Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِيْنَ يَتَرَبَّصُوْنَ بِكُمْۗ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِّنَ اللّٰهِ قَالُوْٓا اَلَمْ نَكُنْ مَّعَكُمْۖ وَاِنْ كَانَ لِلْكٰفِرِيْنَ نَصِيْبٌ قَالُوْٓا اَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَۗ فَاللّٰهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۗ وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًاࣖ ١٤١ (النساء [٤]: ١٤١)
Baca Juga: Bulan Solidaritas Terhadap Rakyat Palestina
“(Mereka itu adalah) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu. Apabila kamu mendapat kemenangan dari Allah, mereka berkata, “Bukankah kami (turut berperang) bersamamu?” Jika orang-orang kafir mendapat bagian (dari kemenangan), mereka berkata, “Bukankah kami turut memenangkanmu dan membela kamu dari orang-orang mukmin?” Allah akan memberi keputusan di antara kamu pada hari Kiamat. Allah tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk mengalahkan orang-orang mukmin.” (QS An-Nisa [4]: 141)
Secara tekstual, ayat di atas menginformasikan tentang orang-orang munafik pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam yang senantiasa menunggu-nunggu kelengahan kaum Muslimin.
Namun, ayat di atas juga berlaku secara umum, kepada siapa saja yang bersikap oportunis, memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan kepentingan mereka saja. Ayat di atas mengingatkan, bahwa Allah Ta’ala mengetahui tipu daya manusia, dan pada akhirnya, segala bentuk oportunisme akan mendapatkan keputusan yang adil di hadapan-Nya.
Para ulama tafsir seperti At-Thabari, Ibn Katsir, dan Al-Qurthubi Rahimahumullah menjelaskan, ayat di atas adalah larangan memberikan celah kekuasaan kepada pihak luar yang berpotensi mengendalikan umat Islam.
Baca Juga: Menetapi Jama’ah, Menjaga Diri dari Zaman Penuh Luka
Al-Qurthubi memberi makna سَبِيْلًا menjadi sebuah kaidah fiqhiyyah, dilarang memberi sabīl (jalan) berupa legitimasi kekuasaan kepada pihak-pihak musuh atau pendukungnya sehingga mereka dapat mengendalikan urusan kaum Muslimin.
Sementara Sayyid Qutb Rahimahullah menafsirkan ayat tersebut sebagai peringatan terhadap strategi kekuatan asing yang menggunakan narasi perdamaian, stabilisasi dan intervensi kemanusiaan untuk menata kekuasaan dunia Islam sesuai agenda mereka.
Ayat di atas merupakan salah satu ayat penting yang menegaskan sikap kewaspadaan umat Islam terhadap pihak-pihak yang mengaku berada di barisan perdamaian, namun pada hakikatnya menyimpan agenda lain yang dapat merugikan umat.
Pesan yang ingin disampaikan para ulama menjadi jelas, bahwa setiap bentuk intervensi yang membuat umat Islam kehilangan otoritas atas wilayah dan keamanan mereka adalah sesuatu yang harus ditolak, minimalnya harus diwaspadai.
Baca Juga: Dialog dan Experiential Learning Pada Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr
Waspada Pasukan Stabilitas Internasional PBB
Dalam percakapan diplomatik internasional, kata “perdamaian” selalu terdengar indah. Ia membawa bayangan gencatan senjata, distribusi bantuan kemanusiaan yang lancar, dan harapan kelahiran kembali sebuah wilayah yang telah lama menderita.
Namun dalam realitas politik global, tidak setiap program yang diberi label perdamaian, benar-benar melahirkan ketenangan dan keadilan. Ketika Dewan Keamanan (DK) PBB menyetujui pembentukan International Stabilization Force (ISF) ke Gaza melalui Resolusi 2803, banyak pihak menyebut, keputusan itu justru menghidupkan kembali kecemasan lama, bahwa Gaza akan dijadikan sebagai tempat eksperimen bentuk penjajahan versi baru.
ISF bertugas menjalankan mandat stabilisasi, termasuk mengawal proses demilitarisasi Gaza. Dalam istilah diplomasi, frasa ini terlihat netral. Tetapi dalam konteks Gaza, hal itu justru menjadi preseden buruk bagi warganya, termasuk para pejuang.
Baca Juga: 14 Poin Krusial KUHAP Baru, Publik Soroti Risiko Pelemahan Hak Asasi
Mengapa demikian? Karena salah satu tugas utama pasukan ISF di Gaza adalah melucuti senjata kelompok perlawanan Palestina di wilayah itu, tanpa jaminan berakhirnya agresi, pendudukan dan pembukaan blokade yang selama ini terus dilakukan Zionis Israel.
Dalam voting di DK PBB, Rusia dan China tidak menyetujui pengiriman pasukan ISF ke Gaza. Sikap abstain dua anggota tetap Dewan Keamanan itu bukan sekadar abstain prosedural, melainkan sinyal politik yang sangat jelas bahwa resolusi tersebut tidak disusun secara seimbang, transparan, dan inklusif.
Kedua negara mengemukakan beberapa alasan, antara lain:
Pertama, mandat demilitarisasi tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa harus melucuti senjata para pejuang, sementara Zionis sebagai agresor dan aktor utama pelaku genosida dan kejahatan kemanusiaan tidak diterapkan hal serupa?
Baca Juga: Indonesia dan Masa Depan Hutan Tropis Dunia, Langkah Baru Memimpin Konservasi
Pada titik inilah banyak analis melihat adanya “lubang besar” dalam resolusi tersebut. Sebab jika proses demilitarisasi dikontrol oleh AS, maka “stabilisasi” berubah menjadi operasi terselubung untuk memuluskan kepentingan Zionis Israel di Gaza, bukan mengakhiri konflik secara adil.
Kedua, naskah resolusi tersebut menitikberatkan pada pengawasan terhadap pejuang Palestina, sementara tidak ada mekanisme untuk memastikan, bahwa Israel akan menghentikan agresi, pembunuhan sistematis, serangan udara, dan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional.
Dubes Rusia untuk PBB, Vassily Alekseevich Nebenzia menyatakan, bahwa resolusi itu tidak mengatur mekanisme akuntabilitas terhadap pihak yang secara historis telah melanggar hukum internasional di Gaza. Dengan kata lain, terdapat keberpihakan struktural dalam naskah resolusi, yang memberikan tekanan besar pada pihak Palestina, tetapi menutup mata terhadap ketidakpatuhan Israel.
Sikap Rusia ini sejalan dengan pandangan banyak pakar hukum internasional yang menilai bahwa perdamaian tidak dapat dicapai melalui pendekatan sepihak. Ketidakseimbangan inilah yang mendorong para pengamat untuk mengingatkan bahwa resolusi tersebut bisa menjadi alat satu pihak (AS dan Israel), bukan instrumen perdamaian dua arah.
Baca Juga: Ancaman Sunyi di Balik Evakuasi Warga Gaza Berkedok Kemanusiaan
Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar, mengingat sejarah panjang bias Dewan Keamanan PBB dalam mengakomodasi veto Amerika Serikat demi melindungi kejahatan Israel dari akuntabilitas internasional.
Sementara Beijing mengkritik bahwa resolusi itu terlalu menitikberatkan aspek keamanan jangka pendek, tanpa memikirkan landasan politik jangka panjang, seperti penghapusan blokade, penghentian pendudukan, dan pengakuan atas hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Palestina.
Dalam perspektif China, stabilisasi yang tidak dibarengi dengan penguatan hak politik tidak akan menghasilkan perdamaian yang adil, tetapi hanya menciptakan bentuk administrasi baru yang dikendalikan oleh kekuatan asing (AS dan Israel).
Ketiga, penolakan langsung muncul dari pihak-pihak di Gaza, khususnya pejuang Hamas. Mereka menyatakan bahwa pelucutan senjata adalah bentuk penyerahan sepihak kepada agenda Israel dan Amerika Serikat.
Baca Juga: Ketika Pelukan Anak Jadi Obat Lelah
Pernyataan keras Hamas yang menolak resolusi itu menegaskan bahwa misi internasional itu tidak mengakui realitas pendudukan dan hanya akan memperpanjang instabilitas, bukan menyelesaikannya. Karena itu pula, muncul kekhawatiran bahwa ISF justru akan diperhadapkan dengan resistensi dari masyarakat Gaza sendiri.
Keempat, Rusia juga mengkritik proses perumusan resolusi yang dinilai terlalu terburu-buru. Beberapa pejabat Moskow menyatakan bahwa AS mendorong pengesahan resolusi tanpa cukup waktu berdiskusi, terlalu sedikit waktu untuk memeriksa implikasi operasional di lapangan, dan tanpa memberi kesempatan kepada anggota Dewan Keamanan lainnya untuk mengusulkan amandemen yang lebih seimbang.
Ketergesaan dalam perumusan sebuah resolusi besar seperti ini berpotensi melahirkan keputusan yang cacat secara substansi. Kritik Rusia dan China terhadap proses ini mempertegas bahwa tidak semua anggota Dewan Keamanan diberikan ruang suara yang setara dalam proses pengambilan keputusan.
Kelima, baik Rusia maupun Cina juga menekankan pentingnya legitimasi lokal. Mereka memandang bahwa resolusi tersebut belum memasukkan mekanisme partisipasi komponen-komponen masyarakat Gaza dalam penyusunan struktur transisi.
Baca Juga: Kritik Radikal Ilan Pappe terhadap Proyek Kolonial Israel
Dalam analisis para diplomat kedua negara besar itu, perdamaian yang dibuat tanpa partisipasi pihak yang terdampak hanya akan memproduksi perlawanan baru. Pernyataan ini sejalan dengan temuan banyak lembaga riset keamanan internasional bahwa misi penjaga perdamaian yang tidak memiliki legitimasi lokal cenderung gagal, kemudian berubah menjadi bagian baru dari konflik itu sendiri.
Agenda Tersembunyi AS di Gaza
Kekhawatiran lainnya muncul seiring bocoran dokumen kebijakan AS yang beredar di beberapa media Barat, bahwa salah satu tujuan utama fase “pasca-operasi” di Gaza adalah memastikan Gaza tidak lagi memiliki kekuatan bersenjata yang dapat mengancam Israel.
Di sinilah letak potensi jebakan yang harus diwaspadai. Pasukan internasional yang dikirim ke Gaza pada akhirnya hanya untuk melanggengkan struktur pendudukan dalam bentuk baru. Sebab dalam banyak konflik, pendudukan tidak selalu hadir melalui tank dan tentara; tetapi ia bisa hadir melalui regulasi keamanan, struktur administrasi, dan pasukan multinasional yang dikendalikan dari luar.
Baca Juga: Pentingnya Narasi dan Literasi dalam Perjuangan Palestina
Dari beberapa analisis di atas, pasukan perdamaian di Gaza juga harus mampu memastikan tiga hal utama: pertama, menjamin Zionis Israel tidak akan melakukan serangan lagi di wilayah Gaza; kedua, memastikan bantuan kemanusiaan masuk Gaza dan tersalurkan secara tepat kepada mereka yang membutuhkan; dan ketiga, mempercepat proses rekonstruksi infrastruktur, rumah sakit, sekolah, dan fasilitas publik yang hancur akibat agresi. Tanpa jaminan konkret terhadap ketiga aspek itu, keberadaan pasukan internasional akan kehilangan legitimasi di mata masyarakat Gaza, maupun internasional.
Selain itu, partisipasi aktif rakyat Gaza harus menjadi syarat mutlak dalam setiap pengambilan keputusan atau kebijakan terkait wilayah mereka. Mereka bukan sekadar objek kebijakan, tetapi subjek utama yang mengetahui kondisi riil di lapangan, kebutuhan masyarakat, serta prioritas rekonstruksi dan pemulihan sosial. Mengabaikan suara dan peran mereka sama artinya dengan mengulang pola dominasi asing yang hanya memperparah penderitaan.
Pengiriman pasukan internasional ke Gaza harus menjadi pengingat bagi dunia bahwa perdamaian tidak lahir dari kekuatan yang dipaksakan, tetapi dari keadilan yang ditegakkan. Selama keadilan belum ditegakkan, setiap upaya stabilisasi hanya akan menjadi peredam sementara bagi luka yang terus menganga.
Perdamaian yang sejati menuntut pengakuan atas hak-hak rakyat Palestina, penghentian agresi, serta komitmen nyata untuk mengakhiri pendudukan. Tanpa itu semua, pasukan internasional berisiko hanya menjadi simbol netralitas semu yang tidak menyentuh inti permasalahan.
Baca Juga: Ternyata Jadi Ayah Tak Seindah Cerita Film
والله أعلمُ بِالصَّوَابِ
Mi’raj News Agency (MINA)















Mina Indonesia
Mina Arabic