Jakarta, 11 Jumadil Akhir 1438/10 Maret 2017 (MINA) – Indonesia dinilai tidak akan rugi jika meratifikasi konvensi pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang selama ini banyak diminta masyarakat.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Tabrani mengatakan selama ini tidak pernah ada kejadian para petani tembakau mengalami kerugian karena hal tersebut. Justru jika harga rokok dinaikkan seperti salah satu tuntutan di dalam konvensi itu, akan membuat tembakau juga naik seiring permintaan naik.
“Jika harga naik bukankah itu menguntungkan,” katanya dalam acara Bedah Berita MINA di Radio Silaturahim (Rasil), Jumat (10/3).
Menurutnya, ratifikasi FCTC malah disebut sebagai jalan tengah untuk pengendalian tembakau di Indonesia. Hal itu tidak akan merugikan apalagi sampai menghancurkan industri rokok Indonesia.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
Memang angka perokok yang mencapai sekitar 65 juta jiwa di Indonesia memprihatinkan, tapi Kementerian Perindustrian pernah menyebutkan, jika alasan ratifikasi FCTC hanya mengenai kesehatan, Indonesia sudah terlebih dahulu memiliki aturan serupa, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.109/2012.
Namun, para penggiat tembakau percaya FCTC akan jauh lebih optimal dibandingkan penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Pertembakauan.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), tambah Presiden, sudah lebih 180 negara telah meratifikasi dan mengaksesi FCTC dan itu mewakili 90 persen populasi dunia. Hal ini berarti FCTC sudah mengikat karena berdasarkan peraturan, hukum dalam FCTC akan berlaku setelah diratifikasi setidaknya oleh 40 negara.
Hasbullah meyakini, pemerintah hanya ingin melindungi para pemilik industri rokok saja dengan menetapkan masih menolak ratifikasi. Padahal Indonesia termasuk negara yang menandatangani konvensi ini, namun belum memutuskan meratifikasi.(L/RE1/R01)
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka
MI’raj Islamic News Agency (MINA)