Jakarta, 8 Safar 1437 H/20 November 2015 – Bimbingan Teknis Nasional Wajib Sertifikasi Halal yang memasuki hari ketiga membahas teknik mengidentifikasi bahan haram dalam makanan dengan metode PCR.
Acara itu terselenggara atas kerjasama antara Yayasan Produk Halal Indonesia (YPHI) bersama Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Hotel Sheraton Media, Jl. Gunung Sahari Raya No. 3, Jakarta Pusat pada 18 – 20 November 2015.
Menurut Dr. Muhammad Yanis Musdja selaku ketua panita, mengatakan Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode replikasi DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme. Melalui PCR, DNA dapat dihasilkan dalam skala besar dalam waktu relatif singkat.
PCR dirintis pertama kali oleh Kary Mullis pada 1983. Berkat rintisan tersebut ia meraih Nobel pada 1994. Penerapan PCR banyak dilakukan di bidang biokimia dan biologi molekular karena relatif murah dengan sampel yang kecil.
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
Proses PCR dilakukan berulang-ulang antara 20-30 kali siklus sesuai kebutuhan. Setiap siklus memiliki tiga tahap, yakni peleburan (melting), penempelan (annealing), dan pemanjangan (elongasi).
Tahap pertama berlangsung pada suhu tinggi (94-96 derajat celcius). Ikatan hidrogen pada objek akan terputus (denaturasi) dan DNA menjadi berkas tunggal. Metode dilakukan sampai dengan lima menit untuk memastikan semua berkas DNA terpisah.
Selanjutnya, primer menempel pada bagian DNA yang komplementer urutan basanya. Annealing dilakukan pada suhu 45-60 derajat celcius dan bersifat spesifik. Durasi penempelan bagian primer pada DNA satu sampai dua menit.
Tahap terakhir, elongasi dilakukan pada suhu 76 derajat celcius tergantung dari jenis DNA polimerase yang digunakan. Pemanjangan atau elongasi biasanya berdurasi satu menit. Setelah itu, proses siklus kembali berulang.
Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku
Akibat denaturasi dan renaturasi, beberapa berkas baru (biasanya berwarna hijau) menjadi tempat bagi primer yang lain. Berkas DNA panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai dan jumlah DNA yang dihasilkan melimpah karena penambahan terjadi secara eksponensial.
Badan Penyelengara Jaminan Produk Halal (BPJPH) selaku administrator Yayasan Produk Halal Indonesia (YPHI) menginisiasi penggunaan PCR untuk mengaudit kehalalan produk. Hal tersebut dilandasi analisis kritis titik kontrol kehalalan dan resiko pada suatu produk.
Analisis produk halal fokus pada babi dan produk turunannya. Hal ini disebabkan seluruh struktur tubuh babi dapat dijadikan bahan makanan, obat, kosmetik, aksesoris, dan lain-lain. PCR digadangkan akan menjadi filter bagi tiap unsur babi yang mungkin terkandung pada makanan, obat, hingga kosmetik.(L/M01/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?