Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Islam di New York, Kegalauan Itu ! (Oleh : Shamsi Ali)

Septia Eka Putri - Sabtu, 3 Februari 2018 - 05:22 WIB

Sabtu, 3 Februari 2018 - 05:22 WIB

94 Views ㅤ

Oleh: Shamsi Ali/ Presiden Nusantara Foundation

Akhir-akhir ini, khususnya setelah saya umumkan rencana pendirian pesantren di Amerika dan lumayan viral, banyak yang bertanya-tanya. Kira-kira apa yang sesungguhnya menjadi motivasi utama sehingga saya melakukan proyek yang cukup ambisius ini?

Apakah karena memang Muslim Amerika, khususnya New York, tidak memadai? Ataukah memang karena pesantren diperlukan untuk menghadapi meningginya Islamophobia di Amerika? Atau adakah motivasi atau alasan lain sehingga pendirian pesantren ini dicanangkan?

Jawabannya semua di atas adalah motivasi-motivasi penting dan mendasar. Di kota New York ada sekitar 800.000 hingga sejuta orang Islam. Artinya ada sekitar 10% Muslim dari keseluruhan penduduk kota New York yang berjumlah sekitar 10 hingga 12 juta itu.

Baca Juga: Joe Biden Marah, AS Tolak Surat Penangkapan Netanyahu

Di NYPD misalnya saat ini ada sekitar 12.000 anggota kepolisian yang beragama Islam. Di sekolah-sekolah umum (public schools) ada sekitar 120.000 muridnya yang beragama Islam. Artinya sekitar 13% dari keseluruhan murid sekolah-sekolah umum di kota Bew York itu beragama Islam. Wajar jika Idul Fitri dan Idul Adha telah resmi menjadi liburan sekolah di New York City.

Sekolah Islam full time di kota New York saat ini ada 12 sekolah. Belum lagi sekolah-sekolah penghafal Al-Quran yang meluluskan puluhan hafiz setiap tahunnya.

Di kantor-kantor pemerintahan, mulai dari kantor walikota, DPRD New York, hingga ke agensi-agensi lainnya, termasuk kantor-kantor kecamatan, selamanya ada staf yang beragama Islam. Minimal staf itu bertugas sebagai “liaison” (penghubung) antara kantor-kantor pemerintahan dan komunitas Muslim.

Bahkan sejak zaman Michael Bloomberg walikota New York ada dua “commissioner” (anggota kabinet walikota) yang beragama Islam. Keduanya wanita muda yang pintar. Satu keturunan Palestina dan satu lagi keturunan Iran. Dua negara yang sesungguhnya dianggap tidak bersahabat dengan Amerika.

Baca Juga: DK PBB Berikan Suara untuk Rancangan Resolusi Gencatan Genjata Gaza

Kegalauan itu

Sejak saya tiba di kota New York sekitar 21 tahun silam, tepatnya di penghujung tahun 1997, saya sedikit banyaknya telah merasakan kegalauan itu. Di tengah pertumbuhan sekaligus tantangan Islam yang sangat besar, ternyata hampir tidak saya temukan anak bangsa yang berperan di Amerika, bahkan dunia global lainnya.

Di Amerika Serikat sendiri, khususnya kota New York, para pelaku dakwah dan pendidikan Islam didominasi oleh kalangan warga Timur Tengah, Asia Selatan atau IPB (India, Pakistan, Bangladesh), dan tentunya kalangan Africans khususnya Afro American Muslims.

Namun dalam dekade terakhir saya kemudian menjadi lebih galau ketika menemukan realita bahwa negara dan bangsa ini belum sepopuler, bahkan dengan sesama negara ASEAN saja, seperti Thailand, Singapura, Malaysia, Vietnam, bahkan Kamboja.

Baca Juga: Kepada Sekjen PBB, Prabowo Sampaikan Komitmen Transisi Energi Terbarukan

Ambillah sebagai misal di dunia kulinari. Setiap ada orang asing ke Indonesia akan jatuh hati dengan makanan-makanan Indonesia. Bukan satu dua macam. Tapi dari Sabang sampa Merauke makanan-makanan itu dahsyat kelezatannya.

Tapi dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia misalnya, di luar negeri restoran-restoran Indonesia hampir tidak ada apa-apanya. Di kota New York misalnya restoran-restoran Vietnam bahkan jauh lebih banyak dan populer.

Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika Indonesia relatif tidak dikenal sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. Seringkali justeru yang disangka negara Muslim terbesar dunia adalah Mesir, Iran, bahkan Saudi Arabia.

