Jakarta, MINA – Peneliti Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Febbi Meidawati mengungkapkan, terjadi penurunan kualitas pendidikan secara signifikan ketika Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang diterapkan sejak awal pandemi melanda.
Hal tersebut berdasarkan survei yang dilakukan lembaganya terhadap 98 kepala sekolah, 515 guru dan 826 peserta didik dari 114 satuan pendidikan setingkat SD-SMP yang tersebar di 9 provinsi, pada Agustus-September 2021 yang lalu.
“Temuan survei kami dengan persepsi responden guru, menunjukkan kesimpulan bahwa capaian belajar peserta didik jauh menurun di masa pandemi,” ujar Febbi dalam keterangan tertulis, Sabtu (20/11).
Dia membeberkan sebanyak 50,9 persen guru meyakini peserta didiknya mengalami penurunan capaian belajar di beberapa mata pelajaran dan bahkan 37,0 persen guru meyakini peserta didiknya menurun capaian belajarnya di seluruh mata pelajaran.
Baca Juga: Wamenag Sampaikan Komitmen Tingkatkan Kesejahteraan Guru dan Perbaiki Infrastruktur Pendidikan
Hanya 12,1 persen guru yang meyakini capaian belajar peserta didiknya tidak menurun di masa pandemi.
“Lebih jauh, penurunan capaian belajar peserta didik di masa pandemi ini paling banyak dialami oleh peserta didik dari kelompok rentan,” kata Febbi.
Kelompok rentan yang dimaksud yaitu peserta didik yang sejak awal bersekolah (sebelum pandemi) capaian belajarnya sudah rendah, diikuti kemudian peserta didik dari keluarga miskin, dan peserta didik dengan kedua orang tua bekerja.
“Dengan kata lain, dampak redistributif BDR (Belajar Dari Rumah) di masa pandemi sangat mencemaskan, yaitu yang lemah semakin jauh tertinggal, yang miskin semakin tidak mampu mengejar si pandai yang kaya,” tutur Febbi.
Baca Juga: Hari Guru, Kemenag Upayakan Sertifikasi Guru Tuntas dalam Dua Tahun
Hasil survei IDEAS juga menunjukkan, dalam persepsi peserta didik, BDR adalah substitusi yang jauh dari sepadan dengan PTM.
“Berturut-turut sebesar 53,5 persen dan 31,1 persen peserta didik menyatakan BDR lebih tidak menyenangkan dan jauh lebih tidak menyenangkan dibandingkan dengan PTM. Hanya 15,4 persen peserta didik yang menyatakan BDR tidak lebih buruk dibandingkan PTM,” ungkap Febbi.
Dengan pembelajaran BDR di masa pandemi, sebesar 74,7 persen peserta didik merasa dirinya menjadi tidak lebih pintar dibandingkan dengan sebelum pandemi.
“Selaras dengan temuan dari persepsi guru, sebesar 51,4 persen peserta didik menyatakan prestasi belajarnya di masa pandemi menurun di beberapa mata pelajaran. Bahkan 11,8 persen peserta didik merasa prestasi belajarnya di masa pandemi menurun di seluruh mata pelajaran,” beber Febbi.
Baca Juga: Program 100 Hari Kerja, Menteri Abdul Mu’ti Prioritaskan Kenaikan Gaji, Kesejahteraan Guru
Menurut Febbi, membuka kembali sekolah adalah keharusan dan tidak terhindarkan di banyak wilayah dengan keterbatasan kemampuan PJJ. Namun merebaknya klaster sekolah seiring PTM menimbulkan kekhawatiran lonjakan kasus Covid-19.
“Kembali menutup sekolah tidak terhindarkan jika kasus melonjak, namun hal ini dipastikan akan semakin meningkatkan kerugian bagi peserta didik,” ucapnya.
Menghadapi kemungkinan terburuk ke depan, menyiapkan desain BDR yang lebih nyaman, menyenangkan, dan terjangkau, menjadi keharusan yang mendesak.
“Temuan dari survei kami menunjukkan bahwa terdapat peluang BDR semakin diterima peserta didik ketika kelemahan BDR semakin direduksi dan keunggulan PTM semakin banyak diadopsi,” katanya.
Baca Juga: Delegasi Indonesia Raih Peringkat III MTQ Internasional di Malaysia
Desain BDR yang senyaman PTM maka mengharuskan adanya komponen PTM meski tidak rutin. Adopsi PTM terbatas adalah sudah tepat, kombinasi BDR dan PTM dengan proporsi sesuai tingkat risiko wilayah dimana sekolah berada menjadi pilihan paling rasional.
Febbi berpendapat bahwa BDR secara penuh (100 persen) adalah pilihan yang tidak bijaksana, namun PTM secara penuh juga beresiko tinggi dan juga bukan sesuatu yang sangat diinginkan dan diminta oleh peserta didik.(R/R5/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Matahari Tepat di Katulistiwa 22 September