Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj News Agency (MINA)
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٲلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَـٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُڪَّامِ لِتَأۡڪُلُواْ فَرِيقً۬ا مِّنۡ أَمۡوَٲلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Artinya, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan [janganlah] kamu membawa [urusan] harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan [jalan berbuat] dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 18)
Bangsa Indonesia terhenyak ketika pada 3 September 2018 yang baru lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menciduk 22 anggota DPRD Kota Malang dan menetapkannya sebagai tersangka untuk kasus suap dan gratifikasi.
Ke-22 orang tersebut ternyata bagian tidak terpisahkan dari kasus suap Wali Kota Malang Moch Anton kepada 18 anggota DPRD lainnya yang pada 21 Maret 2018 lalu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Kedua gelombang tersangka itu pun buntut dari ditangkapnya Ketua DPRD Kota Malang M Arief Wicaksono dan penyuapnya, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (DPUPPB) Kota Malang tahun 2015 Jarot Edy Sulistyono pada 11 Agustus 2017.
“Korupsi berjamaah” menjadi istilah yang tepat untuk dilekatkan kepada tindakan kriminal segerombolan pelaku rasuah tersebut.
Namun, perasaan publik semakin tercederai setelah melihat beberapa dari mereka yang sudah berjaket oranye KPK itu justru tersenyum-senyum di depan kamera media tanpa rasa malu. Bahkan dengan ringannya tangannya melambai kepada lensa kamera dengan wajah tegak seolah tanpa lumuran noda hitam di tangannya.
Ekspresi tanpa malu inilah yang sering berulang disaksikan publik Indonesia ketika seorang pejabat publik sudah sah sebagai pelaku kriminal korupsi.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Rakyat Indonesia, khususnya bagi Muslim, memang tidak perlu mencari tahu, apakah masih ada rasa malu di diri mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ
Artinya, “Perkataan pertama yang diperoleh oleh manusia dari perkataan kenabian adalah, ‘Jika kamu tidak malu maka berbuatlah sesukamu’.” (HR. Abu Daud 4164)
Setiap orang mempunyai rasa malu. Akan tetapi, rasa malu itu bisa luntur dan pudar, hingga akhirnya lenyap karena berbagai sebab. Jika malu sudah mati dalam diri seseorang, berarti sudah tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari dirinya.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Pada pertengahan Agustus lalu, ada satu lintasan kalimat dari seorang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD saat ia berbicara terbuka dalam acara di salah satu stasiun televisi Indonesia.
Dalam acara tersebut, Mahfud mengungkapkan rasa tersinggungnya terhadap ucapan Ketua Umum PPP Romi. Ia menceritakan dialognya dengan Romi dan menyinggung tentang kasus korupsi yang menjerat Setya Novanto.
Menurutnya, Novanto sempat merasa aman karena mengaku dilindungi oleh Presiden. Namun, Mahfud kemudian meminta Menteri Sekretaris Negara M Praktikno untuk membuat pernyataan resmi bahwa Presiden bersikap netral dalam urusan hukum. Walhasil, Novanto kini mendekam di dalam penjara.
“Lalu saya buru Novanto masuk bui, Jadi jangan main-main. Karena saya tau catatan-catatan semua calon itu,” ujar Mahfud saat menirukan ucapannya ke Romi.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
“Karena saya tau catatan-catatan semua calon itu.” Kalimat inilah yang membuat publik akan berpikiran bahwa pejabat-pejabat yang kini duduk di kursi yang tinggi, terutama di pusat pemerintahan, memiliki “kartu merah” di dalam sakunya masing-masing.
Sudah menjadi keyakinan publik di masa sekarang, calon-calon pejabat yang bersaing di pemilihan Ketua RW hingga anggota legislatif dan pemilihan presiden, umumnya tak lepas dari motif uang.
Publik berkeyakinan pula bahwa di masa jabatan para pejabat terpilih, ia memiliki “kewajiban” untuk mendulang uang lebih besar dari jumlah yang digelontorkan untuk kampanye dan tim sukses.
Selama pola seperti ini terbudaya di dalam demokrasi Indonesia, maka kasus korupsi dan segala turunannya yang berbau uang akan terus terjadi.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Selama partai-partai politik hidup dari uang setoran anggotanya, maka peluang tindak korupsi tetap akan mengancam uang rakyat dan uang negara.
Selama pola seperti ini terus membudaya, maka publik Indonesia akan terus disuguhkan berita tentang digelandangnya para pejabat ke hotel prodeo oleh KPK.
Apakah semua pejabat akan berpotensi melakukan tindak korupsi?
Daripada tenggelam dalam rasa pesimis, langkah lebih baik kita adalah tetap berharap kepada Allah bahwa masih banyak pejabat publik yang memiliki keimanan dan rasa malu yang tinggi.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Di balik hilangnya rasa malu dari diri para pejabat, Allah telah memberi jawabannya.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ رِبْقَةُ الْإِسْلَامِ
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi Shallahllahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Apabila Allah ‘azza wajalla hendak membinasakan seorang hamba maka Dia akan mencabut rasa malu darinya, apabila rasa malu sudah dicabut darinya maka kamu akan mendapatinya dalam keadaan sangat dibenci. Jika kamu tidak mendapatinya melainkan dalam keadaan sangat dibenci, maka akan dicabut amanah darinya, apabila amanah telah dicabut darinya, maka kamu tidak mendapatinya kecuali dalam keadaan menipu dan tertipu. Apabila kamu tidak menjumpainya melainkan dalam keadaan menipu dan tertipu, maka akan dicabut darinya sifat kasih sayang, dan apabila dicabut darinya kasih sayang, kamu tidak akan menjumpainya kecuali dalam keadaan terlaknat lagi terusir, dan apabila kamu tidak menjumpainya melainkan dalam keadaan terlaknat lagi terusir, maka akan dicabut darinya ikatan Islam.” (Sunan Ibnu Majah 4044 ). (A/RI-1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina