Oleh: Dr. H. Sukamta, Anggota Komisi I DPR RI, Ketua DPP PKS Bidang Pembinaan dan Pengembangan Luar Negeri, Direktur Crisis Center For Rohingya DPP PKS
Rohingya telah mendapat perhatian dunia internasional karena menjadi korban diskriminasi dan tindakan yang mengarah kepada genosida yang dilakukan oleh militer Myanmar di sana.
Laporan Human Right Watch menyebutkan telah terjadi kejahatan secara tersruktur berupa pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran rumah dan pengusiran terhadap Etnis Rohingya yang mengarah kepada genosida.
Derita ini semakin berat lantaran Etnis Rohingya berstatus stateless person atau tidak diakui sebagai warga negara Myanmar sebagaimana diatur dalam undang-undang di sana.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Myanmar memberlakukan Undang-undang Kewarganegaraan tahun 1982 yang melahirkan tiga kelas warga negara: warga negara penuh yaitu diberi hak penuh sebagai warga negara, warga negara asosiasi, dan warga naturalisasi.
Tragisnya, Rohingya sama sekali tidak termasuk ke dalam tiga kelas kewarganegaraan tersebut. Undang-Undang ini juga memberi otoritas Pemerintah yang saat itu di bawah kendali junta militer sebagai penentu status kewarganegaraan seseorang.
Sebagai akibatnya, Rohingya mengalami berbagai tindak kejahatan dan diskriminasi sosial, seperti pembatasan untuk berpergian, pembatasan aktivitas ekonomi, pembatasan akses di bidang pendidikan.
Status Rohingya yang tanpa kewarganeraan, semakin seakan menjadi pembenar bagi etnis-etnis di Myanmar untuk memperlakukan Rohingya sebagai orang asing dan berujung kepada tindakan kekerasan secara massal.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Sikap Indonesia
Sebagai bangsa yang sudah menikmati alam kemerdekaan selama 72 tahun, kita tentu sangat prihatin bahwa ternyata di dunia ini masih ada negara yang sedemikian diskriminatif terhadap rakyat yang lemah.
Kita juga sangat prihatin ternyata masih ada di dunia ini sebuah komunitas yang terpinggirkan sedemikian rupa karena tidak diakui kewarganegaraannya (stateless). Rohingya disebut oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya di dunia.
Padahal dahulu ketika Myanmar memperebutkan kemerdekaan, Rohingya juga turut andil berjuang. Ini sungguh menggugah nurani dan rasa kemanusiaan kita sebagai sebuah bangsa, sebagai suatu kumpulan umat manusia.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Dengan landasan konstitusi kita yang anti terhadap segala bentuk penindasan ini, bangsa kita telah menunjukkan kepedulian terhadap nasib Rohingya.
Masyarakat Indonesia melalui lembaga-lembaga kemanusiaan dan pemerintah selama 10 tahun terakhir telah membantu meringankan derita Rohingya dengan membangun sekolah, klinik kesehatan dan pengiriman bantuan makanan dan obat-obatan.
Krisis Rohingya yang terjadi kali ini perlu dijadikan momentum untuk menuntaskan persoalan Rohingya agar tidak lagi terulang.
Pentingnya payung hukum
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Pada dasarnya konstitusi dasar Indonesia telah mengamanatkan keberpihakan kita terhadap para pengungsi dan pencari suaka.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XA, Pasal 28G, butir 2: “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”
Meskipun demikian, hingga kini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Jenewa tahun 1951 yang mengatur soal pengungsi dan pencari suaka.
Kita memahami pemerintah belum meratifikasi Konvensi Jenewa tahun 1951 tadi karena adanya pasal-pasal dalam Konvensi yang dinilai memberatkan pemerintah Indonesia seperti keharusan bagi negara peratifikasi untuk memberikan kebebasan kepada pengungsi dalam mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan upah, melakukan usaha sendiri seperti pertanian dan mendirikan perusahaan.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Pasal yang lain juga menyatakan bahwa pengungsi mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhinya.
Pemerintah mengalami dilema tersendiri dalam hal ini. Pada satu sisi amanat UUD NRI 1945 menjunjung kebebasan dan perlindungan bagi para pencari suaka, tapi pada sisi lain juga pemerintah Indonesia akan lebih memprioritaskan warga negaranya sendiri untuk dipenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, hal ini masih bisa ditangani dengan undang-undang yang sifatnya nasional untuk menjadi payung hukum dalam mengatur persoalan pengungsi ini.
Indonesia memang punya UU No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang menyinggung sedikit tentang pengaturan pengungsi dan pencari suaka.
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Pada pasal 25 dan diatur bahwa kewenangan pemberian suaka kepada orang asing berada di tangan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Menteri.
Sementara pada pasal 27 diatur bahwa Presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri dengan memperhatikan pertimbangan Menteri. Pelaksanaan 2 kewenangan tersebut diatur dengan Keputusan Presiden.
Apakah Keputusan Presiden (Keppres) ini sudah ada? Jika belum, perlu segera dibuat oleh Presiden agar jelas bagaimana aturan hukum untuk mengelola para pengungsi ini.
Payung hukum ini penting agar para pengungsi dan pencari suaka yang datang ke Indonesia dapat ditangani sebagaimana mestinya.
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
Tidak adanya payung hukum hanya akan memberatkan Indonesia dan pelayanan terhadap para pengungsi dan pencari suaka dilakukan seadanya di detensi-detensi imigrasi.
Solusi persoalan Rohingya
Untuk capaian jangka pendek, harus segera diupayakan penghentian tindak kekerasan terhadap Etnis Rohingya serta ada jaminan keamanan bagi mereka.
Hal ini penting dilakukan agar tidak ada lagi korban jiwa berjatuhan. Selain itu kepada negara-negara sekitar yang kedatangan pengungsi Rohingya, kita berharap agar menerima dan memperlakukan mereka secara baik.
Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI
Upaya penghentian kekerasan ini perlu ada target waktu dan apabila pemerintah Myanmar tidak bisa mencapai batas waktu yang ditentukan, maka bisa membuka opsi diplomasi yang lebih keras.
Sementara untuk capaian jangka panjang sebagai upaya menuntaskan tidak kembali terulang tragedi Rohingya, dengan mendorong demokratisasi di Myanmar.
Demokratisasi ini diharapkan mampu menumbuhkan penghargaan kepada hak-hak sipil, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, perlindungan HAM, dan memperlakukan seluruh etnis dalam kedudukan yang sama.
Hal ini dengan menimbang, meskipun Myanmar saat ini sudah mulai masuk kepada sistem demokrasi dengan penyelenggaraan pemilu dan kemenangan diraih kelompok pro demokrasi seperti Aung San Suu Kyii dengan Partai NLD-nya dalam pemilu, namun pada praktiknya militer Myanmar masih memiliki kendali yang kuat dan “berkuasa”.
Baca Juga: Kemenangan Trump dan Harapan Komunitas Muslim Amerika
Perlu juga dihadirkan dialog antaragama khususnya antara umat Muslim dan Buddhis di Negara Bagian Rakhine Myanmar.
Persepsi negatif dan kesalahpahaman antaragama yang muncul akibat kurangnya komunikasi mudah menimbulkan kebencian antarumat beragama.
Komunikasi yang intensif antarpemuka agama ini mutlak dibutuhkan mengingat selalu ada pihak-pihak yang berusaha mengadu domba antaragama dan antaretnis untuk mengambil keuntungan secara politik dan ekonomi.
Secara bilateral, Myanmar memiliki kedekatan dengan Indonesia yang telah berlangsung lama. Pada masa lalu, kedua negara memiliki sedikit kemiripan dalam hal militer memegang kendali pemerintahan di semua lini.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-6] Tentang Halal dan Haram
Sejak 1998, Indonesia memasuki era reformasi dengan membangun kehidupan demokrasi yang membutuhkan proses panjang.
Salah satu upaya demokratisasi yang berhasil di Indonesia adalah dengan menguatkan peran sipil dalam pemerintahan dan mendorong profesionalitas militer. Kedekatan kedua negara ini kita harapkan dapat menginspirasi Myanmar mengikuti jejak Indonesia.
Militer dan sipil memiliki peran masing-masing yang dapat saling bersinergi dalam membangun bangsa. Kita berharap Myanmar mau membuka diri atas upaya Indonesia mendorong demokratisasi yang mampu hadirkan persamaan hak bagi seluruh etnis.
Sedangkan secara multilateral, sebagai ‘broker’ perdamaian upaya menyelesaikan derita Rohingya perlu merangkul berbagai pihak baik negara maupun NGO yang berkompeten.
Hal ini dengan pertimbangan, kemampuan Indonesia secara finansial dan keterbatasan sumber daya yang lain.
Negara-negara tetangga Myanmar tentu menjadi prioritas untuk dilibatkan, karena secara langsung akan mendapat ekses dengan kehadiran pengungsi.
Selain itu Indonesia secara khusus perlu mendorong ASEAN membuat kelembagaan Adhock yang membuat rumusan penanganan Rohingya dalam berbagai pendekatan. Pendekatan sebagai negara tetangga, diharapkan akan lebih mudah diterima oleh Myanmar sebagai sesama negara ASEAN.
Peran serta PBB dalam hal ini dapat dilakukan melalui kerjasama dengan ASEAN, mengingat selama ini pihak Yangoon seringkali menolak keberadaan petugas PBB yang akan masuk ke negaranya.
Salah satu program jangka panjang yang perlu menjadi perhatian sebagai salah satu uapaya penyelesaian kasus Rohingya adalah amandemen atau revisi Undanng-Undang Myanmar tentang kewarganegaraan.
Upaya ini tentu butuh pendekatan dengan mempertemukan setidaknya 3 pihak yang berkepentingan di Myanmar yaitu militer, kelompok pro demokrasi dan juga perwakilan etnis-etnis.
Tentu bukan hal yang mudah untuk menyembuhkan luka yang telah menganga dengan mendasarkan fakta hingga saat ini masih sering terjadi konflik senjata berbagai etnis melawan pemerintah Myanmar.
Setidaknya masih ada 18 kelompok bersenjata seperti dari Etnis Karen, Kachin, Chin, Rakhine dan lainnya yang masih beroperasi melawan pemerintah Myanmar.
Oleh sebab itu penuntasan kasus Rohingya adalah bagian dari kerja besar guna mendamaikan seluruh etnis di Myanmar untuk kemudian menghapus berbagai kebijakan diskriminatif.
Peran Indonesia dan ASEAN
Memang langkah cepat Indonesia melalui Menlu RI Retno LP Marsudi untuk berdiplomasi dan proaktif mengambil inisiatif perlu kita apresiasi dan dukung.
Agar persoalan Rohingya ini bisa diselesaikan, Indonesia tidak boleh berhenti dengan menjadi solidarity maker, tetapi juga mampu menjadi ‘broker’ perdamaian.
‘Broker’ yang dimaksud adalah dengan menjadi mediator solusi yang sistematis , dengan timeline yang terukur dan mampu mengajak berbagai pihak yang kompeten.
Sebagai negera terbesar di kawasan Asia Tenggara, harusnya Indonesia bisa melakukan hal yang lebih strategis. Indonesia harusnya bisa mendesak ASEAN untuk menekan Myanmar secara persuasif agar menerima Rohingya dan menghapus bentuk diskriminasi, termasuk tidak boleh mengikuti pemilu.
Indonesia bisa menghimpun negara-negara ASEAN untuk memberi sanksi kepada negara-negara yang tidak ramah kepada minoritas di negaranya masing-masing. Sanksi terberat adalah dikeluarkan dari keanggotaan ASEAN.
Lebih jauh, Indonesia bisa meredefinisi keberadaan ASEAN di kawasan. Untuk apa ASEAN ada dan bagaimana perkembangan organisasi kawasan bernama ASEAN ini? Kenapa seolah keberadaan ASEAN sama seperti tidak artinya? Apakah ASEAN hanya sebatas perkumpulan negara-negara Asia Tenggara untuk kongkow-kongkow saja?
Termasuk yang perlu diredefinisi adalah prinsip “not interfere”. Prinsip ini menjadi masalah ketika di dalam suatu negara ada konflik yang tidak bisa diselesaikan, maka negara-negara yang lain tidak bisa turun tangan untuk membantu.
Prinsip ini perlu didefinisi ulang bahwa ketertiban di kawasan adalah tanggung jawab kita bersama, meskipun itu menjadi urusan internal negara yang bersangkutan.
Biar bagaimana pun, sedikit banyak, tetangga akan terdampak keributan atau konflik yang terjadi di negara sebelahnya. Dan kasus Rohingya ini sudah menjadi bukti.
Pemerintah Myanmar yang masih didominasi militer ini memang harus ditekan bersama melalui ASEAN dengan pelopor Indonesia. Tindakan ini jelas tidak sesuai dengan semangat berdirinya ASEAN dahulu.
Deklarasi ASEAN berisi maksud dan tujuan pembentukan ASEAN yang meliputi salah satunya adalah upaya mempromosikan perdamaian dan stabilitas kawasan.
