam, ghirah dapat dipahami sebagai manifestasi dari identitas keislaman yang kuat.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Anfal ayat 2, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” Ayat ini menggambarkan respons emosional dan spiritual yang kuat, yang merupakan ciri dari ghirah yang sejati.
Baca Juga: Mau Sukses, Bangun Skill Komunikasi Anda
Dari sudut pandang kesehatan mental, ghirah yang seimbang dapat berkontribusi pada kesejahteraan psikologis. Memiliki tujuan hidup yang jelas dan komitmen terhadap nilai-nilai tertentu, seperti yang terwujud dalam ghirah, telah terbukti berkorelasi positif dengan kepuasan hidup dan ketahanan mental.
Jadi intinya, penting untuk diingat bahwa ghirah harus diimbangi dengan hikmah dan moderasi. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 143, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” Ayat ini mengingatkan kita bahwa Islam adalah agama yang moderat, dan ghirah harus diekspresikan dengan cara yang bijaksana dan seimbang.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Rahasia Komunikasi Lebih Asyik dan Efektif