Jakarta, MINA – Indonesia Institute for Social Development (IISD) meminta pemerintah mempertimbangkan pelarangan total iklan, promosi, dan sponsor produk rokok jenis apapun, sebagai upaya melindungi generasi muda sebagai perokok pemula, melalui peraturan perundang-undangan.
“Iklan, promosi, dan sponsor adalah salah satu faktor yang mempunyai pengaruh signifikan atas pertumbuhan perokok baru. Riset Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) bersama IISD pada 2017 menunjukkan, 98,97 pelajar di Pulau Jawa terpapar iklan rokok, dan 68,91% diantaranya terdorong untuk mencoba setelah melihat iklan,” kata Program Manager IISD Ahmad Fanani dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (23/7).
Ia mengatakan, pemerintah khususnya Kementerian Komunikasi dan Informasi sebagai Focal Point dalam pengaturan penyiaran, sebaiknya dapat mengakomodasi aspirasi yang berkaitan dengan pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok, dalam rangka membendung gelombang perokok pemula dan menurunkan prevalensi perokok pemula.
Lebih lanjut Ahmad mengatakan, pemerintah harus menjauhkan akses rokok dari anak dan remaja, dengan menaikkan harga dan melarang penjualannya secara eceran.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Diprediksi Turun Hujan Senin Sore Ini
“(Juga) merumuskan regulasi yang mengatur rokok elektrik, mengingat semakin tingginya penggunaan terhadap produk tersebut sementara belum ada regulasi yang mengaturnya. Kekosongan regulasi membuat produk rokok elektrik leluasa diedarkan,” tambahnya.
Ahmad juga mengatakan, proses Revisi PP 109 tahun 2012 harus segera dituntaskan. Masih tingginya prevalensi perokok, termasuk perokok anak, merupakan bukti regulasi yang ada tak cukup kuat sebagai payung regulasi pengendalian tembakau.
“Mengaktifkan kembali inisiasi aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Pengendalian Tembakau bukanlah local matter, melainkan fenomena transnasional sehingga menuntut adanya kerjasama internasional untuk mengendalikannya secara komprehensif dan multidisipliner,” ujarnya.
Berdasarkan data Riskesdas 2018, 9,1% anak Indonesia adalah perokok. 23% anak-anak tersebut mulai merokok pada usia dini antara 10-14 tahun. Sebagian anak-anak (0,4%) sudah mencoba rokok pada usia 5-9 tahun.
Baca Juga: Syaikh El-Awaisi: Menyebut-Nyebut Baitul Maqdis Sebagai Tanda Cinta Terhadap Rasulullah
Rilis hasil survei Global Adult Survey 2021 yang dipublikasi saat Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2022 (31/5) lalu, menunjukkan temuan mencemaskan. 73,3% pria muda berusia 24-45 tahun di Indonesia adalah perokok. Jadi sekitar 4 dari 5 Pria muda di Republik ini adalah perokok.
Survey BPS 2020 menunjukkan di keluarga miskin, pengeluaran uang untuk membeli rokok dan produk tembakau lainnya lebih besar dari belanja makanan pokok. Sifat adiktif mendorong para perokok menempatkan rokok sebagai prioritas dibanding kebutuhan lain.
Data IDEAS (2022) menunjukkan fakta lebih mengkhawatirkan, di mana 5,6 juta perokok mengaku pernah tidak bisa makan makanan bergizi dan sehat demi rokok. Bahkan sebanyak 640 ribu perokok pernah tidak makan sepanjang hari demi tetap bisa membeli rokok. Pengeluaran untuk belanja rokok berpotensi merampas hak anak untuk mendapatkan asupan gizi terbaik yang mendukung tumbuh kembangnya. (R/R7/R1)
Baca Juga: AWG: Daurah Baitul Maqdis, Jadi Titik Balik Radikal untuk Perjuangan Umat Islam
Mi’raj News Agency (MINA)