Jalan Meraih Kejayaan (Oleh: Taufiqurrahman)

Oleh: Taufiqurrahman, Lc, Dai Ponpes Al Fatah, Cileungsi

Islam Agama Ilmu

Peradaban Islam adalah peradaban ilmu. Agama Islam dibangun di atas dasar ilmu. Berawal dari gerakan ilmu umat Islam mampu meraih kejayaan, mengungguli dua imperium besar, Romawi dan Persia. Dan bermula dari risalah ilmu, Islam menjadi agama yang di penghujung zaman akan menguasai seluruh penjuru bumi.

Dalam hadits yang diantaranya diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Kabir dan Imam Ahmad dalam Musnadnya serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Syeikh Albani, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“ليبلغن هذا الأمر ما بلغ الليل والنهار ولا يترُكُ الله بيت مَدَرٍ ولا وَبَرٍ إلا أدخله الله هذا الدين، بعزٍ عزيز أو بذل ذليل، عزاً يعز الله به الإسلام، وذلاً يذل الله به الكفر”

“Sungguh urusan agama ini akan sampai melampaui siang dan malam, dan Allah tidak melewatkan sebuah rumah di pelosok-pelosok, kecuali Allah memasukkan agama ini dengan kemuliaan orang yang kuat dan dengan kehinaan orang yang hina. Mulia karena Allah memuliakan dengan agama Islam, dan hina yang Allah hinakan karena kekafiran.”

Turunnya wahyu pertama yang dimulai dengan perintah اقرأ (bacalah) merupakan arahan yang sangat jelas dan terang bagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam harus memulai misinya membentuk generasi terbaik manusia sepanjang sejarah dan meninggikan kalimat Allah bersama mereka serta mengabadikan risalahNya hingga akhir zaman.

{ هُوَ ٱلَّذِىٓ أَرْسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلْهُدَىٰ وَدِينِ ٱلْحَقِّ لِيُظْهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ وَلَوْ كَرِهَ ٱلْمُشْرِكُونَ }

“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (QS At Taubah: 33).

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menerangkan makna الهدى pada ayat di atas adalah ilmu yang bermanfaat dan دين الحق adalah amal shalih. Sedangkan Imam Al Qurthubi menjelaskan kemenangan agama Islam ditegakkan di atas hujjah dan bukti-bukti. Keterangan keduanya menegaskan dengan sangat lugas bahwa sifat utama agama Islam, agama yang haq, yang telah dan kelak menjangkau seluruh umat manusia adalah risalah ilmu.

Risalah ilmu ini telah mampu menciptakan keajaiban besar yang mengeluarkan komunitas kecil di Makkah itu dari krisis multidimensi ke pentas peradaban, dengan waktu yang sangat singkat, 23 tahun. Ia berhasil mencabut akar Jahiliyah yang lama dan begitu dalam  menghujam sendi-sendi kehidupan mereka sejak masa fatrah. Lalu dengan cepat ia menjadi gerakan yang menebar rahmat ke seluruh Jazirah Arab dan seterusnya menumbuhkan buah-buah keberkahan bagi seluruh manusia hingga sekarang.

{ٱللَّهُ وَلِىُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ يُخْرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ ۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَوْلِيَآؤُهُمُ ٱلطَّٰغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ ٱلنُّورِ إِلَى ٱلظُّلُمَٰتِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ}

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS Al Baqarah: 257).

Ajaran Islam terjaga kemurniannya hingga kini atas jasa penuntut ilmu, terutama para ahli hadits. Aktifitas periwayatan qiraat Al Qur’an dan hadits yang mereka lakukan berperan besar, atas izin Allah, mengantarkan Islam melalui rentang 14 abad lamanya hingga kini dengan warna yang sama. Kegigihan mereka membaca, mendengar, menghafal, mencatat, meriwayatkan dan meneliti sumber-sumber ajaran Islam serta mengajarkannya merupakan keistimewaan yang mengukuhkan status agama ini sebagai satu-satunya yang Allah ridhai.

“Sungguh,” tegas Ibnul Jauzi, “Allah ‘Azza wa Jalla telah mengistimewakan umat ini dengan menghafal Al Quran dan ilmu. Kaum sebelum kita membaca kitab-kitab mereka dalam bentuk lembaran-lembaran namun mereka tidak menghafalnya.” (Al Hats ‘ala hifdz Al ‘Ilmi wa dzikr Kibaar Al ‘Ulamaa, hlm 11).

Uraian di atas mengantarkan kita pada satu pemahaman yang jelas bahwa tidak ada jalan bagi umat Islam, secara individu ataupun kolektif, meraih selain jalan ilmu. Pemahaman ini membawa kita pada satu keyakinan yang haq bahwa perjuangan kita meraih kemenangan Islam adalah dengan berkomitmen memegang teguh ajaran Islam ini berdasarkan ilmu.

Perpecahan buah syubhat & syahwat

Ibarat pohon, persatuan umat Islam yang kuat adalah batang kokoh yang tumbuh di atas akar al i’tisham bi hablillah (berpegang teguh dengan Al Qur’ab) dan al ttiba’ lisunnati Rasulih (mengikuti sunnah RasulNya) shallallahu’alaihi wa sallam. Buahnya adalah kemuliaan di sisi Allah, kejayaan, kemenangan, kekuasaan dan kekayaan. Dan pohon itu hanya akan tumbuh subur manakala disirami ilmu dan iman dan dijaga dari hama syubhat dan syahwat.

Realitanya, kita telah dan sedang menyaksikan umat ini terpecah belah dan terperosok ke dalam keterpurukan jahiliyah modern. Permusuhan bahkan peperangan diantara umat Islam seperti tidak bisa berakhir. Kuatnya ‘ashobiyah kesukuan, kebangsaan dan politik menyebabkan masing-masing kelompok sibuk dengan kelompoknya dari pada memikirkan dan peduli pada kelompok umat Islam lainnya. Bahkan masing-masing kelompok saling curiga, berseteru bahkan saling melenyapkan. Ikatan Ukhuwah Islamiyah menjadi tidak lagi berarti, kendur bahkan terputus oleh penyakit ‘ashobiyah.

{ مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُوا۟ دِينَهُمْ وَكَانُوا۟ شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍۭ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ }

“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar Ruum: 32)

Di lain sisi, kita malu umat ini meninggalkan nilai-nilai luhur dan mulia ajaran Islam. Mereka lebih bangga mengenakan pakaian jahiliyah. Gaya hidup hedonis dan liberal menjadi simbol kemajuan budaya. Pemikiran sekuler dan pluralisme menjadi tolok ukur intelektualitas manusia.

{ أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ }

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al Maidah: 50)

Apa yang lantas membuat pohon persatuan itu tidak tumbuh kokoh atau ia roboh sebelum berbuah manis kejayaan bagi umat ini adalah hama syubhat dan syahwat yang menjangkitinya. Syubhat menjangkiti umat ini dalam bentuk keraguan beragama bahkan kebodohan. Sedangkan syahwat menggerogoti mereka dalam wujud wahn, alias cinta dunia dan takut mati.

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khatthab radliallahu’anhu pernah merenung berfikir bagaimana bisa umat ini berselisih padahal Nabi mereka satu, kitab mereka satu dan kiblat mereka juga satu. Ia pun mengutus seseorang menemui Ibnu ‘Abbas radliallahu’anhuma untuk menanyakan hal itu. Ibnu ‘Abbas pun menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya hanyalah Al Qur’an itu diturunkan kepada kita, lalu kita membacanya dan memahami isinya. Dan kelak datang setelah kita sejumlah kaum yang mereka membaca Al Qur’an namun tidak memahami maknanya. Maka setiap kaum punya pandangannya masing-masing. Sehingga karena itu mereka berselisih.”

