Inspirasi Hemat Energi dan Kebangkitan Ekonomi dari Ibadah Puasa

Oleh: , wartawan MINA

Beberapa tahun belakangan, wabil khusus pada 2021, krisis energi menjadi perhatian serius di berbagai negara, terutama negara-negara besar seperti China, India, Amerika Serikat, Inggris, tidak terkecuali di negara kita Indonesia.

Krisis itu ditandai dengan meroketnya harga komoditas energi, seperti batu bara, minyak mentah, dan gas alam.  Krisis energi itu diperparah seiring dengan datangnya musim dingin di negara-negara sub-tropis.

Penyebab kenaikan harga komoditas energi di sejumlah negara juga disebabkan oleh meningkatnya permintaan, setelah perekonomian negara-negara di dunia mulai pulih dari pandemi COVID-19. Kenaikan harga juga dipicu oleh cuaca ekstrem yang cukup berpengaruh pada kemampuan produksi perusahaan.

Sebagaimana data CNN September 2021, Kepala bidang Energi Uni Eropa, Kadri Simson mengatakan, harga gas alam ekuivalen minyak mentah saat ini diperdagangkan di kisaran harga 230 dollar AS per barrel, artinya, harga menguat delapan kali lipat dibanding periode yang sama pada tahun 2020 lalu. Tren kenaikan itu diprediksi akan mengalami meningkatan pada bulan-bulan berikutnya.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) RI, Djoko Siswanto mengatakan, ketahanan energi nasional masih dalam kondisi aman, bahkan Indonesia cenderung diuntungkan dengan kondisi tersebut.

“Indeks ketahanan energi kita masih di angka 6,57, artinya masih dalam kategori “tahan”, dari tingkat tertinggi sangat tahan, yakni di angka 8,” ujarnya.

Meski dalam posisi “tahan”, Djoko mengingatkan, Indonesia harus tetap mengantisipasi impor minyak yang bisa berisiko pada naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di masyarakat, walaupun hal itu masih bisa diantisipasi dengan keuntungan yang lebih besar dari hasil ekspor batu bara dan gas alam.

Inspirasi dari Ibadah Puasa

Puasa bagi umat Islam menjadi ibadah wajib, bahkan menjadi rukun agama. Bagi seorang Muslim, puasa yang wajib adalah di bulan Ramadhan selama sebulan penuh. Sedangkan di bulan lainnya, hukumnya sunnah, seperti puasa Arafah, As-Syura, Senin Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan (Ayyamul Bidh), puasa Daud, dan lainnya.

Sebagai umat Islam, kita harus meyakini bahwa setiap perintah Allah Subhanahu wa ta’ala pasti memiliki hikmah dan manfaat bagi kehidupan manusia. Tidak mungkin Allah Ta’ala memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya yang menyebabkan merugikan dan membahayakan bagi kehidupannya.

Salah satu dari sekian banyak hikmah puasa adalah melatih untuk hidup hemat. Ketika berpuasa, seseorang tidak mengonsumsi makanan atau minuman sejak terbit fajar hingga matahari terbenam. Makan yang biasanya tiga kali sehari, menjadi dua kali saja, yakni saat sahur dan buka. Itu artinya, seseorang yang berpuasa bisa berhemat pengeluaran untuk biaya makan dan minum.

Puasa juga mengajarkan kepada pelakunya untuk dapat menahan diri dari segala perbuatan yang dapat membatalkan atau mengurangi pahala, meskipun sebenarnya hal itu diperbolehkan ketika tidak sedang berpuasa.  Kemampuan menahan diri itulah yang menjadi kunci sukses ibadah puasa, apakah bernilai mulia di sisi Allah Ta’ala, atau hanya sekadar mendapatkan lapar dan dahaga saja.

Badiuzzaman Said Nursi, dalam bukunya berjudul  “Misteri Puasa, Hemat & Syukur” (terjemahan Indonesia)  menyatakan, hidup hemat dan kemampuan menahan diri merupakan dua hal yang menjadi kunci seseorang jika ia ingin meraih sukses. Tanpa keduanya, seseorang tidak akan mampu meraih apa yang ia cita-citakan.

Ibarat mobil, keduanya ibarat rem dan injection. Rem berfungsi untuk mengendalikan kendaraan agar tidak terjerumus ke dalam bahaya dan celaka. Sedangkan injection berfungsi mengatur konsumsi bahan bakar sehingga kinerja mesin menjadi efisien.

Maka, dalam suasana krisis energi yang melanda berbagai negara, masyarakat internasional, khususnya umat Islam bisa mengambil pelajaran dari ibadah puasa yang telah disyariatkan. Bagi pemeluk agama lain (non Musmim), puasa juga diperintahkan dalam agama mereka dengan cara dan kekhasan masing-masing.

