Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hidup Bersama Al-Jama’ah: Kewajiban, Hikmah, dan Jalan Menuju Keutuhan Umat

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - Sabtu, 24 Mei 2025 - 00:23 WIB

Sabtu, 24 Mei 2025 - 00:23 WIB

7 Views

Kekuatan berjama'ah (foto : ig)

Shalat lima waktu dan ibadah jama’i lainnya sarat dengan nilai-nilai persaudaraan dan jamaah. Inti dari ajaran Islam adalah ukhuwah, membangun peradaban dari pondasi yang kokoh dalam nuansa kebersamaan.

Islam bukan agama yang lahir untuk individualisme. Ia adalah agama yang menanamkan kesadaran kolektif, membentuk umat yang bagaikan satu tubuh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang memisahkan diri dari jama’ah sejengkal saja, maka ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya.” (HR. Abu Dawud)

Ini bukan sekadar peringatan, ini adalah pernyataan tegas: hidup berjama’ah adalah kewajiban. Ia bukan pilihan, bukan opsional. Maka siapa pun yang mengaku Muslim, tak seharusnya merasa cukup dengan amal pribadi sambil mengabaikan panggilan untuk hidup dalam jama’ah yang teratur, terpimpin, dan bergerak bersama menuju visi Islam yang kaffah.

Mengapa kita butuh jama’ah? Karena Islam adalah proyek besar—dan proyek besar tak bisa dijalankan sendirian. Tidak ada peradaban yang lahir dari keegoisan. Tidak ada kemenangan yang dibangun di atas kesendirian. Kewajiban ini lahir dari realitas bahwa kekuatan umat Islam terletak pada soliditasnya.

Baca Juga: Setelah Bill Gates Bicara Vaksin, Jakarta Mendadak Siaga TBC, Adakah Hubungannya?

Al-Jama’ah: Rumah Bagi Hati yang Merindukan Tujuan

Hidup bersama jama’ah bukan hanya kewajiban; ia adalah kebutuhan jiwa. Di tengah zaman yang mengagungkan kebebasan pribadi, banyak hati yang justru hampa. Banyak yang tersesat dalam gemerlap dunia, merasa kehilangan arah. Padahal, dalam jama’ah, ada kehangatan, ada arah, ada cita-cita yang lebih besar dari sekadar duniawi.

Bayangkan hidup dalam lingkaran orang-orang saleh yang saling menasehati, mengingatkan saat lupa, mendekap saat lemah. Dalam jama’ah, kita tidak hanya berjuang untuk diri sendiri. Kita memperjuangkan Islam, membangun masyarakat, dan menjaga generasi.

Dalam jama’ah, kita diajarkan untuk menahan ego, melatih kesabaran, belajar taat kepada pimpinan, dan mengasah jiwa kolektif. Semuanya adalah bagian dari pendidikan ruhaniyah yang hanya bisa ditemukan ketika kita hidup berjama’ah.

Baca Juga: Ibadah Haji dan Kesehatan: Pelukan Spiritual Yang Menyembuhkan Jasmani

Hikmah Hidup Berjama’ah

Ada banyak hikmah dari hidup bersama jama’ah antara lain sebagai berikut.

Pertama, Kekuatan Kolektif. Ketika umat Islam bersatu, mereka laksana tsunami yang tak terbendung. Perintah Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah untuk membangun umat yang kuat secara kolektif. Kekuatan ini bukan hanya fisik, tapi juga moral, intelektual, dan spiritual. Dengan berjama’ah, kita saling mengisi kelemahan dan menyatukan kelebihan.

Kedua, Perlindungan dari Penyimpangan. Siapa yang berjalan sendiri, lebih mudah diterkam serigala. Demikian pula dalam agama. Berjama’ah menjauhkan kita dari penyimpangan akidah, pemikiran, dan perilaku. Di sana ada yang menasihati, menegur, dan mengarahkan kita kepada kebenaran.

Baca Juga: Zionisme: Wajah Kezaliman yang Membungkam Nurani Dunia

Ketiga, Efektivitas Dakwah. Dakwah individu bagaikan obor kecil di tengah padang pasir. Tapi dakwah yang dibangun dalam jama’ah laksana matahari yang menyinari seluruh negeri. Ketika dakwah dilakukan berjama’ah, ia menjadi sistematis, strategis, dan berdampak luas.

Keempat, Pendidikan Akhlak dan Kepemimpinan. Hidup berjama’ah melatih kita untuk disiplin, taat, dan patuh. Kita belajar mengalah, bersabar, dan merendah demi maslahat bersama. Dari sini lahir pemimpin-pemimpin besar yang tidak hanya cerdas, tapi juga berjiwa umat.

Kelima, Menjadi Bagian dari Sejarah Besar Islam. Sejarah emas Islam dibangun oleh para pejuang yang hidup dalam ikatan jama’ah. Lihatlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Mereka bukan orang-orang yang hidup sendiri, tapi bagian dari satu barisan dakwah yang kokoh.

Ujian dan Godaan: Mengapa Banyak yang Menjauh dari Al-Jama’ah?

Baca Juga: Al-Jama’ah: Wadah Iman, Ladang Amal, dan Kunci Kejayaan Islam

Tidak semua orang kuat hidup dalam jama’ah. Ada ego yang harus ditundukkan. Ada rasa ingin bebas yang harus dikekang. Maka tidak heran jika banyak yang lari dari jama’ah, memilih jalan sendiri, merasa cukup dengan ibadah pribadi.

Tapi ingatlah: Islam tak akan tegak dengan orang-orang yang hidup hanya untuk dirinya sendiri. Ia butuh mujahid yang berani melebur dalam barisan, mengorbankan waktu, tenaga, bahkan perasaan demi tegaknya kalimat Allah.

Kita sering mendengar, “Saya ikut kajian di mana-mana, tidak perlu jama’ah.” Tapi ingat, yang Allah perintahkan bukan sekadar ikut kajian, melainkan taat pada pemimpin, terlibat dalam perjuangan kolektif, dan berada dalam struktur umat.

Pecahnya umat Islam hari ini bukan karena kurangnya masjid, bukan karena kurangnya ulama, bukan pula karena kurangnya harta. Tapi karena kita kehilangan ruh berjama’ah. Kita lebih suka membangun tembok, bukan jembatan. Lebih sibuk menyalahkan, bukan merangkul.

Baca Juga: Bersama dalam Ketaatan: Urgensi Hidup Berjama’ah bagi Seorang Muslim

Jama’ah adalah jembatan penyatu. Di sanalah kita belajar untuk saling memahami, saling menguatkan, dan saling mendukung. Kita kembali menegakkan amar ma’ruf nahi munkar secara sistematis, bukan sporadis.

Bayangkan jika setiap keluarga Muslim tergabung dalam jama’ah. Setiap pemuda punya pembinaan. Setiap ibu ikut dalam kegiatan dakwah. Setiap kepala rumah tangga punya tanggung jawab sosial keumatan. Itulah peradaban Islam yang sejati. Itulah masyarakat madani yang diteladankan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah.

Hidup Berjama’ah, Jalan Menuju Surga

Islam menjanjikan keutamaan besar bagi mereka yang hidup dalam jama’ah. Bahkan dalam hadis disebutkan, “Sesungguhnya tangan Allah bersama jama’ah.” (HR. Tirmidzi)

Baca Juga: Museum Al-Qur’an Al-Akbar Palembang: Wisata Religi Ikonik di Sumatera Selatan

Bayangkan, tangan Allah—pertolongan dan perlindungan-Nya—terletak pada jama’ah. Maka siapa pun yang ingin hidup dalam naungan rahmat Allah, ia tak boleh jauh dari jama’ah.

Jangan tunda. Jangan ragu. Jangan menunggu sempurna untuk bergabung. Jama’ah bukan tempat bagi orang-orang yang suci, tapi tempat bagi mereka yang ingin memperbaiki diri dan memperjuangkan Islam.

Mari kita jujur pada diri sendiri. Apakah kita sudah cukup berkontribusi untuk umat? Ataukah kita hanya menjadi Muslim pasif yang hanya datang ke masjid saat Jumat?

Umat ini terlalu besar untuk ditangani sendirian. Islam terlalu agung untuk dijadikan proyek pribadi. Kita butuh barisan. Kita butuh pemimpin. Kita butuh jama’ah.

Baca Juga: Menetapi Al-Jama’ah: Pilar Keimanan dan Penjaga Kesatuan Umat Islam

Kini saatnya kita bangkit. Bangkit dari tidur panjang kesendirian. Bangkit dari mimpi bahwa ibadah pribadi sudah cukup. Bangkit untuk menegakkan Islam secara berjama’ah, terstruktur, terpimpin, dan berkesinambungan.

Inilah waktunya kita pulang. Pulang ke rumah ukhuwah. Pulang ke pangkuan jama’ah. Pulang untuk membangun kembali keutuhan umat. Karena hanya dalam jama’ah, Islam akan kembali jaya.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Ziarah ke Masjid Al-Aqsa, Kunjungan Spiritual dan Persaudaraan

Rekomendasi untuk Anda