IHW Kritisi Omnibus Law Jaminan Halal, Kekuasaan Negara Mengkoptasi Kewenangan Ulama

Jakarta, MINA – Lembaga advokasi Indonesia Halal Watch (IHW) mengkritisi Undang-Undang Cipta Kerja terkait Jaminan Produk Halal (JPH) yang pada hari Senin 5 Oktober 2020 disahkan oleh DPR dalam Sidang Paripurna.

Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah menyatakan dalam beberapa hal pihaknya bersyukur hasil final dari RUU Cipta kerja terkait JPH mengalami perbaikan, khususnya dalam hal fatwa halal telah diketok tetap menjadi kewenangan MUI.

Namun secara keseluruhan, isu yang selama ini ramai diperdebatkan perihal ketentuan mengenai Sertifikasi Auditor Halal, Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Ketentuan Kerjasama dengan Lembaga Sertifikasi Halal Internasional serta Sistem Jaminan Halal memposisikan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menjadi Badan yang super body.

“Ini sekaligus menempatkan MUI seperti menjadi subordinat atau bawahan BPJPH dalam kontek Pelaksanaan Sistem Jaminan Halal,” kata Ikhsan sebagaimana keterangan tertulis yang diterima MINA, Jumat (9/10).

Menurutnya, semua kewenangan MUI yang dulu telah diatur di dalam UU JPH, yakni Undang-Undang No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal telah habis dilucuti.

Ikhsan mengatakan, bila dalam konteks Undang-Undang Omnibus pada Klaster Jaminan Produk Halal tersebut, pendekatan yang humanis dan tetap takdzim kepada MUI sebagai Representasi Ulama dikedepankan sebagai hal yang sangat penting bagi personal yang ada di BPJPH, maka niscaya dapat memuluskan implementasi Undang-Undang tersebut.

“Akan tetapi bila yang terjadi kekakuan dan kebekuan seperti yang ditunjukkan Kepala BPJPH tiga tahun terahir ini, maka kami sangat khawatir UU Omnibus pada kluster Jaminan Produk Halal ini semakin sulit untuk dilaksanakan,” ujarnya.

Ikhsan memaparkan dalam Ketentuan Pasal 35A ayat 2 UU Omnibus Cipta Kerja:

“Apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, maka BPJPH dapat menerbitkan Sertifikat Halal.”

Hal ini menurutnya dapat dikatakan Kekuasaan Negara mengkoptasi Kewenangan Ulama. Sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam sejarah Perundangan-undangan di Indonesia, bahkan dimasa Penjajahanpun Belanda tidak mau masuk ke wilayah yang sangat sensitif.

Hal yang sangat tidak tepat di dalam Ketentuan Omnibus Jaminan Produk Halal adalah Ketentuan mengenai Self Declare, ini adalah sesuatu yang diharamkan oleh UU JPH, yakni Undang-Undang No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebelum Ketentuan Omnibus law.

Namun menjadi dihalalkan oleh Omnibus, yang sebenarnya juga melemahkan MUI dan Kementerian Agama yang secara struktur dan kelembagaan telah mempunyai organ sampai di tingkat Kecamatan di seluruh Indonesia yang bisa diaktifkan dan diberdayakan untuk melakukan fungsi pembinaan, pengawasan dan edukasi kepada UKM bagaimana tata cara memproduksi barang halal dari mulai pemilihan bahan, proses produksi pengangkutannya, hingga sampai kepada Konsumen (halal value chain).

“Karena halal itu mata rantainya, from Farm to Fork atau dari ladang sampai ke meja makan, yang harus dijamin kehalalannya,” ujarnya.

Ikhsan pun mempertanyakan lalu bagaimana bila halal hanya dinyatakan sendiri oleh pelaku usaha UKM.

“Kita semua faham tidak semua UKM menggunakan bahan produksi yang termasuk kategori positif list seperti bahan-bahan alam misal beras, tepung ketela, sagu,” katanya.

Tetapi banyak UKM yang menggunakan bahan utamanya dari daging, margarin, roombutter dan bahan penolong serta bahan artifisial yang memiliki titik kritis tinggi yang masih harus ditracing kehalalannya.

Bila hanya dengan halal self declare, maka akan menjadi tidak jelas kehalalanya.

Dan yang menjadi persoalan utama, halal itu bukan masalah perizinan yang dalam Omnibus Law dimasukan di dalam klaster Perizinan dan kemudahan berusaha.

Tetapi halal itu adalah hukum syariah (Islam) yang menjadi domain dan kewenangan ulama.

Kehalalan Produk tidak hanya didekati dengan ilmu Fiqih tapi juga dengan teknologi, karena di masa kini perkembangan Teknologi Pangan olahan dudah begitu mutahir yang dapat menjadikan tidak jelas lagi produk yang halal dan yang tidak.

“Oleh karenanya tetap diperlukan pemeriksaan atas suatu produk sebelum dilakukan penetapan Fatwa oleh MUI, jadi Halal Self Declair tidak sejalan dengan Maqosid syariah, disamping tidak sesuai prinsip Perlindungan Konsumen yang menjadi tujuan utama,” pungkas Ikhsan.(L/R1/RI-1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.