Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Kantor Berita Islam MINA
Di dalam sebuah surat pada Juz ‘Amma, Allah menyebutkan ayat-ayat-Nya:
وَيۡلٌ۬ لِّڪُلِّ هُمَزَةٍ۬ لُّمَزَةٍ (١) ٱلَّذِى جَمَعَ مَالاً۬ وَعَدَّدَهُ ۥ (٢) يَحۡسَبُ أَنَّ مَالَهُ ۥۤ أَخۡلَدَهُ ۥ (٣) كَلَّاۖ لَيُنۢبَذَنَّ فِى ٱلۡحُطَمَةِ (٤) وَمَآ أَدۡرَٮٰكَ مَا ٱلۡحُطَمَةُ (٥) نَارُ ٱللَّهِ ٱلۡمُوقَدَةُ (٦) ٱلَّتِى تَطَّلِعُ عَلَى ٱلۡأَفۡـِٔدَةِ (٧) إِنَّہَا عَلَيۡہِم مُّؤۡصَدَةٌ۬ (٨) فِى عَمَدٍ۬ مُّمَدَّدَةِۭ (٩)
Artinya: “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.” (Q.S. Al-Humazah [104] : 1-9).
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Peringatan Allah pada Surat Al-Humazah ini terkait dengan bagaimana kedudukan harta yang berada pada manusia di permukaan bumi ini adalah titipan dari Allah. Sebagai suatu titipan, manusia pemegang harta wajib mensyukuri, menjaga, dan memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan-Nya.
Kelak pada Hari Pembalasan Allah menuntut pertanggungjawaban titipan itu. Firman-Nya pada ayat lain mengingatkan:
ثُمَّ لَتُسۡـَٔلُنَّ يَوۡمَٮِٕذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ (٨)
Artinya: “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)”. (Q.S. At-Takatsur [102] : 8).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Berkaitan dengan harta, maka seseorang kelak akan ditanya: “Dari mana harta itu diperoleh?” “Dengan cara apa mendapatkannya?”, dan “Untuk apa saja harta itu digunakan dalam kehidupan sehari-hari?”
Apakah mendapatkannya dengan cara yang sah dan halal? Ataukah dengan cara bathil yang diharamkan Allah? Apakah dipergunakan untuk amal kebajikan ataukah untuk dosa dan kemaksiatan?
Bagi hamba Allah yang beriman, tentu saja tidak terpengaruh dengan godaan harta dari mengingat Allah.
Firman-Nya mengingatkan:
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُلۡهِكُمۡ أَمۡوَٲلُكُمۡ وَلَآ أَوۡلَـٰدُڪُمۡ عَن ذِڪۡرِ ٱللَّهِۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٲلِكَ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡخَـٰسِرُونَ (٩)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Q.S. Al-Munafiqun [63] : 9).
Kita mengetahui bagaimana para sahabat Nabi, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Utsman bin Affan, Abdurahman bin Auf, dan para sahabat lainnya, adalah teladan nyata betapa walaupun mereka juga memiliki banyak harta. Namun harta itu tidak sampai memperbudak mereka dari beribadah dan berjuang di jalan Allah.
Mereka tidak segan-segan mengeluarkan sebagian besar hartanya untuk perjuangan di jalan Allah dan kesejahteraan umat. Karena itu memang titipannya. Sehingga harta bagi mereka tidak sapai ke hatinya, tapi cukup di tangannya saja. Kalau sampai ke hatinya tentu sangat berat melepaskannya. Namun karena hanya di tangannya, maka dengan mudah dan ringan melepaskannya untuk jalan yang diridhai-Nya.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Begitulah, bagi orang-orang beriman, ia tidak akan sampai menjadi pengumpat lagi pencela, serta tidak pula menjadi pengumpul harta dan penghitung harta, yang dengan itu dirinya diperbudak harta dan dunianya.
Oleh karena itulah, maka orang beriman tidaklah sampai dikendalikan harta dan dunianya. Namun justru dia sendirilah yang mengendalikan harta dan dunianya. (P4/R05)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah