Oleh : Drs.K.H. Yakhsyallah Mansur,M.A., Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah)
Firman Allah :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(191)
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali Imran [3]: 190-191).
Imaam At-Thabrani dan Ibnu Al Mundzir meriwayatkan Asbabun Nuzul ayat ini dari Ibnu Abbas sebagai berikut, “Orang-orang Quraisy mendatangi orang-orang Yahudi dan berkata, “Mu’jizat apa yang dibawa Nabi Musa kepadamu untuk membuktikan kebenarannya?”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Mereka menjawab, “Tongkatnya dan tangannya yang bersinar putih cemerlang.” “Kemudian mereka mendatangi orang Nasrani dan berkata, “Mu’jizat apa yang dibawa Nabi Isa kepadamu?” Mereka menjawab, “Menyembuhkan penyakit buta sejak dalam kandungan dan penyakit kusta dan menghidupkan orang yang mati.”
Kemudian mereka mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata, “Berdo’alah kepada Tuhanmu agar bukit Shofa menjadi emas untuk kami.” Maka Nabi berdo’a, lalu Allah menurunkan ayat di atas. Ibnu Abbas berkata, “Pikirkanlah ayat ini.”
Ulul Albaab secara harfiyah berarti orang yang mempunyai akal yang sehat dan fikiran yang lurus sehingga “al-lub” arti aslinya adalah inti dan kemurnian segala sesuatu.
Ayat ini memberi petunjuk bahwa untuk membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dapat ditempuh dengan menggunakan akal untuk memikirkan semua ciptaan Allah yang ada di alam raya ini.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Orang yang menggunakan akal pikiran ini dalam terminologi Al Qur’an disebut Ulul Albab atau yang senada dengannya yaitu Ulin Nuha, Ulil Abshor, Ulama dan sebagainya. Dalam bahasa Indonesia kata-kata ini berpadanan dengan kata Intelektual, Ilmuwan, atau Cendekiawan.
Ayat ini menunjukkan betapa tingginya kedudukan orang yang berakal. Ketika menjelaskan ayat ini, Prof. DR. Abdul Salam, seorang pemenang hadiah Nobel 1979 bidang fisika, berkat teori unifikasi gaya yang disusunnya berkata, “Al Quran mengajarkan kepada kita dua hal, Tafakkur dan Tasyakur.
Tafakkur adalah merenungkan ciptaan Allah di langit dan di bumi, kemudian menangkap hukum-hukum yang terdapat di alam semesta. Tafakkur inilah yang sekarang disebut dengan science.
Tasyakur ialah memanfaatkan nikmat dan karunia Allah dengan menggunakan akal pikiran, sehingga kenikmatan semakin bertambah, dalam istilah modern, tasyakur disebut dengan tehnologi. Ulil Albab merenungkan ciptaan Allah di langit dan di bumi dan berusaha mengembangkan ilmunya sedemikian rupa sehingga karunia Allah ini dilipatgandakan nikmatnya.”
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Jadi, Ulil Albab atau Cendekiawan adalah kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahannya.
Karakteristik Ulul Albaab
Didalam Al Qur’an, banyak disebutkan karakter ulul albab, antara lain :
Pertama, Bersungguh-Sungguh dalam Mencari Ilmu
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Q.S. Ali Imran [3]: 7).
Kedua, Rajin Shalat Malam
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ ءَانَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Q.S. Az-Zumar [39]: 9)
Ketiga, Tidak Takut Kecuali kepada Allah
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ
Artinya: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 197).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Keempat, Kritis dan Cerdas dalam Menerima Informasi
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Qs. Az-Zumar : 18)
Kelima, Mengembangkan Ilmunya untuk Memperbaiki Masyarakat
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
هَذَا بَلَاغٌ لِلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوا بِهِ وَلِيَعْلَمُوا أَنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَلِيَذَّكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “(Al Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” (Q.S. Ibrahim [14]: 52).
Menurut Dr. Mahdi Ghulsyani, ilmu dipandang bermanfaat apabila memenuhi kriteria antara lain; pertama, dia dapat meningkatkan pengetahuan pemiliknya akan Allah. Kedua, dia dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan tujuan-tujuannya. Ketiga, dia dapat membimbing orang lain. Keempat, dia dapat memecahkan berbagai problema masyarakat.
Keenam, Mampu Memisahkan yang Baik dan yang Buruk
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Firmal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S.. Al-Maaidah [5]: 100).
Ketujuh, Menjadikan Al Quran sebagai Pusat Perhatian
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Q.S. Shaad [38]: 29)
Tanggung Jawab Ulul Albaab
Firman Allah :
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَاب (19) الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ (20) وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ (21)
Artinya: “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran (19). (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian (20). dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk (21)”. (Q.S. Ar-Ra’d [13]: 19-21).
Pada ayat ini Allah menyebutkan dua tanggung jawab utama Ulul Albab yaitu :
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
Pertama, Memenuhi Janji
Janji Allah yang disebut mitsaq ini didefinisikan oleh Dr. Muhammad Mahmud Hijazi sebagai “apa yang mengikat diri mereka dalam hubungan antara mereka dengan Tuhan mereka, antara diri mereka dengan diri mereka, antara mereka dengan manusia yang lain.”
Janji tertua manusia kepada Allah yang mereka ungkap sejak masih di alam arwah disebutkan dalam firman-Nya :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Q.S. Al-A’raf [7]: 172).
Dengan janji ini, setiap cendekiawan jauh sebelum diciptakan dengan hidup yang nyata telah berjanji kepada Allah untuk mengikuti perintah-Nya, menghentikan larangan-Nya, melaksanakan seluruh rangkaian ibadah yang telah disyari’atkan-Nya, dan mengikuti seruan Rasul-Nya.
Setelah itu dipenuhi janji kepada dirinya, untuk memilih komitmen terhadap nilai Islam dan dipenuhi pula janjinya dengan sesama manusia karena hidup pada hakekatnya paduan antara janji. Apabila janji dipenuhi, maka akan terwujudlah harmoni kehidupan dan apabila janji banyak dilanggar maka rusaklah kehidupan.
Termasuk dalam janji dengan sesama manusia ini adalah seorang cendekiawan harus mempertahankan kejujuran, keterbukaan dan kesungguhan hati, menghindari manipulasi data, pemalsuan informasi, hanya memikirkan kepentingan pribadi dan lain-lain yang akan menjatuhkan nilai-nilai ilmu yang dimiliki.
Apabila cendekiawan komitmen dengan janjinya kepada sesama manusia maka tidak akan terjadi kasus yang mengerikan seperti yang terjadi di Prancis, beberapa tahun lalu. Diberitakan bahwa telah diketemukan janin-janin beku dalam kantong-kantong plastik dalam sebuah truck yang menuju Prancis lewat Swiss.
Menurut berita tersebut, janin-janin itu dikirim untuk penelitian pengembangan beauty creams di laboratorium-laboratorium di Perancis. Pada halaman yang sama dalam berita yang berjudul “Abortion: A Thriving Industry in America’s Celebrated Way of Life” diberitakan pula tentang penemuan 17000 janin korban aborsi di rumah seorang bekas operator laboratorium kedokteran di California.
Kedua, Menyambung apa yang diperintahkan Allah
Menyambung apa yang diperintahkan Allah adalah menyambung hubungan antara sesama manusia. Termasuk didalamnya menggabungkan iman, amal dan cinta kepada Allah, serta menghubungkan kelompok-kelompok yang bertentangan sehingga tumbuh ukhuwwah Islamiyah di antara manusia. Di sinilah seorang cendekiawan berperan sebagai integrator, katalis, dan muwwahid yang menghidupkan semangat persatuan di tengah masyarakat yang terpecah.
Disi pula pentingnya peran generasi muda Islam sebagai ulul albab. Mereka hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh mewujudkan kesatuan umat Islam dengan melaksanakan kehidupan berjama’ah di tengah-tengah masyarakat Islam. Karena hanya dengan berjama’ah, masyarakat Islam dapat disatukan, sebagaimana firman Allah :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا …..
Artinya: “Dan berpegang kamu semuanya kepada tali (agama) Allah seraya berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Q.S. Ali Imran [3]: 103).
Menurut riwayat Ibnu Ishaq, ayat ini turun berkenaan dengan keretakan shaf umat Islam dari suku Aus dan Khazraj akibat provokasi seorang Yahudi yang bernama Syas bin Qais. Suatu saat dia lewat di hadapan suku Aus dan Khazraj yang sedang bercakap-cakap dengan riang gembira. Dia benci melihat keakraban mereka padahal sebelum masuk Islam mereka selalu bermusuhan. Ia menyuruh seorang pemuda anak buahnya untuk ikut bercakap-cakap dengan mereka dan membangkitkan rasa permusuhan di antara mereka dengan menceritakan peristiwa perang Buats yang terjadi di zaman jahiliyah.
Kemudian mereka berselisih dan menyombongkan kegagahan masing-masing sehingga tampillah Aus bin Qurazhi dari golongan Aus dan Jabbar bin Sakhr dari golongan Khazraj, saling caci-mencaci dan menimbulkan amarah dari kedua belah pihak serta berloncatan untuk berperang. Hal ini sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ia segera datang dan memberi nasihat serta mendamaikannya. Mereka tha’at dan tunduk terhadap nasihat tersebut. Maka turunlah ayat di atas yang memerintahkan umat Islam untuk berpegang teguh kepada Al-Islam seraya berjama’ah dan tidak berpecah-belah.
Dalam mewujudkan tanggung jawab tersebut ulul albab harus mampu membimbing masyarakat dan membantu terwujudnya kebutuhan mereka, bukan untuk memegang kepemimpinan politik negara dan kepemimpinan yang bersifat sektarian. Apabila masyarakat dibimbing dan dibangunkan secara benar, dia akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tangguh untuk membimbing mereka ke arah pembangunan masyarakat yang benar berdasarkan pada ajaran Islam. Hal ini bukan karena konsekuensi iman saja, tetapi karena ajaran Islam sanggup menjawab tantangan kehidupan.
Ajaran Islam yang dipraktekkan secara konsekuen terbukti telah melahirkan manusia unggul sebagai penyelamat dunia dan pelopor peradaban di berbagai bidang. Umar bin Khaththab berhasil menjadi pemimpin dunia yang jarang tandingannya. Bilal bin Rabbah dari seorang budak yang menjadi muadzin Rasul dan menjadi lambang persamaan manusia. Belum lagi dalam bidang Sains dan tehnologi lahir nama Al Haytsan dalam bidang optics yang dipandang sebagai mendasari teori Newton. Ibnu Sina dengan Canon of Medicine-nya yang telah menjadi buku standar ilmu kedokteran selama 600 tahun. Muhammad bin Musa Al Khawarizmi yang pertama kali mengarang buku tentang matematika dan istilah logaritma, diyakini berasal dari namanya.
Keberhasilan syari’at Islam melahirkan manusia-manusia unggul di atas adalah tidak terlepas dari kepemimpinan dan keteladanan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bernard Shaw menulis, “Jika seorang seperti Muhammad menguasai (memimpin – Pen) dunia modern, maka dia berhasil membawa dunia pada perdamaian dan kebahagiaan yang sangat dibutuhkan itu. Oleh karena itu cendekiawan muslim dituntut untuk meneladani Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh aspek kehidupannya. Semoga kita mampu merealisasikannya. Amin. Wallahu a’lam bish-showab.(T/R02/P4).
Maraji’:
- Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al Nijai Al Mufahras li Alfadz Al Quran Al-Karim, Daar Al Fikr, Cet. III, 1412 H.
- Al Baghawi, Ma’alim At Tanzil fi At Tafsir wa At Ta’wil, Daar Al Fikr, Beirut, 1405 H.
- Al Qodhi Abdul Fatah, Asbab An-Nuzul fi As Sahabah wa Al Mufassirin, Daar Al Nadwah Al Jadidat, 1408 H.
- Muhammad Sayyid Tanthawi, Tafsir Al-Wasith li Al Quran Al-Karim, Daar Al-Ma’arif, Kairo,
1393 H./1973 M. - Al-Raghib Al-Ashfahani, Al-Mufradat Fie Gharib Al Quran, Daar Al-Ma’arif, Beirut, cet. II,
1420 H./1999 M. - Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut Al Quran, Terj. Agus Efendi, Mizan, Bandung, cet. X, 1419 H.
- Hamka, Tafsir Al Azhar, Pustaka Panjimas, Jakarta, cet. II, 1983 M.
- Ali Shari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, Terj. Amin Rais, Rajawali, Jakarta.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)