Manakala umat ini beragama dengan keraguan dan kebodohan maka yang terjadi berikutnya adalah bid’ah, khurafat, kesyirikan, kekufuran, liberalisme, sekularisme dan radikalisme. Kebodohan membuahkan sikap meremehkan urusan agama ini. Bahkan sampai pada satu tahap, orang yang terjangkiti penyakit kebodohan ini merasakan ‘manisnya’ perilaku bid’ah, khurafat, pemikiran liberal dan sekular. Kebodohan juga melahirkan sikap berlebih-lebihan dalam beragama sehingga orang yang terjangkiti penyakit ini merasakan ’manisnya’ perilaku kekerasan dan radikal yang ia anut. Padahal buah yang terasa ‘manis’ itu, tanpa ia sadari membahayakan bahkan merusak keimanannya.

Sedangkan keraguan dalam beragama menyebabkan penderitanya skeptis akan ajaran Islam. Ia tidak yakin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang haq. Ia ragu akan kebenaran Islam. Hingga di satu tahap paling parah yang diakibatkan karena penyakit ini adalah murtad dari Islam.

Dan tatkala penyakit wahn menyerang tubuh umat Islam, maka bahaya yang muncul adalah tersebarnya penyakit-penyakit hati, penyakit gaya hidup hedonis, fakhisyah (perilaku keji), amoral, korupsi, gila jabatan, candu kuasa bahkan pembunuhan.

Penyakit-penyakit yang disebabkan hama syubhat dan syahwat itu pada akhirnya berujung pada ‘ashabiyah, fanatisme golongan. Ia merusak sendi-sendi ukhuwah Islamiyah dan melemahkan kekuatan umat Islam.

Obat dari segala macam penyakit itu adalah Ilmu dan Iman. Pohon persatuan umat hanya akan tumbuh kuat disirami Ilmu dan Iman. Satu kebutuhan yang sangat dan selalu mendesak bagi umat ini adalah menuntut ilmu.

Ilmu bekerja dengan menjaga akal tetap lurus sesuai dengan fitrahnya dan mensucikan hati dari segala penyakit hati. Kedua fungsi tersebut dapat bekerja beriringan dan saling memberi dampak positif bagi penuntutnya manakala diraih dengan jalan yang sesuai sunnah dan ikhlas karena Allah Ta’ala. Dengan dua syarat itu ilmu dapat berbuah manis dalam wujud pemahaman yang baik dan benar tentang Islam, keyakinan yang kuat, rasa cinta mendalam, amal yang konsisten serta kepribadian yang mulia. Buah manis ilmu itu pun dapat dinikmati umat seluas-luasnya dan menyehatkan akal, budi pekerti dan hati mereka.

Bila salah satu saja dari dua syarat itu tidak terpenuhi, tidak ada jaminan ilmu akan bekerja sesuai fungsinya. Bisa saja penuntutnya memahami kebenaran tapi riya melemahkan keyakinannya, menghambarkan cintanya, menghijabinya dari amal shalih serta mempersingkat usia konsistensinya dalam beramal shalih.

Bisa saja hatinya tampak ikhlas karenaNya namun kekeliruannya untuk berittiba’ dengan Sunnah membekukan pikirannya, merusak keyakinannya, mengaburkan cintanya, menjerumuskannya dalam kekakuan amal hingga membuat keras amalnya.

Ilmunya pun berbuah pahit baginya bahkan bagi orang lain. Ia berilmu tapi menyembunyikan kebenaran, merubah-rubah ayat-ayat Allah, menukarnya dengan harga yang murah, menyeru manusia kepada kepentingan duniawinya, mengajak kepada pintu-pintu Jahannam, memerintahkan yang munkar, melarang yang ma’ruf, menebar kebencian, menyebar permusuhan dan adu domba serta merusak ukhuwah.