Filosofi ini juga nampak dalam lambang ASEAN padi yang diikat juga bermakna perdamaan dan persatuan. Karenanya, pemerintah Myanmar harus berani berpihak kepada kemanusiaan agar tetap layak menjadi anggota ASEAN.
Wacana redefinisi lembaga ASEAN bisa digulirkan dan menjadikan Uni Eropa sebagai benchmark. Sejarah berdirinya Uni Eropa bermula ketika mulanya masyarakat di benua itu memiliki kebutuhan yang sama atas kebutuhan energi batu bara dan baja.
Sejarah terbentuknya Uni Eropa ini merupakan salah satu studi kasus yang menggambarkan fenomena perdagangan internasional dapat berimplikasi positif terhadap perdamaian.
Integrasi Eropa yang diawali dengan kerjasama ekonomi dapat menjaga perdamaian di Eropa. Terbukti dengan tidak adanya konflik secara terbuka antarnegara anggota Uni Eropa hingga saat ini.
Tahun 2015 telah digulirkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pada satu sisi, MEA dipandang positif sebagai upaya integrasi kekuatan ekonomi di kawasan Asia Tenggara.
Integrasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan dapat membawa perdamaian dalam konteks hubungan internasional antarnegara anggota.
Oleh karena integrasi perdagangan akan menciptakan kesalingtergantungan dan kerjasama saling menguntungkan antar negara-negara anggota. Interdependensi ini secara simultan juga dapat menciptakan rezim internasional yang dapat meminimalisasi potensi-potensi konflik dan memperkuat tali perdamaian.
Belajar dari Indonesia
Indonesia adalah negeri demokrasi yang berpenduduk cukup besar sekitar 250 juta, yaitu 40 persen dari total jumlah penduduk ASEAN yang mencapai sekitar 600 juta jiwa.
Falsafah Pancasila yang menjadi dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia juga menjadi jiwa dalam menghadapi konflik. Indonesia jelas bukan tanpa konflik, namun konflik-konflik yang ada cenderung dapat diselesaikan.
Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia di Aceh yang terjadi selama 30 tahun lebih dan banyak memakan korban sipil berakhir damai pada tanggal 15 Agustus 2005.
Belum lagi konflik di Sampit, Poso, Ambon, dan seterusnya. Hal ini menjadi prestasi tersendiri bagi Indonesia. Banyak negara tertarik dan ingin mempelajari bagaimana Indonesia bisa menciptakan perdamaian.
Pengalaman menghadapi banyak konflik selama ini menjadi modal bagi Indonesia untuk dapat berperan lebih dalam mewujudkan perdamaian melalui ASEAN di kawasan Asia Tenggara.
Terlebih sebagai negeri dengan jumlah penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, Indonesia kita harapkan dapat memainkan peran yang konstruktif, progressif dan signifikan dalam penyelesaian konflik Pattani di Thailand, Moro di Filipina dan Rohingya di Myanmar yang kebetulan semuanya adalah etnis Muslim.
Dalam mengelola keberagamaan etnis, tentu dibutuhkan jiwa besar seluruh komponen bangsa.
Seiring berjalannya proses demokratisasi, aturan-aturan kewarganegaraan di Indonesia terus disempurnakan dari waktu ke waktu hingga lahir Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dengan meniadakan pasal-pasal diskriminatif.
Memperkuat persamaan hak seluruh warga negara, Indonesia juga menerbitkan Undang-undang No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis sebagai wujud keseriusan bangsa ini untuk menciptakan kehidupan demokratis yang anti diskriminasi.
Kini masyarakat Indonesia secara umum dapat hidup berdampingan dengan damai, saling menghormati dan mengedepankan sikap tenggang rasa serta bekerja sama dilandasi dengan jiwa gotong royong. Myanmar bisa mengambil pengalaman Indonesia ini sebagai insiprasi.
Myanmar harusnya bisa belajar dari Indonesia dalam hal ini sehingga demokratisasi tanpa diskriminasi terhadap semua warga negaranya termasuk etnis Rohingya bisa terwujud di Myanmar. (A/R06/RS1)
*Artikel ini disampaikan dalam forum diskusi bertajuk “Solusi Masalah Rohingya” yang digelar oleh Centre for Dialogue and Cooperating among Civilizations (CDCC) di bilangan Brawijaya, Kebayoran, Jakarta Selatan, Kamis (25/4).
Mi’raj News Agency (MINA)