Oleh: Imam Shamsi Ali/Presiden Nusantara Foundation
Pada segala sesuatu ada yang paling mendasar dan menentukan, bahkan menjadi identitas khusus dari sesuatu itu. Dengannya sesuatu itu teridentifikasi.
Nampaknya ibadah haji secara khusus teridentifikasi dengan ritual wukuf di Arafah. Ini yang kemudian menjadikan baginda Rasul bersabda: “Haji itu adalah Arafah”.
Arafah menjadi sangat penting dan mendasar karena dengannya manusia akan tersadarkan. Manusia yang gagal Arafah (sadar) adalah manusia yang “lalai” yang akan dengan mudah dikendalikan oleh diri dan alam sekitarnya.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Konon awal penamaan Arafah itu karena di sanalah awal keyakinan Ibrahim tentang perintah Tuhan untuk menyembelih anaknya. Keyakinan tertinggi tentang sesuatu, khususnya dalam ilmu ladunni, disebut “ma’rifat”.
Olehnya ketika Ibrahim telah sampai pada tingkatan keyakinan itu, bahwa memang Tuhan memang menyembelih anaknya maka hal itu dinamai “ma’rifat”. Dan kebetulan bahwa keyakinan penuh itu terjadi di saat beliau berada di padang luas itu. Maka dinamailah padang itu Padang Arafah.
Versi lain dari penamaan ini adalah bahwa ketika Adam dan Hawa diturunkan ke bumi ini mereka terpisah. Mereka saling mencari dan akhirnya ketemu dan saling mengenal sebagai manusia di bumi ini. Pertemuan inilah yang menjadi dasar penamaan Arafah.
Pendapat lain mengaitkan kata Arafah dengan kesalahan Adam memakan buah terlarang. Ketika turun ke atas dunia ini Adam diingatkan oleh malaikat agar mengakui kesalahannya itu.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Itulah yang kemudian diekspresikan oleh Adam, sebagaimana disebutkan Al-Quran: “Wahai Tuhan kami. Sesungguhnya kami telah menzholimi diri sendiri. Maka jika Engkau tidak mengampuni dan merahmati kami maka kami telah termasuk orang-orang yang merugi”.
Kata “mengakui” dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah “I’tiraaf” atau pengakuan. Tempat mengakui dosa inilah yang disebut Arafah.
Terlepas dari mana yang paling akurat dari ketiga klaim itu, Arafah memang tempat di mana keaslian jatidiri manusia harus ditemukan kembali. Jati diri itu adalah tabiat dasar manusia yang lebih dikenal dengan “fitrah” manusia.
Ketika fitrah manusia tidak tersembunyi oleh ragam najis-najis di yuniawi, termasuk hawa nafsu sendiri, maka hidup manusia akan alami dan sesuai. Tapi ketika fitrah itu tertutupi oleh berbagai hijab (penutup) termasuk kebodohan dan keangkuhan, maka hidup manusia akan keluar dari jalan yang sesungguhnya.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Di sanalah kemudian manusia melakukan berbagai deviasi hidup. Bagaikan orang sakit, bahkan mengalami gangguan mentalitas dan pemikiran. Tidak berlebihan jika manusia yang fitrahnya tertimbun kotoran-kotoran tadi dapat dikatakan sedang mengalami state of craziness (situasi gila).
Dunia yang dihuni oleh manusia seperti inilah yang berubah menjadi dunia gila. Berbagai kezaliman terjadi, pengrusakan, pembantaian dan pemusnahan hidup manusia menjadi seolah barang lumrah dalam dunia yang gila itu.
Bahkan Yang baik cenderung dipandang buruk. Sebaliknya yang buruk dipandang baik. Manis dan pahitnya hidup tidak lagi diukur dengan ukuran kedamaian batin. Tapi terbawa arus ombak pergerakan dunia itu sendiri.
Singkatnya, ketika fitrah tersembunyi maka hidup manusia menjadi Semrawut atau kacau. Di sinilah kemudian ajaran agama hadir untuk mengembalikan hidup yang kacau itu ke hidup yang teratur. Wajar, jika salah satu makna “diin” adalah aturan.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Singkatnya wukuf di Arafah adalah momen “menemukan kembali” jati diri manusia. Dan jalan untuk menemukan jati diri itu ada pada penemuan “kefitrahan“ manusia. Kefitrahan yang secara fundamental terbangun di atas “Ketauhidan”. Sehingga dzikir terafdhol di hari Arafah adalah: “Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu. Lahul mulku walahul hamdu wa huwa alaa killi syaein Qadiir”.
Dengan menemukan jati diri manusia menemukan Tuhan. Dengan menemukan Tuhan manusia kembali berada pada jalan hidupnya yang alami.
Tapi kehidupan alami itu bukan tidak ada tantangannya. Iblis dan bala tentaranya telah bertekad untuk kembali menggelincirkan manusia dari jalan hidup yang sejati itu.
Itu yang kemudian mengharuskan semua jamaah untuk selalu bersiap-siap untuk melakukan perlawanan dan peperangan melawan Iblis dan tentaranya. Maka prosesi selanjutnya, Muzdalifah dan Mina, semuanya menggambarkan tekad perang dan perlawanan itu. (AK/R07/RI-1)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Mi’raj News Agency (MINA)