IHW Dorong Pemerintah Terapkan UU JPH Bagi Barang Impor dan Restoran Asing

Jakarta, MINA – Lembaga advokasi halal, Indonesia Halal Watch () mendorong pemerintah dapat segera menjalankan Undang-Undang No 33 tahun 2014 tentang Jaminan (UU JPH) dalam memberlakukan secara ketat bagi produk impor yang membanjiri pasar domestik.

Direktur Eksekutif IHW Dr. H. Ikhsan Abdullah menyatakan, hal ini sebagai salah satu ikhtiar untuk dapat mempertahankan produk domestik dan pasar Indonesia dari serbuan dalam rangka menumbuhkan dunia usaha dan ekonomi nasional.

Dia menilai, belum berfungsinya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) tidak bisa dipungkiri, berkontribusi memberikan peluang bagi produk asing membanjiri pasar domestik Indonesia.

“Fenomena ini dapat kita saksikan dengan tumbuhnya ratusan gerai outlet food & beverage asing dibuka di Indonesia, yang tidak jelas kehalalannya. Padahal seharusnya Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan dan Kementerian Industri juga Pemerintah Daerah harus sudah mulai menerapkan Kebijakan yang berbasis pada UU JPH,” ujar Ikhsan sebagaimana keterangan yang diterima MINA, Rabu (29/8).

Dia mengungkapkan bahwa dalam UU JPH ini secara tegas mengatur semua produk yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 UU JPH.

Menurut Ikhsan, ketentuan ini seharusnya diterapkan secara ketat untuk melindungi pelaku usaha nasional dan kepentingan untuk melindungi konsumen, karena produk dari gerai-gerai asing dan berbagai restoran yang bertebaran di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia cenderung tidak memiliki perhatian dengan ketentuan jaminan halal di Indonesia.

“Ini juga sangat disayangkan karena pemegang franchise resto dan gerai tersebut adalah WNI yang seharusnya memiliki awareness tentang UU JPH,” ujarnya.

Kondisi seperti ini jika dibiarkan terlalu lama, kata Ikhsan, di samping pemerintah juga melanggar UU JPH juga dapat mengakibatkan matinya ekonomi lokal berupa tergesernya restoran dan gerai-gerai makanan tradisional, karena pada umumnya mereka tidak memiliki modal dan teknologi yang cukup baik.

“Tentu saja pemerintah tidak boleh membiarkan usaha-usaha domestik tersebut bersaing tak seimbang dengan perusahaan-perusahaan asing atau perusahaan multinasional yang memiliki jaringan dan modal yang besar,” imbuhnya.

Ikhsan menyatakan, produk waralaba, produk asing dan resto asing boleh saja membuka cabangnya di Indonesia akan tetapi harus memperhatikan ketentuan dan regulasi halal di Indonesia yang telah diatur dalam UU JPH.

“Ini harus menjadi komitmen pemerintah sehingga secara otomatis produk asing yang masuk ke Indonesia telah bersertifikasi halal dan baru dapat beroperasi. Sehingga UU JPH dapat berfungsi menjadi regulasi yang dapat memproteksi dunia usaha,” tambahnya.

Patuh pada Ketentuan

Beberapa produk impor luar negeri masih dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, sebagai negara dengan mayoritas berpenduduk muslim, dituntut lebih berhati-hati dan peduli dengan sertifikasi halal terhadap produk-produk luar negeri tersebut.

Ikhsan yang juga menjabat Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan, untuk itu MUI melalui LPPOM MUI sebagai lembaga sertifikasi halal di Indonesia menetapkan ketentuan mengenai syarat bagi produk halal impor yang hendak masuk ke Indonesia.

Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi agar produk asing yang akan masuk ke Indonesia dapat diberikan pengakuan sebagai produk halal yang dapat beredar di Indonesia. Demikian pula bagi lembaga sertifikasi halal di Iuar negeri untuk mendapatkan pengakuan dari MUI harus memenuhi beberapa persyaratan standar yang telah ditetapkan, yakni:

Pertama, lembaga sertifikasi halal luar negeri yang melakukan proses sertifikasi halal dan audit halal untuk pangan, obat, dan kosmetik harus dari lembaga yang dibentuk oleh organisasi keislaman yang legal atau berbahan hukum.

Kedua, organisasi keislaman yang legal tersebut harus memiliki kantor permanen dan dikelola sebagaimana mestinya dengan dukungan sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi dan kredibilitas.

Ketiga, organisasi keislaman tersebut harus memiliki dewan atau komisi fatwa yang berfungsi menetapkan fatwa halal serta tim ilmuwan yang memiliki keahlian melakukan audit halal.

Keempat, lembaga sertifikasi halal harus memiliki standard operating procedures (SOP). Misalnya dengan memiliki ketentuan atau prosedur pendaftaran, administrasi, dan pemeriksaan atau audit halal ke pabrik, laporan audit, dan rapat komisi fatwa untuk penetapan fatwa.

Kelima, yaitu semua berkas administrasi baik formulir-formulir pendaftaran, laporan, data tentang perusahaan dan file-file data lainnya yang dimiliki atau dikelola oleh organisasi keislaman tersebut harus ditata dengan sistem yang baik. Hal ini bertujuan agar perusahaan-perusahaan yang telah disertifikasi halal mudah ditelusuri.

Keenam, lembaga sertifikasi halal tersebut harus memiliki jaringan kerja sama yang luas dan menjadi anggota World Halal Food Council (WHFC).

Terakhir ketujuh, yakni dapat menjalin kerja sama yang baik dengan MUI untuk melakukan audit maupun pengawasan atas produk-produk halal di Indonesia.

“Dengan ketujuh syarat ini diharapkan pengusaha franchise waralaba, gerai dan restoran asing tersebut dapat memenuhi ketentuan dimaksud agar masyarakat merasa yakin, aman dan nyaman,” tegas Ikhsan.(L/R01/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.