Ketum Muhammadiyah: Ulil Albab Selalu Jaga Silaturahmi

Yogyakarta, MINA – Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir mengatakan, “Ulil Albab” disebutkan dalam Al Quran ialah mereka yang senantiasa menjaga tali silaturahmi.

“Secara normatif, ada banyak tuntunan menjaga silaturahmi, diantara ciri “Ulil Albab” disebutkan dalam Al Quran ialah mereka yang senantiasa menjaga tali silaturahmi,” kata Haedar dalam materi ‘Hikmah Syawalan’ di Gedung Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogja, Senin (8/5).

Bagi Haedar, Indonesia merupakan rumah besar yang menaungi seluruh agama-agama dan kepercayaan. “Negeri kita Indonesia tercinta ini, harus menciptakan rumah yang besar, menjadi rumah nyaman untuk semua perbedaan, untuk keragaman, hidup bersatu, damai dan penuh toleransi,” imbuhnya.

Baca Juga:  13 Negara Surati Israel untuk Hentikan Agresi ke Rafah

Nabi Muhammad juga meletakkan silaturahmi satu mata rantai dengan perintah ibadah, salat, dan zakat sebagaimana sabdanya: “Beribadahlah pada Allah SWT dengan sempurna jangan syirik, dirikanlah salat, tunaikan zakat, dan jalinlah silaturahmi dengan orangtua dan saudara.” (HR Bukhari).

Dalam pidato akhir kerisalahan Nabi Saw pada Haji Wada juga banyak nilai-nilai kemanusiaan semesta yang inklusif. Dalam momen sakral tersebut, Nabi Saw mengajak untuk memuliakan kaum perempuan dan semua umat manusia, meniadakan riba, meluruhkan ego golongan, menghilangkan diskriminasi, dan menjadikan umat yang satu dalam keragaman.

umat Islam harus melakukan sesuatu yang positif dan pada saat yang bersamaan harus mencegah hal yang negatif. Umat Islam mesti menjaga silaturahmi sekaligus menghindari permusuhan.

Baca Juga:  Kasih Sayang Rasulullah SAW

Berdasarkan tuntunan normatif di atas, ada banyak sekali perintah untuk menjaga silaturahmi dan larangan menghunus permusuhan. Akan tetapi, kata Haedar, ujian sesungguhnya ialah apakah umat Islam mampu menjaga silaturahmi dengan kelompok yang berbeda dalam kondisi yang tidak normal?

“Bagaimana nilai-nilai yang kaya itu terus kita aktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ada kesenjangan antara normatif dan empirik. Ujian silaturahmi bukan di kala normal, di kala normal insyaAllah bisa. Tapi di saat ada pemicu, bisakah kita tetap menjaga silaturahmi?”

Menurut Haedar, sosial media banyak memicu untuk memutus silaturahmi. Hal ini menjadi ujian bagi setiap kalangan agar tetap sabar dan kebal dari berbagai virus perpecahan. Selain sosial media, pemicu perpecahan juga dapat terjadi karena ego-golongan. Diharapkan para pemimpin dan elit suatu golongan mesti mendinginkan suasana di saat kondisi panas membara.

Baca Juga:  Presiden Sepak Bola Palestina Desak Sanksi kepada Israel

Lain dari pada itu, kata Haedar, kepentingan juga kadang menjadi sumbu perpecahan yang memutus tali silaturahmi. Induk segala berhala, kutip Rumi, adalah hawa nafsu. Banyak fenomena terjadi di masyarakat, antar kerabat keluarga dapat pecah hanya karena berebut harta warisan. Dalam skala yang lebih luas, berebut kekuasaan politik juga cenderung menghasilkan konflik yang nir-produktif. (R/R4/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: kurnia

Editor: Widi Kusnadi