Oleh: M Waliyulloh, Ketua Pemuda Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Lampung
Esensi dari pengamalan Islam adalah perbuatan baik, yaitu kebaikan dalam ibadah, muamalah dan akhlak. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjamin kecintaan-Nya pada hamba yang selalu berbuat baik [Al Baqarah:195]
وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
“…Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga memberikan jaminan ganjaran dari setiap kebaikan.
وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُۥ .فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ
“Barangsiapa yang berbuat kebaikan (sebesar biji dzarrah), niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang berbuat kejahatan (sebesar biji dzarrah), niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”. [QS. Az-Zalzalah: 7-8].
Kebaikan yang kita lakukan hakikatnya adalah kebaikan untuk diri sendiri. Namun terkadang kita lupa menyadari bahwa kebaikan yang diterima seseorang adalah cerminan dari perbuatan baik yang dilakukannya. Hal ini ditegaskan Allah Subhanahu Wa Ta’la dalam surat Al Isra:7.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri”.
Ayat-ayat di atas telah mensakralkan perbuatan baik pada posisi yang agung dan universal. Ia adalah penyeimbang afeksi dalam jiwa. Oleh sebab itu kebaikan akan menjernihkan kekeruhan, menenangkan kegelisahan, mendinginkan kegersangan dan melembutkan hati yang keras serta menerangi yang gelap.
Kebaikan adalah nutrisi jiwa dan mata air yang membawa kita mengaliri hidup menuju kebahagiaan. Adakalanya orang mencari kebahagiaan yang tak berujung sampai pada titik utopis, padahal kebahagiaan itu sedekat nadi dan bisa sangat mudah dicapai dengan berbuat baik.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Secara kontekstual, perbuatan baik adalah setiap aktivitas gerak tubuh yang seirama dengan detak jantung. Setiap perbuatan baik otomatis direspon indera secara positif sehingga definisi baik menghasilkan makna aktual yang sederhana. Merencanakan kebaikan tidak selalu disusun dengan rancangan yang kompleks karena jenis perbuatan baik itu bersifat relatif sementara nilai kebaikan bersifat absolut.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah pelopor kebaikan dari jenis perbuatan baik yang sederhana sampai kebaikan yang berimplikasi pada kemaslahatan manusia sepanjang masa. Tapi, coba kita ingat betapa kebaikan beliau pada orang lain yang kesannya sederhana begitu berharga. Wajahnya selalu cerah dengan senyum merekah ketika berjumpa adalah kebaikan yang menyejukkan. Beliau tidak pernah berkata kasar, orang yang paling baik dengan tetangganya, paling menghargai orang lain.
Bahkan untuk sekedar menoleh ketika dipanggil beliau tidak lakukan kecuali dengan seluruh wajah dan tubuhnya sebagai gestur apresiatif. Tangannya erat dan hangat ketika berjabat dan tidak pernah memalingkan wajah dari orang lain saat bercakap. Wallahi, menulis atau membaca gambaran kebaikan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam saja sudah memberikan kebahagiaan. Kebaikan akan menjelma menjadi antibodi dan kekebalan diri dari pengaruh keburukan.
Adapun perbuatan buruk mempunyai dampak mengeraskan, menghitamkan dan menggersangkan jiwa. Keburukan itu seperti virus. Menjalar cepat, menguasai dan mengendalikan seluruh elemen tubuh dan menguasai jiwa. Saat melihat orang lain bertingkah pongah dan sombong, jiwa menolak dan meresistensi dengan rasa tidak suka, benci. Rasa itu mengkristal menjadi keinginan menyaingi kesombongan dengan kecongkakan baru.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Saat menjadi korban perbuatan buruk, tubuh dan jiwa bereaksi dengan kebencian bahkan dendam. Saat melihat perempuan tetangga dianiaya suaminya, tubuh dan jiwa merasa panas dan gemas bahkan ingin bertindak serupa pada si penganiaya. Saat melihat wanita dengan aurat dipertontonkan tubuh dan jiwa merespons dengan memandang tajam penuh syahwat. Keburukan akan merangsek dan menggiring hati pada sudut yang gelap.
Pada kondisi ini, keburukan tidak lagi “seperti virus”, tetapi sudah berevolusi menjadi virus itu sendiri. Seperti umumnya dikenal dalam kaidah kedokteran virus sulit dibasmi karena sifatnya yang patogen dan aselular. Ia membutuhkan sel hidup untuk berkembang dan bereplikasi. Ia juga sanggup beradaptasi dan menjadi siluman dalam tubuh. Sulit diterka, disadari bahkan susah dirasa kehadirannya.
Sebenarnya virus bangkit menyerang jika dan hanya jika pada tubuh dengan kekebalan rendah (immunocompromise) sementara jika kekebalan tubuh baik (immunocompetence) virus takluk dan hilang kanuragannya. Oleh karena itu memberangus virus justru efektif dilakukan dengan menguatkan antibodi dan kekebalan diri. Mungkin amsal di atas tidak terlalu pas, karena dirangkai dari serpihan ingatan lama pelajaran biologi masa muda dulu. Tetapi esensinya dapat membantu memahami proses itu.
Dalam konteks menjalani hidup, antibodi dan kekebalan diri adalah kebiasaan berperilaku baik, inilah yang menjadi garda paling mumpuni menangkal virus virus kehidupan. Sangat tepat Al Ashr:1-3 memberikan warning bahwa manusia merugi jika kosong dari iman dan perbuatan baik.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Interpretasi bebas yang bisa dipahami adalah indikator untung rugi hidup di dunia ini adalah seteguh apa kita memiliki iman dan keyakinan dan sesering apa kita membiasakan untuk berbuat kebaikan karena kebaikan akan menghancurkan keburukan. ”
وَقُلْ جَآءَ ٱلْحَقُّ وَزَهَقَ ٱلْبَٰطِلُ ۚ إِنَّ ٱلْبَٰطِلَ كَانَ زَهُوقًا
Pepatah Jawa memaknai ayat tersebut dengan istilah “Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti”. Segala sifat keras hati dan angkara murka, hanya bisa dikalahkan oleh kasih sayang dan kebaikan.
Tugas dan tadzkirah yang harus menjadi resolusi hidup adalah menyibukkan diri dengan perbuatan baik sebagai cara memperkuat antibodi dan imunitas dari virus keburukan di zaman di mana perkara buruk merajalela dan perkara baik semakin sedikit, “tunggak jarak mrajak tunggak jati mati“.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Pada akhirnya bagi kita sebagai manusia, kebaikan dan keburukan hanya tinggal pilihan. Untuk memilihnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah membekali akal pikir, fitrah dan petunjuk. Otoritas masing-masing pribadi manusia yang akan memilih jalan itu. Mari berbuat, mari baik, mari berbuat baik. (A/wly/B03/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan