Islam Dan Hak Asasi Manusia

Oleh: Rifa Berliana Arifin, Kepala Redaksi Arab MINA

Tanggal 10 Desember 2018 adalah peringatan ke 70 Deklarasi Hari Internasional . Deklarasi yang dicetuskan oleh Universal Declaration Of (UDHR) itulah yang mengilhami lahirnya banyak lembaga hak asasi manusia di berbagai negara, seperti Komnas HAM di Indonesia dan ICERD di Malaysia.


Aktor sejarah yang melatarbelakangi lahirnya Deklarasi Hak Asasi Manusia ini adalah Eleanor Roosevelt, istri dari Presiden AS 1933-1945 Franklin Delano Roosevelt yang juga adalah seorang “arsitek” pembentukan .

Franklin meninggal tak sempat melihat pembentukan PBB, lalu istrinya Eleanor melanjutkan cita-cita suaminya untuk mewujudkan empat kebebasan “FourFreedoms” yakni kebebasan berekspresi (Freedom of expression), kebebasan beribadah (Freedom to worship God), kebebasan berkehendak (Freedom from want), kebebasan dari ketakutan (Freedom from fear).

Keempat poin kebebasan ini menjadi nilai universal seluruh manusia di dunia. Yang kemudian dinyatakan sebagai Hak Asasi Manusia (human rights).

Hak asasi manusia berusaha menyerap nilai-nilai kehidupan, niatan murni  untuk membangun kehidupan dunia yang lebih ideal, tapi tidak salah jika kita pun lebih“aware” menilai apa yang melatarbelakangi falsafah hak asasi manusia ini.

“Hak asasi manusia” seperti yang digagas Eleanor membuat UDHR didasarkan pada pengalaman sejarah barat saja. Jika dibandingkan UDHR dengan”Declaration of Independence” Amerika Serikat (1776) dan”Declaration on the Rights of Man and of Citizens” Perancis (1789). Terdapat kesamaan di keduanya “common thing” terutama yang berkaitan dengan hak-hak asasi seperti hak hidup, hak mendapat kebebasan.

Untuk memahami makna “human rights“, kita perlu merujuk padafalsafah barat di mana ada dua rujukan dalam merumuskannya: pertama adalah undang-undang buatan manusia (conventional law / القانون الوضعي), dan  kedua adalah undang-undang yang bersifat “nature” (Natural law /  القانون الطبيعي).

Undang-undang yang bersifat “nature” dalam Bahasa Arab bermakna lebih dekat dengan tabiat (طبيعة ) atau fitrah ( فطرة ), bukan berkaitan dengan alam.

Pemikir-pemikir Barat memberi pesan bahwa, setiap manusia terlahir ke dalam situasi yang tidak bisa ia tawar, entah ia menjadi raja, budak, pria, wanita, kaya, miskin. Maka perlulah konsep yang melindungi hak-hak yang dimilikinya, dan inilah dasarnya “natural rights “yang kemudian dikukuhkan menjadi “human rights”.

Jadi tolak ukur utama “natural rights” adalah bahwa setiap manusia dipandang secara alami dan netral tanpa memilki beban ikatan atau identitas. Manusia seperti kain putih. Maka hak untuk manusia harus bersifat individualistis sebelum bercampur baur dengan “noda” kehidupan.

Sampai saat ini konsep “natural rights” dan “human rights” adalah hipotesis yang masih diperdebatkan. Banyak pemikir menolak gagasan ini termasuk Karl Marx.

PBB telah mengadopsi gagasan natural/human rights menjadi sangat global, saat itu PBB yang didirikan tahun 1945, barulah beranggotakan 58 negara saja, dengan komposisi suara, ada yang menolak, ada pula yang setuju. Negara-negara sosialis seperti Uni Sovyet menolak, negara berlandaskan Islam seperti Arab Saudi menolak, sedangkan yang menerimanya kebanyakan adalah negara-negara sekuler dan kristen. Mereka menerima gagasan “human rights”dalam prespektif natural rights.

Dalam perkembangan puluhan tahun kemudian, memasuki tahun 1980-an hingga 1990-an, baru terlihat oposisi yang mengkritik bahwa gagasan “human rights” versi UDHR yang disahkan PBB dinilai terlalu banyak menimbulkan problem.

Hingga munculah ‘Ijtihad’ negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI) memberikan alternatif lain yaitu Cairo Declaration on Human Rights in Islam. Di samping itu Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew pun ikut mengkritik keras “human rights“, Baginya falsafah “human rights” tidak sesuai dengan nilai masyarakat Timur.

Bahwa banyak hak-hakyang tercantum dalam UDHR mengandung nilai kemanusiaan dan kehidupan yang universal, tidak pandang barat atau timur, menjagakehidupan. melarang penyiksaan. melindungi pengungsi. Memandang semua orangsama rata tanpa memandang gelar. Apakah semua itu diajarkan dalam Islam? Kalau ya,apakah hak asasi manusia sejalan dengan Islam, begitu ?

Meskipun tidak begitu, nilai-nilai yang dikandungnya hampir sama tapi tak serupa.

“Human rights“, titik poinnya adalah dunia harus melihat manusia sebagai manusia seutuhnya, sebagai entitas pusat yang paling penting di alam semesta, secara fitrah manusia adalah tuan atas dirinya sendiri. Manusia diberikan hakuntuk memilih mana yang benar dan tidak.

Islam sudah mengaturjauh sebelum human rights lahir, Manusia terlahir bukan terbebas dari ikatan atau beban taklif (تكليف ) ada hak-hak yang harus ia tunaikan dengan sebaik-baiknya (alastu birobbikum,qaalu bala syahidna) ada bagian untuk hak Allah, hak Adam dan Alam.

Kita tidak dilahrikan sebagai manusia yang digambarkan dalam konsep “human rights”, kita ditakdirkan untuk lahir menjadi masyarakat yang memiliki identitas, keturunan anak dan cucu fulan, beban dan tanggungjawab, “human rights” harus bisa menyerap nilai dari identitas yang amat beragam. Jika tidak demikian maka mungkin akan terus terjadi kedzaliman.

Tidak perlu terlalu anti pada “human rights” juga tidak baik terlalu optimis apalagi fanatik. Ilmu pengetahuan adalah kekuatan, sebelum menerima atau menolak suatu gagasan. Baiknya kita memahami betul tentang apa yang akan kita perjuangkan. (RA-1/P1)

Miraj News Agency (MINA)

Wartawan: Rifa Arifin

Editor: Rifa Arifin

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.