Oleh: Imam Shamsi Ali/ Presiden Nusantara Foundation
Perjalanan fitrah itu penuh dengan rintangan. Sejak awal penciptaannya manusia ditantang (challenged) oleh Iblis, bahwa dia (laknatullah) itu akan bersungguh-sungguh menggelincirkannya.
Maka sekali lagi, Sungguh menjadi sebuah tuntutan bagi manusia untuk membangun kesadaran dan komitmen yang sama untuk melakukan perlawanan dan peperangan kepada Iblis dan bala tentaranya. Semua Itulah yang tersimbolkan dalam prosesi Muzdalifah dan Mina.
Pada akhirnya setelah semua prosesi rukun, ihram, tawaf, sa’i, wukuf, tahallul selesai dan semua yang diwajibkan juga telah dilaksanakan dengan baik, ibadah haji dengan sendirinya telah tuntas.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Perjalanan suci nan jauh itu telah melewati semua fase dan lika likunya. Dalam perjalanan itu terjadi hiruk pikuk, sengaja atau tidak, semuanya akan menemukan tantangannya sebagai cobaan bagi dirinya.
Kini tinggal satu lagi prosesi ritual ibadah yang harusnya dilakukan oleh jamaah haji. Yaitu Tawaf Wada’ atau Tawaf Selamat tinggal untuk kota haram atau tanah suci. Hampir menjadi konsensus para ulama bahwa tawaf ini menjadi salah satu wajib haji.
Perjalanan ini ada awal dan pasti ada akhir. Diawali dengan Ihram dan kini diakhiri dengan Tawaf Wada’. Diawali dengan komtimen kesucian, kembali ke asal yang tidak terdetraksi (terganggu) oleh hiruk pikuk dunia sementara. Kini berakhir dengan tawaf sekitar Ka’bah.
Sebagaimana pernah disampaikan bahwa Tawaf adalah simbol perjalanan hidup dunia yang secara terus menerus bergerak. Pergerakan yang mengalami perputaran. Simbol kehidupan yang konstan mengalami “perubahan”.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Hidup masih hidup selama ada pergerakan dan perubahan. Seketika perubahan dan pergerakan terhenti maka terhenti pula kehidupan itu. Karenanya salah satu tantangan hidup manusia adalah selalu siap mengantisipasi pergerakan dan perubahan itu.
Manusia dalam menyikapi perubahan ini hanya di dua kemungkinan. Menjadi bagian dari perubahan itu, bahkan menjadi agen perubahan. Atau menjadi objek dan korban perubahan. Wajar Al-Quran mengingat: “Sungguh Allah tidak merubah nasib sebuah kaum/bangsa hingga bangsa/kaum itu melakukan perubahan pada diri mereka sendiri”.
Dalam dunia global yang ditandai oleh kecepatan yang “unimaginable” dan pada tataran tertentu “unbearable” (tidak diperkirakan dan tidak terkendali) ini perubahan itu juga demikian cepat dan kerap tidak terkendali.
Karenanya haji mengajarkan bahwa perubahan demi perubahan itu harus diantisipasi tiada henti. Sehingga pada akhirnya nanti perubahan dan pergerakan itu tetap berada di sekitar Ka’bah.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Tawaf Wada’ sesungguhnya menyimbolkan urgensi menusia untuk selalu membangun kesadaran dan komtimen pada di ujung perjalanan suci (kehidupan) ini akan diakhiri dengan kedekatan dengan Baitullah. Tidak jauh dari Rumah Allah, tempat pengabdian sepanjang hidup.
Tawaf Wada’ adalah simbolisasi respon itu kepada peringatan Allah: “janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim”. Bahwa di saat akan meninggalkan Tanah Haram, dipastikan berakhir dengan tawaf di sekitar Ka’bah.
Setuasi seperti Itulah impian setiap Mukmin. Bahwa pada akhirnya ketika akan meninggalkan Baitullah (bumi), tempat mereka memusatkan pengabdian mereka selama ini, mereka tetap berada di sekitar kesucian (Tuhan dan kebenaran).
Meninggalkan dunia (mati) dalam keadaan demiikian Itulah yang disebut “husnul Khatimah”. Dan Itulah impian setiap insan Mukmin.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
“Allahumma urzuqna husnal khatimah”.
Dengan ini saya juga akhiri catatan haji ini dengan “husnul khatimah”. Semoga para hujjaj dikaruniai haji mabrur. Yang Insya Allah balasannya tidak lain kecuali syurga. Amin! (AK/R07/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Foto: Susana jamaah di Mina