Sebagai ilustrasi, saya sampaikan kejadian-kejadian lucu di beberapa kesempatan. Misalnya saya pernah diundang memberikan presentasi Islam di sebuah universitas Amerika. Ketika saya kenalkan diri bahwa saya datang dari Indonesia, tidak banyak yang antusias. Tapi ketika saya menyebut kata Bali, semua seolah bersemangat karena mengenal Bali dengan baik. Artinya, seolah Indonesia itu hanya bagian dari Bali.

Baca Juga: Puluhan Anggota Kongres AS Desak Biden Sanksi Dua Menteri Israel

Di sebuah kesempatan lain saya mengenalkan diri sebagai warga negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. Tiba-tiba ada yang menyelah: “Are you from Egypt” (Kamu dari Mesir)? Ada pula yang pernah berkata: “Oh are you a Saudi” (Kamu orang Saudi)?

Bahkan suatu ketika saya mengenalkan negara Muslim terbesar itu ada di Asia Tenggara. Ada pula yang berkata: “Are you from Malaysia” (Kamu dari Malaysia)?

Kegalauan demi kegalauan itu terus menghantui selama kurang lebih dua dekade terakhir. Tapi rasanya tidak mampu berbuat apa-apa untuk membuktikan bahwa Indonesia itu negara hebat, besar, dan seharusnya dikagumi oleh dunia. Bahwa Indonesia itu punya sejarah besar, memiliki luas daratan dan lautan yang luar biasa luas dan kaya. Negara berpenduduk terbesar keempat dan demokrasi ketiga dunia.

Tapi dari semua itu Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. Kalau saja seluruh saudara-saudara Arab kita satukan, Muslim Indonesia masihlah lebih besar jumlahnya dari mereka.

Baca Juga: Tiba di Peru, Prabowo akan Hadiri KTT APEC

Di kalangan umat Islam sendiri memang masih ada stigma yang mengatakan bahwa menjadi Muslim dengan latar belakang tertentu, ambillah Arab misalnya, pasti lebih hebat. Sehingga jika ekspresi keislaman kita tidak sama dengan mereka maka keislaman itu kurang afdhol. Baju koko atau batik dan songkok tidak semulia dengan baju orang Arab juga atau “shalwar gamiz” orang India Pakistan.

Pekerjaan atau tugas saya sebagai Imam selama 21 tahun di Amerika juga belum mengurangi stigma seperti itu. Seolah bangsa ini kurang layak menjadi pemimpin di dunia global. Sebuah realita yang kontras dengan masa lalu bangsa ini.

Dulu bangsa ini mengekspor ulama-ulama ke luar negeri. Siapa yang tidak kenal dengan Syeikh Yusuf Al-Makassary misalnya? Atau ulama-ulama besar dari Palembang yang menjadi imam-imam di tanah Haram?

Dulu bangsa ini mengekspor guru-guru agama ke Malaysia. Kini bangsa ini banyak yang ke Malaysia untuk menuntut ilmu agama.

Baca Juga: Sebelum Bertemu Prabowo, Biden Lebih Dulu Jamu Presiden Israel

Semua bentuk kegalauan di atas itulah yang mendorong saya untuk mengambil langkah bermbisi ini. Sebuah langkah yang betul-betul dimulai dengan mimpi, dibarengi oleh niat suci dan usaha maksimal.

Harapan saya memang semoga bangsa Indonesia, baik masyarakat luas maupun pemerintah menangkap peluang ini. Saya menyebutnya peluang sebab inilah kesempatan baik untuk mengenalkan Indonesia, tidak saja dengan keindahan alamnya. Tapi tidak kalah pentingnya juga mengenalkan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dunia.

Dan bukan sekedar terbesar di dunia. Tapi Muslim dengan karakter kemanusiaan yang kontra dengan stigma tentang Islam yang keras, anti demokrasi, anti HAM, terbelakang, serta mengedepankan permusuhan.

Maka insya Allah dengan pesantren ini kita akan kenalkan Islam yang dipahami, diyakini dan dipraktekkan di Indonesia. Yaitu Islam teduh, damai, bersahabat, menghormati kebebasan, HAM, merangkul demokrasi dan mondernitas, serta mengedepankan dialog dan kerjasama dengan semua manusia.

Baca Juga: Trump Pilih Tokoh Pro-Israel Mike Huckabee Jadi Duta Besar

Sebagai putra bangsa, saya bermimpi suatu saat pesantren ini akan dicatat sebagai kontribusi nyata Indonesia ke dakwah global dan dunia. Amin!

Udara Mataram-JKT (A-R07/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: AS Tolak Batasi Pasokan Senjata ke Israel

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
MINA Millenia
MINA Millenia
MINA Preneur