Maka tak heran Allah mengungkap mengapa Bani Israel berpecah belah dan terpuruk dalam murka Allah justru saat telah datang ilmu dan bayyinat (bukti-bukti yang nyata) kepada mereka. Jawabannya adalah karena kedengkian dan cinta dunia di hati mereka. Fanatisme ras serta cinta duniawi membuat mereka menutupi kebenaran akan kenubuwwahan Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, memelintir bukti tentangnya, memperjualbelikannya, memusuhi mereka yang beriman kepadanya serta mengajak orang kafir padanya.

Allah Ta’ala berfirman:

{ كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةࣰ وَ ٰ⁠حِدَةࣰ فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِیِّـۧنَ مُبَشِّرِینَ وَمُنذِرِینَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِیَحۡكُمَ بَیۡنَ ٱلنَّاسِ فِیمَا ٱخۡتَلَفُوا۟ فِیهِۚ وَمَا ٱخۡتَلَفَ فِیهِ إِلَّا ٱلَّذِینَ أُوتُوهُ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَاۤءَتۡهُمُ ٱلۡبَیِّنَـٰتُ بَغۡیَۢا بَیۡنَهُمۡۖ فَهَدَى ٱللَّهُ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لِمَا ٱخۡتَلَفُوا۟ فِیهِ مِنَ ٱلۡحَقِّ بِإِذۡنِهِۦۗ وَٱللَّهُ یَهۡدِی مَن یَشَاۤءُ إِلَىٰ صِرَ ٰ⁠طࣲ مُّسۡتَقِیمٍ }

“Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.” (Al Baqarah: 213).

Imam Ath Thobari dalam tafsirnya menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan

لم يكن اختلاف هؤلاء المختلفين من اليهود من بني إسرائيل في كتابي الذي أنزلته مع نبييِّ عن جهل منهم به، بل كان اختلافهم فيه، وخلافُ حكمه، من بعد ما ثبتت حجته عليهم، بغيًا بينهم، طلبَ الرياسة من بعضهم على بعض، واستذلالا من بعضم لبعض. كما:-

“Tidaklah perselisihan orang-orang yang berpecah belah dari sekelompok Yahudi dari kalangan Bani Israel di dalam memahami KitabKu yang Aku turunkan kepada NabiKu melainkan disebabkan karena kebodohan mereka tentangnya. Bahkan perselisihan mereka tentangnya dan pelanggaran (yang mereka lakukan) terhadap hukum di dalam Kitab itu, yang terjadi setelah tegak hujjah atas mereka, adalah disebabkan karena mereka saling membenci, saling berebut kekuasaan dan saling menghina diantara mereka.”

Ibnul Qoyyim Al Jauziyah menyebut dua sebab penyimpangan dari shirat al mustaqim. Pertama penyimpangan menuju jalan yang sesat yang disebabkan karena rusaknya ilmu dan aqidah. Kedua penyimpangan menuju murka Allah yang disebabkan karena rusaknya niat dan amal. Sebagian ulama tafsir saat menafsirkan makna الضالين dan المغضوب عليهم dalam surat Al Fatihah mengatakan mereka adalah orang-orang Nashrani dan Yahudi. Kebodohan menyebabkan orang-orang Nashrani tersesat. Sedangkan niat dan amal yang buruk menyebabkan orang-orang Yahudi dimurka.

Maka dalam ilmu, ikhlas dan ittiba’ harus beriring sejalan, bergandeng serempak dan bergerak harmoni. Bagi penuntutnya yang ikhlas dan ittiba’, ilmu mengarahkannya pada jalan yang lurus, jalan yang Dia beri nikmat. Bagi umat, ilmunya mengajak pada ukhuwah Islamiyah dan persatuan.

