Semarang, MINA – Direktur Penguatan dan Diseminasi HAM Kemenkumham, Sri Kurniati Handayani Pane, mengatakan guru harus mendorong kesadaran multikultural dengan membangun semangat empati, kesetaraan, dan toleransi kepada peserta didik.
Dia menekankan setiap orang dengan latar belakang apapun memiliki persamaan dalam haknya sebagai warga negara.
“Tidak boleh satu kelompok mendominasi dan melanggar hak kelompok yang lainnya. Kelompok mayoritas tidak boleh melakukan hegemoni kepada kelompok minoritas. Semua ini menjadi penting dalam pendidikan sehingga tidak ada diskriminasi atas dasar ras, etnis, agama maupun gender,” ujar Sri Pane dalam lokakarya guru lintas agama mengenai Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diadakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bersama Institut Leimena di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (17/3).
Sri Pane mengakui keragaman di Indonesia seringkali menumbuhkan konflik dan kekerasan. Oleh sebab itu, pendidikan harus mampu mendorong adanya etika untuk membangun konsensus dalam masyarakat.
“Kebutuhan akan konsensus ini bertujuan untuk menghormati perbedaan tanpa melanggar prinsip dari kesamaan, dan hak individu. Selain itu, pendidikan multikultural harus mampu mendorong sikap yang inklusif, toleransi dan terbuka terhadap berbagai keragaman,” kata Sri Pane.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menjelaskan lokakarya LKLB kali ini pada 17-19 Maret 2023, merupakan lokakarya ke-6 LKLB yang diadakan Institut Leimena bersama sejumlah mitra.
Lokakarya kali ini berfokus kepada program dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) untuk memperkukuh kebebasan beragama dan supremasi hukum.
“Bapak ibu guru di sini adalah lilin-lilin agar kita bisa bersama-sama menerangi bangsa ini kepada penegakkan hukum,” kata Matius.
Baca Juga: Sertifikasi Halal untuk Lindungi UMK dari Persaingan dengan Produk Luar
Hadir narasumber internasional yaitu Senior Fellow University of Washington, Dr. Chris Seiple, yang akan berbicara lewat zoom pada Sabtu (18/3).
Literasi Keagamaan Lintas Budaya
Sementara Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI sekaligus Guru Besar Hak Asasi Manusia (HAM) dan Gender Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, menekankan pentingnya pembelajaran di sekolah yang mengedepankan sensitivitas terhadap hak kebebasan beragama dan supremasi hukum.
Disadari, tantangan untuk menjaga kemajemukan bangsa semakin kompleks terlebih dengan masifnya media sosial yang berpotensi sebagai sarana menyuburkan diskriminasi dan stigmatisasi.
Baca Juga: Menko Budi Gunawan: Pemain Judol di Indonesia 8,8 Juta Orang, Mayoritas Ekonomi Bawah
Prof. Ruhaini menilai penting bagi guru untuk mewaspadai gejala intoleransi yang kadang dianggap lazim dalam kehidupan bermasyarakat.
Dokumen UNESCO berjudul “Tolerance: The Threshold of Peace”, menyatakan gejala atau perilaku intoleransi antara lain bahasa (penghinaan atau bahasa yang merendahkan, stereotip, menggoda/mengejek, prasangka, pengkambinghitaman (menyalahkan peristiwa traumatis atau masalah sosial pada kelompok tertentu), pengasingan (berperilaku seolah-olah orang lain tidak ada), diskriminasi, dan segregasi (pemisahan paksa orang-orang dari berbagai ras, agama, jenis kelamin, biasanya merugikan satu kelompok termasuk apartheid).
“Pemanfaatan di ruang publik harus sama antara agama dan keyakinan berbeda, gender berbeda, ras berbeda. Ini penting sekali kita sampaikan kepada anak-anak didik kita,” kata Prof. Ruhaini.
Dalam acara ini, Plt Direktur Jenderal HAM Kemenkumham Dr. Dhahana Putra juga menyampaikan sambutan lewat rekaman video. Peserta lokakarya LKLB terdiri dari guru beragama Islam dan Kristen, yaitu sebagian besar para guru madrasah di bawah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah dan para guru dari Sekolah Kristen Tritunggal Semarang.
Baca Juga: Hingga November 2024, Angka PHK di Jakarta Tembus 14.501 orang.
Prof. Ruhaini mengatakan upaya menumbuhkan sensitivitas bisa dimulai dengan mengembangkan kemampuan guru dalam LKLB.
Ada tiga kompetensi LKLB, yaitu, pertama, mendorong seseorang memahami agamanya sendiri terutama dalam relasinya dengan orang yang berbeda agama (kompetensi pribadi). Kedua, mengenal agama lain dan pandangan agama tersebut terhadap orang yang berbeda agama (kompetensi komparatif). Ketiga, mencari titik temu agar dapat berkolaborasi dengan orang yang berbeda agama (kompetensi kolaboratif).
“Literasi Keagamaan Lintas Budaya adalah sesuatu yang mestinya diwajibkan di seluruh sekolah karena sifatnya sangat Indonesia dan menjadi modalitas kita sebagai bangsa yang beragam,” kata Prof. Ruhaini yang pernah menjabat Staf Khusus Presiden Joko Widodo Bidang Keagamaan Internasional.
Prof. Ruhaini menambahkan kebebasan beragama bukan berarti bebas seenaknya melainkan harus berpedoman kepada supremasi hukum. Itulah sebabnya, narasi-narasi LKLB juga dibutuhkan sebagai pintu masuk untuk menegakkan supremasi hukum.
Baca Juga: Menag: Guru Adalah Obor Penyinar Kegelapan
“Misalnya, kita mengajar Matematika, jadikan LKLB sebagai entry point seperti dalam soal cerita. Di kampung ada 10 orang pergi ke gereja, 25 orang pergi ke masjid, lalu sekian ke Pura, dan lainnya. Tujuannya agar anak-anak sensitif terhadap perbedaan dan melihatnya sebagai keniscayaan,” kata Ruhaini.
Pada Sabtu siang, para guru peserta workshop juga akan diajak mengunjungi dua tempat ibadah di Semarang yaitu Masjid Agung Kauman dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Stadion, untuk melakukan dialog lintas agama. (R/R1/RS2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: AWG Gelar Dauroh Akbar Internasional Baitul Maqdis di Masjid Terbesar Lampung