‘Je ne sui pas Macron’ (Oleh: Yasmi Adriansyah, PhD)

Oleh: Yasmi Adriansyah, PhD, Pengajar Hubungan Internasional di Universitas Indonesia

“Je ne sui pas .” Saya bukan Macron. Mungkin kalimat inilah yang dinantikan dunia Muslim saat ini yang datang dari masyarakat . Apa yang telah disampaikan Presiden Perancis, Emmanuel Macron beberapa kali dalam pekan-pekan terakhir, dianggap telah menghina Islam dan Muslim. Alhasil, dunia Muslim memboikot produk-produk Perancis, yang cepat atau lambat akan berdampak pada perekonomian negara Eropa tersebut.

Kaum Muslim secara umum menentang pembunuhan brutal Samuel Paty oleh Abdoullakh Anzorov pada 16 Oktober 2020, seorang keturunan Chechnya yang tinggal di Perancis sebagai pengungsi selama bertahun-tahun. Dia kebetulan seorang Muslim dan mengklaim bahwa tindakannya mengatasnamakan Islam. Untungnya, masyarakat Muslim di Perancis secara umum telah menyatakan bahwa tindakan tersebut tidak dapat diterima, bahwa tindakan tersebut sepenuhnya tidak Islami.

Begitu pula dengan Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang telah menunjukkan belasungkawa kepada keluarga Paty. Hal sama juga ditunjukkan OKI kepada korban serangan teroris di Nice pada akhir Oktober.

Kendati demikian, menyalahkan tindakan kriminal tersebut pada Islam dan Muslim menimbulkan keprihatinan yang serius bagi dunia Muslim. Sayangnya, inilah yang telah ditampilkan oleh Macron. Penangkapan dan deportasi ratusan umat Islam yang belum tentu terkait dengan pembunuhan tersebut, penutupan sebuah masjid yang pernah menayangkan video ajaran Paty – menayangkan kartun Nabi Muhammad, serta penutupan dua LSM (CCIF-Collective against Islamophobia in France and Baraka City) menjadi hal yang sulit dipahami. Alih-alih melokalisasi masalah ke kasus pembunuhan, Macron dipandang menyerang umat Islam secara umum.

Umat Islam kemudian menghubungkan kebijakan Macron setelah pembunuhan dengan pernyataannya terhadap Islam pada awal Oktober 2020. Pernyataan Macron yang menggambarkan Islam sebagai “agama yang saat ini berada dalam krisis di seluruh dunia” dan menggabungkan Islam dengan terorisme, telah memicu kritik atau kecaman besar dari dunia Muslim. Bahkan lembaga moderat seperti Universitas Al Azhar di Kairo turut menyampaikan kecaman keras terhadap pernyataan Macron.

Oleh karena itu, dapat dimaklumi jika negara-negara mayoritas Muslim seperti Turki, Pakistan, dan lainnya di Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan dan Tenggara, menyerukan boikot terhadap produk-produk Perancis. Kaum Muslim di negara-negara tersebut telah menunjukkan kemarahan dan melakukan demonstrasi di jalan terhadap Macron.

Meskipun begitu, mereka tahu bahwa hal tersebut tidak akan berdampak, sebagaimana mereka tidak dapat memengaruhi pembuatan kebijakan di Perancis. Sehingga ketika ada seruan untuk memboikot produk yang diprakarsai oleh Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan, momen inilah yang menurut mereka paling tepat dalam merespon Macron.

Setidaknya ada tiga isu utama yang telah disesatkan oleh Macron dan memicu kecaman di seluruh dunia Islam: pertama, pernyataannya bahwa Islam di seluruh dunia sedang mengalami krisis; kedua, rencananya untuk memperkenalkan undang-undang tentang ‘separatisme Islam’; dan ketiga, tekadnya untuk mengizinkan tayangan kartun Nabi Muhammad atas nama kebebasan berekspresi.

Untuk masalah kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad, selama bertahun-tahun dunia Islam menentangnya. Selain itu, dalam kasus Samuel Paty, laporan media menunjukkan bahwa sang guru menampilkan nabi yang mulia tersebut dalam karikatur telanjang. Lebih parah lagi, mohon maaf, gambar bagian vital juga ikut diekspos. Ini benar-benar menghujat Islam. Dengan kata lain, membela penerbitan kartun semacam itu atas nama kebebasan berekspresi hanya akan membuat marah dunia Muslim.

Orang mungkin bertanya, bagaimana Perancis bisa melunakkan kecaman dunia terhadap negaranya? Jawabannya sederhana: Macron harus meminta maaf. Dia harus meminta maaf dan kemudian melokalisasi masalah pembunuhan tersebut. Kasus ini harus diperlakukan dengan adil karena guru itu sendiri mungkin telah memicu kemarahan karena pengajarannya yang tidak bertanggung jawab.

Jika Macron tidak meminta maaf, maka boikot produk Perancis kemungkinan besar akan terus berlanjut. Sekilas, boikot tersebut mungkin tidak langsung berdampak pada perekonomian Perancis karena ekspornya ke negara-negara Islam seperti Turki, Arab Saudi, Qatar, dan lainnya hanya mencapai 7,23 persen (2018). Namun, ketika ekonomi dunia runtuh karena pandemi Covid-19, kesalahan kebijakan apa pun hanya dapat memperburuk ekonomi satu negara.

Cara lain yang bisa menenangkan dunia Muslim adalah jika mayoritas rakyat Perancis mengambil sikap tegas terhadap Macron. Jadi, selain menyatakan “Je sui Prof” (saya seorang guru), orang Perancis juga bisa menyatakan “Je ne sui pas Macron” (Saya bukan Macron).

Karena masalah terkini antara Perancis dan dunia Muslim belum tentu karena nilai-nilai yang dimiliki negara tersebut. Pemicu utamanya oleh pernyataan Macron yang kerap melukai umat Islam.

Terakhir, jika rakyat Perancis tetap mendukung Macron, besar kemungkinan di masa depan akan terus terjadi konflik peradaban antara negeri tersebut dengan dunia Islam. Jelas ini bukan yang diinginkan oleh dunia beradab di manapun. (AK/R1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.