Bagaimana korelasi puasa dengan penghematan energi? Dengan puasa, penggunaan energi bisa dikurangi. Misalnya, frekwensi memasak makanan berkurang sehingga penggunaan listrik dan gas di rumah otomatis berkurang.

Saat puasa Ramadhan, umat Islam disunnahkan untuk memperbanyak ibadah di masjid.  Maka dengan banyaknya orang pergi ke masjid, perangkat AC, televisi dan lainnya di rumah-rumah dimatikan sehingga bisa mengurangi penggunaan energi listrik. Hal ini juga merupakan bentuk penghematan dalam masyarakat.

Di samping itu, pakar kesehatan, almarhum Prof. Hembing Wijayakusuma, dalam sebuah tulisannya yang dimuat Republika menyatakan, puasa membuat seseorang menjadi sehat badan, mental, dan sosial. Dengan sehat badan, anggaran untuk berobat bisa berkurang, dengan sehat mental, seseorang akan bijak dalam bertindak, dengan sehat sosial, masyarakat akan hidup tenteram, aman dan sentosa.

Tanpa terasa, tiga bulan lagi Ramadan akan tiba. Itu artinya kita kurang dari 100 hari, umat Islam di seluruh dunia akan menunaikan ibadah puasa selama sebulan lamanya. Hal ini menjadi momentum sangat baik dalam usaha penghematan energi dunia.

dari Hemat Energi

Ada sebagian masyarakat menganggap hemat energi akan mengurangi kenyamanan dan kesenangan.  Sebagian lagi mengatakan, kelangkaan energi hanyalah isu yang dipolitisasi dan lebih disebabkan oleh kegagalan pemerintah dalam mengelola energi.

Menurut pendapat penulis, anggapan seperti di atas bisa terjadi karena dua hal. Pertama, karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap rezim yang sedang berkuasa. Kedua, karena kurangnya informasi dan sosialisasi yang dilakukan pemerintah dalam program hemat energi.

Sejak tahun 2017 silam, pemerintah melalui Kementerian ESDM mengajak seluruh komponen masyarakat untuk memakai listrik secara efisien dalam kehidupan sehari-hari. Apabila hal itu dilaksanakan secara konsisten dan masif, hal itu dapat mendukung upaya negara kita dalam mewujudkan kedaulatan energi nasional.

Pakar Energi Nasional, Yudianto Hasan mengatakan, hemat energi harus menjadi budaya di Indonesia. Di Jepang dan negara-negara Eropa, budaya hemat energi mampu menekan biaya produksi sehingga produk yang dihasilkan mempunyai daya saing di pasar internasional. Di Indonesia, hal itu harus segera dilakukan bila tidak ingin tersingkir di kancah pasar global, regional, maupun lokal. Bangsa Indonesia harus bertransformasi menjadi masyarakat hemat energi.

Sementara itu, mantan rektor Institut Teknologi Surabaya (ITS) Prof Priyo Suprobo mengatakan, kebangkitan ekonomi suatu bangsa membutuhkan komitmen bersama rakyat yang tumbuh dari kepemimpinan yang kuat. Dari sisi makro ekonomi, diperlukan pertumbuhan ekonomi yang berbasis daya saing potensi lokal, pemerataan ekonomi dengan insentif bagi sektor riil (manufaktur), dan penerapan logika ekonomi yang tepat.

Pria lulusan Purdue University (AS) itu juga memperingatkan, meningkatkan konsumsi energi didominasi oleh pertumbuhan pembangunan pusat-pusat perbelanjaan yang tidak menggunakan konsep eco-building. Selain itu, tidak dibangunnya transportasi massal dengan perencanaan matang juga memperparah pemborosan akibat kemacetan dalam kota. Menurutnya, sektor transportasi mendominasi konsumsi BBM nasional antara 45 hingga 49 persen.

Akhir kata, sebagai bagian dari bangsa Indonesia tercinta, mari kita bergandeng tangan, bersinergi, Bersama-sama menjadi bagian dari usaha membangkitkan ekonomi negeri dengan melakukan penghematan energi. Tidak akan rugi seseorang yang berhemat energi, tidak akan celaka seseorang yang mampu mengambil hikmah dan pelajaran dari ajaran agama yang dianutnya.

Semoga bangsa Indonesia semakin jaya, menjadi bangsa yang berdaulat, bermartabat dan teladan bagi bangsa-bangsa lainnya, negeri yang makmur, diridhai Allah Yang Maha Pengampun (Baldatun Thayibatun wa Rabbun Ghafur). (A/P2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.