Kekuatan Muslimin: Ilmu dan Ukhuwah Islamiyah

Letak kekuatan muslimin generasi awal Islam ada pada persatuan mereka yang kokoh dalam membangun komitmen berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah serta menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Komitmen bersatu ini mustahil terwujud tanpa dilandasi ilmu dan iman. Dengan persatuan yang dibangun di atas landasan Ilmu dan Iman itulah Allah jadikan mereka umat terbaik dan jayakan mereka di atas umat-umat lainnya. Mereka bergerak berjama’ah menebar rahmat ke seluruh alam semesta.

Kekuatan itu tidak berakar pada kepentingan duniawi. Kekuatan itu jauh dari tujuan-tujuan politik an sich. Kekuatan itu tidak terwarnai sedikitpun oleh warna warni fanatisme golongan.

Sebaliknya ia mengakar kuat pada aqidah yang selamat dan ibadah yang benar, terhiasi dengan akhlak mulia, terikat kencang oleh tali ukhuwah Islamiyah lalu bergerak serempak menebar rahmat.

{ مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ ٱللَّهِ ۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَىٰهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنًا ۖ سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ ٱلسُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى ٱلتَّوْرَىٰةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِى ٱلْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْـَٔهُۥ فَـَٔازَرَهُۥ فَٱسْتَغْلَظَ فَٱسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِۦ يُعْجِبُ ٱلزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ ٱلْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًۢا }

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al Fath: 29)

Generasi terbaik itu tak henti berjuang demi menjaga tali agama ini tetap terikat. Mereka rela berkorban syahwat, harta, tenaga bahkan nyawa demi menjaga keutuhan agama ini. Mereka selalu bersikap iitsar, mendahulukan sahabat, meski kondisi mereka sendiri dalam kesusahan.

{ وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلْإِيمَٰنَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا۟ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ }

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS Al Hasyr: 9)

Maka tempuhlah jalannya!

Kehidupan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersama keluarga dan para sahabat-sahabatnya yang mulia ridhwanullah ‘alaihim merupakan model terbaik kehidupan bermasyarakat sepanjang masa. Tidak akan lahir kembali satu umat sesudahnya yang mampu menyamai apalagi menandingi model tersebut.

{ كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ }

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Ali Imran: 110)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 3651, dan Muslim, no. 2533)

Allah Ta’ala jadikan model kehidupan bermasyarakat yang ditampilkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersama keluarga dan para sahabatnya radliallahu’anhum  sebagai teladan utama bagi generasi muslimin sesudahnya. Ciri utama dari model tersebut adalah komitmen kuat mereka mempelajari Al Qur’an dan Sunnah, berpegang teguh dengan keduanya seraya berjama’ah.

Allah Ta’ala berfirman,

{ لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا }

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS Al Ahzaab: 21)

Barang siapa mengambil mereka sebagai teladan utama pasti Allah muliakan mereka sebagai bagian umat unggulan, yang berhak meraih kemenangan hidup di dunia dan akhirat. Upaya itu diwujudkan dengan kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah, berpegang teguh dengan tali Allah secara berjama’ah serta menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Maka tiada jalan meraih kemuliaan diri dan Jama’ah selain terus menerus mempelajari Al Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman generasi terbaik umat Islam. Mencukupkan dua sumber itu sebagai pedoman utama kita. Membuang segala bentuk syubhat, pemikiran dan paham-paham yang mengantarkan pada kesesatan.

Lalu bergerak berjama’ah membangun komitmen untuk berpegang teguh kepada keduanya. Mengeratkan ukhuwah Islamiyah serta membuang segala penyakit syahwat dan niat buruk yang mengantarkan pada murka Allah Ta’ala.

Sesungguhnya musuh-musuh Islam itu selamanya tak akan mampu memaksa umat Islam terpecah belah. Yang terjadi sebenarnya pada kondisi kita yang terpecah belah ini adalah mereka bisa merusak persatuan kita karena umat Islam ini sendiri yang menikmati kebodohan dan nyaman dalam ketamakkan duniawi serta menginginkan perpecahan. Mereka membuat kita bercerai berai, karena justru diantara kita ada yang bergandeng tangan dengan musuh-musuh itu untuk merusak persatuan kita. Mereka memporak porandakan barisan kita, karena kita bodoh dan cinta buta pada dunia.

Hari ini kita justru menyaksikan realita getir ini pada diri umat Islam. Atau bahkan kita perlu khawatir jangan-jangan kita adalah saksi atas diri kita yang rela mengorbankan ukhuwah Islamiyah demi urusan duniawi, demi syahwat politik, demi kepentingan kelompok?

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

“يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ”

“Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya.” Maka seseorang bertanya: ”Apakah karena sedikitnya jumlah kita?” ”Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih mengapung. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahan.” Seseorang bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahan itu?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Cinta dunia dan takut akan kematian.” (HR Abu Dawud 3745)

Maka kita lalu sadar keterpurukan umat saat ini adalah karena kebodohan dan cinta dunia. Kita sadar mengapa kemudian musuh-musuh Islam dengan mudah merebut tanah air Palestina? Mengapa dengan mudah mereka mengkotak-kotakkan kita ke dalam fanatisme nasionalis?

Padahal Allah dan RasulNya shallallahu’alaihi wa sallam berulang kali mengingatkan kita melalui Al Qur’an dan Sunnah akan urgensi kembali pada akar kekuatan kita, kembali mempelajari Islam dengan benar dan memegang teguh keduanya dengan berjama’ah. Tanah yang pernah Allah karuniakan kepada umat Islam adalah buah dari persatuan mereka. Kekuasaan yang pernah Allah anugerahkan kepada mereka ialah buah dari persatuan mereka. Kekayaan yang pernah Dia wariskan kepada muslimin adalah buah dari persatuan mereka. Sehingga bila kita ingin meraih buah-buah kemenangan itu, jagalah akarnya, kuatkan batangnya. Dan akar itu adalah Al Jama’ah dan batangnya adalah ukhuwah Islamiyah.

Ukhuwah Islamiyah adalah akhlak persatuan, karakter utama dari Jama’ah ini, wujud nyata keberadaan kita. Jangan sampai kita mau dipecah belah demi dunia, politik dan fanatisme.

Musuh kita bukanlah mereka yang berbeda madzhab dengan kita. Musuh kita bukanlah mereka yang berbeda organisasi. Musuh kita bukanlah mereka yang berbeda jalan dakwah dengan kita. Musuh kita adalah mereka yang bertepuk tangan menyaksikan kita tidak bersatu, mereka yang bahagia karena kita beragama dengan fanatisme golongan, mereka yang menginginkan kita terpecah belah saling bermusuhan.

Adapun mereka yang seaqidah dengan kita, satu kiblat dengan kita, satu Rabb dengan kita adalah saudara kita. Kita tidak melihat perbedaan antara kita dengan mereka yang berbeda madzhab atau berbeda jalan dakwah dengan kita. Untuk itu sedikitpun jangan biarkan ada sepercik kebencian di hati kita kepada mereka.

{ وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ }

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (QS Al Hasyr: 10)

Kita tidak bangga dengan keberadaan kita di Jama’ah saat kita tak bisa menahan lisan kita dari menyakiti hati sesama saudara kita. Kita tidak bangga menetapi Jama’ah bila kita kenyang saudara kita lapar. Jangan berteriak kencang menyeru kepada persatuan jika di saat bersamaan kita menebar kebencian dan menyebar permusuhan.

Kemenangan kita tidak terletak pada kekuasaan. Kekayaan kita bukanlah kejayaan. Kemenangan kita adalah tatkala kita tetap komitmen berpegang kepada Al Qur’an dan Sunnah serta menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyah hingga ajal menjemput.

{ وَمَن يَتَوَلَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ فَإِنَّ حِزْبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلْغَٰلِبُونَ }

“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (QS Al Maidah: 56)

اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعها وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه

Wallahu’alam bisshowaab. (AK/RE1/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: sajadi

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.