Ikhsan Abdullah: Empat Instrumen Penting Penyelenggaraan Sertifikasi Halal

Jakarta, MINA – Direktur Eksekutif , Dr H Ikhsan Abdullah, SH, MH, menguraikan empat instrumen penting dalam penyelenggaraan di tanah air.

Menurutnya, proses pertumbuhan industri halal yang saat ini sedang didorong oleh pemerintahan melalui Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang telah diperbarui dengan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) melalui Peraturan Presiden RI No. 28 tahun 2020.

“Upaya tersebut yang pada intinya memperluas dan memajukan keuangan serta ekonomi syariah dalam rangka memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Untuk itu, perlunya diperhatikan empat instrumen penting agar penyelenggaraan sertifikasi halal selaras dengan dorongan pertumbuhan industri halal ini,” kata Ikhsan kepada MINA, Rabu (8/7).

Hal ini juga berkenaan dengan proses pelaksanaan Keputusan No. 982 tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal (KMA 982/2019) yang pada dasarnya merupakan pemberian kewenangan kepada Majelis Ulama Indonesia – LPPOM untuk menyelenggarakan sertifikasi halal.

Keempat instrumen penting itu, lanjut dia, yakni pertama yakni proses pembentukan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Proses pembentukan LPH, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan Produk.

“Artinya semua produk yang di ajukan sertifikasi halal harus melalui proses pemeriksaan halal melalui lembaga ini,” ujarnya.

Menurut Ikhsan, LPH yang akan menentukan proses lebih lanjut apakah terhadap hasil pemeriksaan produk yang di ajukan dapat dilanjutkan proses permohonan fatwa kepada MUI atau tidak.

“Artinya di sini betapa penting peran dari LPH, oleh karenanya sebagai instrumen penting maka pembentukan LPH tidak boleh dilakukan dan di akreditasi sendiri oleh BPJPH, akan tetapi harus dilakukan bersama-sama dengan MUI, apalagi pasca diterbitkannya KMA No.982/2019,” imbuhnya.
Kedua, proses embentukan Penyelia Halal. Penyelia Halal adalah adalah orang yang bertanggung jawab terhadap Proses Produk Halal (PPH). Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal wajib memiliki Penyelia Halal.

Penyelia Halal bertugas untuk mengawasi PPH di perusahaan, menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan, mengkoordinasikan PPH dan mendampingi Auditor Halal LPH pada saat pemeriksaan.

Jelas peran Penyelia Halal penting dalam pengawasan, karena berkaitan dengan hal ihwal proses sertifikasi halal. Hal ini tentu juga merupakan domain dari peran-peran ulama dan tidak mungkin dilakukan sendiri oleh BPJPH. Apalagi BPJPH malah melihatkan pihak ketiga lain dalam penyelenggaraan pelatihan, sertifikasi dan akreditasi lembaga-lembaga sebagaimana tersebut di atas.

Hal ini diperoleh dari statemen Prof Ir Sukoso selaku kepala BPJPH yang sering disampaikan ke publik bahwa BPJPH menggandeng Halal Institute untuk penyelenggaraan pelatihan dan akreditasi lembaga tersebut, tetapi bukan bekerjasama dengan MUI-. Ini semestinya tidak dilakukan oleh BPJPH, apalagi anggaran yang digunakan dalam proses pelatihan Auditor Halal-Penyelia Halal, akreditasi LPH menggunakan anggaran APBN, tentu sudah menyalahi ketentuan Undang-Undang.

Ketiga, proses pembentukan Auditor Halal. Salah satu hal yang penting dalam proses sertifikasi halal adalah Auditor Halal. Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan Produk, sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 9 UU JPH.

Auditor Halal sebagai instrumen penting dalam proses sertifikasi halal adalah sebagai orang yang mewakili ulama dalam tugas melakukan pemeriksaan produk pada LPH. Maka syarat mutlak pendirian LPH adalah wajib memiliki Auditor Halal.

Auditor Halal adalah orang yang memahami hal ihwal tentang kehalalan produk dan memiiliki kompentensi di bidang pangan. Oleh karenanya recruitment Auditor Halal dibatasi hanya terhadap mereka yang mempunyai kompentensi di bidang/ latar belakang paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, Teknik industri, biologi, atau farmasi.

Selain memiliki kemampuan syariah, lebih jauh dari itu Auditor Halal harus mendapatkan akreditasi dari MUI dan BPJPH dengan maksud Undang-Undang tersebut adalah Auditor Halal memiliki kompetensi di bidang agama islam dan keilmuan dibidang teknologi pangan.

Lalu apakah setelah KMA No.982/2019 diterbitkan BPJPH masih bisa melakukan penyelenggaraan pelatihan dan akreditasi Auditor Halal tanpa bekerjasama dengan MUI? jawabannya tentu tidak, karena BPJPH tidak mampu menyelenggarakan proses registrasi dan sertifikasi halal tentu amatlah naif apabila dapat melakukan hal-hal yang lebih substansial lagi. Maka harusnya BPJPH menginstropeksi diri dengan membangun kemampuan menata infrastruktur dan organisasinya bukan selalu berhadap-hadapan dengan MUI-LPPOM MUI.

Keempat, proses akreditasi dan pengakuan Lembaga Sertifikasi Halal Luar Negeri. Dunia internasional saat ini menjadikan MUI sebagai kiblat dari sertifikasi halal, oleh karenanya 45 Lembaga Sertifikasi Halal Asing, sebut saja Asia Pasifik dari Cina, Korea Selatan, Taiwan, Sri Lanka, India, Thailand, Jepang, New Zealand dan Australia. Kemudian Eropa seperti Belanda, Belgia, Perancis, Norwegia dan Finlandia.

Sementar Amerika Serikat dan negara-negara Amerika Latin serta beberapa negara di Afrika, mereka adalah 45 (empat puluh lima) Lembaga Sertifikasi Halal Asing dari 26 (dua puluh enam) negara yang selalu ingin mendapatkan pengakuan atau recognition dari MUI.

“Artinya Indonesia bisa menjadi negara utama rujukan negara internasional dalam standard halal di dunia. Upaya ini tentu dibangun cukup lama serta konsisten dari MUI dan telah mendapatkan kepercayaan dari dunia internasional,” ungkap Ikhsan.

Oleh karenanya, pengakuan dan penetapan standar dari Lembaga Sertifikasi Halal Luar Negeri tersebut harus dilakukan sesuai dengan standar kesyariahan yang mendasarkan pada prinsip Maqashid Syariah Sertifikasi Halal.

Maka, pelibatan MUI dalam melakukan akreditasi Lembaga Sertifikasi Halal Luar Negeri mutlak diikutsertakan karena halal bukan semata-mata persoalan teknologi dan pengetahuan akan tetapi berkaitan dengan kepercayaan Lembaga Sertifikasi Halal Luar Negeri kepada MUI, bahwa standard halal MUI adalah menentramkan umat.

Berdasarkan pada paparan Kami di atas, maka seyogyanya peran penting MUI dan LPPOM MUI harus tetap dipertahankan dan tidak boleh terabaikan dengan keadaan apapun sampai Keputusan Menteri Agama No. 982 tahun 2019 perihal Layanan Sertifikasi Halal tanggal 12 November 2019, Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal tanggal 30 November 2001, dan Keputusan Menteri Agama No.518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal dicabut.

“Selama belum dicabut maka MUI dan LPPOM MUI tetap dapat menyelenggarakan proses sertifikasi halal dan menerbitkan fatwa halal tertulis, karena pada dasarnya sertifikat halal adalah fatwa tertulis dari Komisi Fatwa MUI atas produk yang dinyatakan halal,” pungkasnya.(L/R1/RS2)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.