Oleh: Ahmad Kusyairi Suhail, MA
الر ۚ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim [14] 1)
Dalam ayat tersebut Allah Subhana Wa Ta’ala menggunakan ungkapan “zhulumat”, kegelapan yang banyak. Dia menggunakan bentuk jamak, yang menurut ulama bahasa Arab berfungsi sebagai taktsir, penyebutan banyak ragam. Sebab yang terjadi kemudian, Al-Qur’an telah mengeluarkan manusia dari kegelapan ideologi, ekonomi, soisal dan lain-lain. Dengan Al-Qur’an, umat manusia keluar dari jahiliyah menuju hidayah, dari syirik menuju tauhid, dari penyembahan kepada sesama hamba menuju penyembahan kepada Rabb-nya hamba.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Terjadilah perubahan signifikan pada kondisi bangsa Arab yang lebih dulu memeluk Islam. Dari umat yang lemah menjadi umat yang kuat. Dari umat yang penuh ketakutan menjadi umat yang penuh rasa aman dan tenteram.
وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“… Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran [3] 164).
Perubahan positif itu terjadi disebabkan oleh komitmen dan konsistensi generasi awal umat ini dalam berpegang teguh dan melaksanakan Al-Qur’an. Al-Qur’an telah mewarnai seluruh sendi kehidupan mereka. Karena itu, jika kita ingin meraih kemajuan, kejayaan dan zaman keemasan seperti yang pernah dicapai oleh salafushshalih (generasi orang-orang shalih terdahulu umat ini), kita harus meningkatkan kwantitas dan kwalitas interaksi kita dengan Al-Qur’an.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menjelaskan dalam sebuah hadits riwayat Ali bin Abi Thalib, bahwa pangkal sekaligus sumber fitnah dalam semua aspek kehidupan adalah jauhnya umat dari Al-Qur’an.
Dalam hadits riwayat Tirmidzi (Juz V/158-159, no.2906), beliau mengingatkan, “Ingatlah akan terjadi fitnah!” Ali bertanya, “Apa jalan keluar dari fitnah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kitabullah, di dalamnya terdapat peristiwa sebelum kalian dan kabar berita yang akan terjadi sesudah kalian….”
Penyebutan “fitnah” dengan bentuk nakirah dalam hadits tersebut mengandung makna variasi (tanwi’). Krisis multidimensi yang menimpa umat ini termasuk bagian dari fitnah baragam itu. Realitanya, pejabat hingga rakyat di negeri-negeri Muslim seluruh dunia, berlomba-lomba menjauh dari Al-Qur’an. Ibnul Qayyim, seorang ulama yang banyak menulis masalah hati, menyebutnya sebagai fenomenal “Hajrul Qur’an” (memboikot Al-Qur’an).
Mengapa memboikot? Sebab, masih banyak di antara kita yang tidak pernah membaca seluruh Al-Qur’an, apa lagi menelaah serta merenungkannya. Sebagian kita membacanya hanya dalam shalat saja. Sebagian lagi membacanya tapi tidak mengamalkannya. Bahkan banyak yang mendustakan sebagian ayat Al-Qur’an dan mengimani sebagian lainnya. Akhirnya mereka tidak pernah sepenuh hati merespon pesan-pesan spiritual Al-Qur’an. Tetapi telinga kita lebih akrab mendengarkan “ayat-ayat setan”.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Karena itu, Ramadhan sebagai Bulan Al-Qur’an hendaknya menjadi titik tolak berinteraksi dengan Al-Qur’an. Memperbanyak membaca, menghafal, mentadabburi dan mengamalkan Al-Qur’an menjadi agenda utama generasi terdahulu umat ini.
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu bertadarrus Al-Qur’an bersama malaikat Jibril setiap malam Ramadhan. Bahkan pada tahun Beliau wafat, malaikat Jibril memperdengarkan Al-Qur’an sampai dua kali.
Karena itu, ketika bulan Ramadhan datang, Imam Az-Zuhri selalu mengatakan, “Sesungguhnya inilah saatnya banyak membaca Al-Qur’an dan memberi makan (bersedekah).”
Imam Malik meliburkan majelis haditsnya dan berkonsentrasi membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Dikisahkan pula, Imam Qatadah mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tiga hari dalam bulan Ramadhan. Bahkan ketika memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan, ia mengkhatamkannya setiap malam.
Bahkan lagi, Imam Syafi’i pernah mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 60 kali selama bulan Ramadhan. (P09/R2).
Baca Juga: Malu Kepada Allah