Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kegiatan Filantropi Marak di Era Digital, Perlu Penegakan Kode Etik

Insaf Muarif Gunawan - Rabu, 10 Maret 2021 - 18:01 WIB

Rabu, 10 Maret 2021 - 18:01 WIB

6 Views

Jakarta, MINA – Philanthropy Learning Forum dengan topik “Etika Filantropi di Era Digital” diadakan di Jakarta, Selasa (9/3), mengingat urgensi penegakan kode etik dalam kegiatan filantropi yang menggunakan platform digital.

Acara diikuti para pegiat filantropi dengan menghadirkan empat pembicara, yakni Tommy Hendrajari (Ketua Gugus Tugas Kode etik Filantropi Indonesia), Bambang Suherman (Ketua Forum Zakat/FOZ), Heny Widiastuti (Dewan pengawas Humanitarian Forum Indonesia / HFI) dan Nugaha Andaf (CEO Andaf Corporation Digital Agency).

Tomy Hendrajati, Ketua Gugus Tugas KEFI (Kode Etik Filantropi Indonesia), menyatakan bahwa filantropi digital berkembang pesat di Iindonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Pesatnya pemanfaatan platform digital dalam kegiatan filantropi juga diakselarasi oleh kondisi pandemi COVID-19 yang memaksa sebagian aktivitas berpindah ke platform digital, termasuk kegiatan filantropi.

Baca Juga: Cuaca Jakarta Diguyur Hujan Selasa Siang Hingga Sore Ini

Menurutnya, eEra digital tidak hanya menjanjikan peluang dan kesempatan bagi pengembangan kegiatan filantropi dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, tapi juga memunculkan beragam tantangan dan persoalan, terutama persoalan terkait etika.

Beberapa persoalan etika yang terjadi dalam kegiatan filantropi, diantaranya maraknya penggalangan donasi untuk kepentingan pribadi (biaya menikah atau membayar hutang), penggunaan gambar atau video yang mengeksplotasi kesedihan dan penderitaan korban, frekwensi dan intensitas kampanye dan tawaran donasi yang menimbulkan ketidaknyamanan calon donatur, pelanggaran hak cipta dalam penggunaan gambar dan video untuk materi kampanye, ketidaksesuaian penyaluran dan pemanfaatan sumbangan, minimnya transparansi dan akuntabilitas, narasi provokasi dan ujaran kebencian dalam penggalangan donasi untuk konflik sosial, sampai cyber bullying terhadap penggalang donasi, organisasi dan penerima manfaat.

“Jika dilihat dari empat tahapan filantropi, yakni penggalangan, pengelolaan, penyaluran dan pelaporan/pertanggungjawaban sumbangan, persoalan etika filantropi digital banyak terjadi di tahapan kampanye untuk penggalangan sumbangan” katanya.

Menurut Tomy, Untuk mengatasi masalah etika ini, beberapa organisasi dan asosiasi sebenarnya sudah menerbitkan kode etik atau pedoman dalam menjalankan kegiatan filantropi atau fundraising.

Baca Juga: Ketua MPR RI Salurkan Bantuan untuk Korban Erupsi Gunung Lewotobi

Filantropi Indonesia, misalnya, menerbitkan Kode Etik Filantropi Indonesia (KEFI) sebagai pedoman perilaku pegiat filantropi dalam menjalankan kegiatan filantropi atau kedermawanan sosial. Selain KEFI, ada juga Kode Etik Amil yang diterbitkan Forum Zakat dan Pedoman Akuntabilitas Bantuan Kemanusiaan yang diinisasi oleh Humanitarian Forum Indonesia.

“Sayangnya, Kode Etik dan Pedoman ini belum berperan optimal dalam meminimalisir dan mengatasi persoalan etika dalam kegiatan filantropi. Selain minimnya sosialisasi, lemahnya mekanisme pengawasan dan penegakan kode etik juga menjadi kendala dalam mengatasi masalah-masalah etik yang muncul di lapangan.” Katanya.

Bambang Suherman, Ketua Umum Forum Zakat (FOZ) mengatakan, persoalan etika juga terjadi dalam penggalangan, pengelolaan dan penyaluran filantropi keagamaan, khususnya Zakat, Infaq, sedekah (ZIS).

Hal ini bisa dimaklumi mengingat sebagian besar LAZIS (Lembaga Amil Zakat) juga memanfaatkan platform digital dalam menggalang ZIS. Amil atau pegiat LAZIS melihat perilaku donatur atau muzakki (pembayar zakat) dalam membelanjakan hartanya mengalami perubahan.

Baca Juga: HGN 2024, Mendikdasmen Upayakan Kesejahteraan Guru Lewat Sertifikasi

Proses dan cara transaksi dalam belanja kebutuhan konsumsi tidak jauh berbeda dengan transaksi belanja untuk kebutuhan religius mereka dalam bentuk ZIS. Seperti halnya transaksi konsumsi, proses transaksi ZIS juga berpindah dari analog atau konvensional ke digital. Hal inilah yang mendorong pemanfaatan platform digital secara masif dalam penggalangan ZIS.

Sementara Wakil Ketua Badan Pengurus FI (Filantropi Indonesia), Suzanty Sitorus, melihat urgensi dalam penerapan dan penegakan berbagai kode etik dan pedoman terkaut filantropi dalam rangka menumbuhkan kepercayaan masyarakat.

Menurutnya, banyak yang mengira tulang punggung atau landasan utama filantropi adalah sumbangan atau donasi. Padahal landasan utama filantropi adalah trust atau kepercayaan masyarakat atau donatur. Dukungan atau donasi masyarakat akan datang kalau ada kepercayaan. (L/R8/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Hari Guru, Kemenag Upayakan Sertifikasi Guru Tuntas dalam Dua Tahun

Rekomendasi untuk Anda

Breaking News
Breaking News
Pendidikan dan IPTEK
Indonesia
test