Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA
Pemerhati politik internasional Swedia asal India Prof. Ashok Swain memberikan kritikannya melalui akun Twitter-nya pada 29 Februari 2020 bahwa “Sementara PM Pakistan Imran Khan sedang merenovasi 400 kuil Hindu untuk diserahkan kepada umat Hindu minoritas, di India PM Narendra Modi, malah masjid-masjid Muslim minoritas diserang secara terorganisir.”
Kritik tajamnya terhadap Modi dan tim Hindunya yang memimpin pemerintahan India menambahkan, “Di India Baru, seorang Muslim harus menyerahkan dirinya untuk mati ketika gerombolan pemuda Hindu datang menyerang. Jika Muslim menolak dan mencoba untuk bertahan hidup, polisi India akan menempatkannya di balik jeruji besi. Tidak ada jalan keluar bagi seorang Muslim di bawah PM Modi.”
Profesor Swain, seperti disebutkan Telegraph Nepal, edisi Rabu, 4 Maret 2020, dengan blak-blakan menyebutkan “serangan brutal yang disengaja” pada Muslim minoritas bertepatan dengan kunjungan Presiden AS Donald Trump ke New Delhi.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Ketika dunia berjuang melawan krisis pengungsi di berbagai tempat, sementara pada bagian lain juga sedang berjuang mengatasi bentuk lain dari isu. India malah menciptakan lingkungan yang menakutkan dan penuh kepanikan di antara warga khususnya Muslim dalam beberapa bulan terakhir.
Undang-Undang Kewarganegaraan yang banyak orang sebut membingungkan telah meluas pada suasana ketidakpercayaan terhadap Perdana Menteri Narendra Modi dan Partai Bharatiya Janata (BJP).
Peraturan baru yang menimbulkan kekhawatiran bahwa PM Modi ingin membentuk India sekuler menjadi negara Hindu dengan memarginalkan 200 juta Muslim di negara itu. Walaupun Modi dan timnya berusaha membenarkan klaimnya.
Padahal, kalau mau melihat Nepal yang notabene adalah negara mayoritas Hindu, tapi faktor toleransinya sangat tinggi. Fanatisme dan diskriminasi India mestinya dapat belajar dari Nepal tentang toleransi.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Sementara Trump sendiri tidak mengucapkan sepatah kata pun terhadap serangan yang diperhitungkan pada Muslim minoritas dalam kunjungannya ke India.
Padahal kecaman datang dari Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF), beberapa pemimpin Demokrat dan Republik, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) tentang kekerasan komunal sejak 24 Februari yang telah menewaskan sedikitnya puluhan orang.
Protes Dunia
Kekerasan terorganisir terhadap minoritas Muslim di India pada tahap berikutnya memantik demonstrasi komunitas India di lebih dari delapan belas kota di seluruh Eropa pada hari Sabtu 29 Februari 2020, dengan tuntutan tindakan segera terhadap mereka yang bertanggung jawab.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Protes yang dihadiri sekitar 1500 orang, diadakan di kota-kota di dunia seperti Brussels, Jenewa, United King Dom, Helsinki, Cracow, Den Haag, Stockholm, Dublin, Paris, Berlin, Munich, Glasgow, warga negara Kanada-India, dan London.
Warga Bangladesh juga bergabung dengan negara-negara lain seperti Turki, Pakistan, Malaysia dan Indonesia mengecam keras kekerasan komunal di New Delhi tersebut.
Majalah berbasis di Manhattan, Newyorker menyebut, bentrokan komunal yang menewaskan belasan warga di New Delhi selama kunjungan Presiden Trump memberi tahu dunia bahwa Modi telah mengendalikan segalanya.
Mengutip komentar Perdana Menteri Pakistan Imran Khan, tentang kekerasan di Delhi bahwa “setiap kali ideologi rasis berdasarkan kebencian, itu mengarah pada pertumpahan darah.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Menurut aktivis India, Arundhati Roy mengatakan, satu-satunya yang bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi di Delhi pekan lalu, yang menewaskan puluhan warga, berada di tangan sayap kanan nasionalis Hindu Perdana Menteri Narendra Modi. Demikian diberitakan Dhaka Tribune tanggal 4 Maret 2020.
Menurutnya, sebuah demokrasi yang tidak diatur oleh konstitusi atau telah dikebiri, hanyalah sepenuhnya berarti telah membongkar demokrasi itu sendiri. “Tindakan Modi bagai virus corona yang mewabah. Bangsa yang sedang sakit,” ujarnya.
Undang-Undang Kewarganeraan adalah untuk mengacaukan dan memecah-belah warga tidak hanya di India tetapi di seluruh anak benua, lanjutnya.
Dari pejabat India sendiri mengatakan, seperti reaksi anggota BJP dan mantan aktor Bengali Subhadra Mukherjee yang telah mengundurkan diri dari partai berkuasa atas kekerasan baru-baru ini di mana 40 orang terbunuh oleh ekstrimis Hindu di New Delhi, lapor Geo News.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Aktris Bengali itu mengatakan dalam pernyataannya bahwa “Saya bergabung dengan BJP pada 2013 karena saya terkesan dengan cara fungsi partai. Namun dalam beberapa tahun terakhir, saya perhatikan bahwa segala sesuatunya tidak berjalan dengan benar. Saya merasa bahwa rasa kebencian dan menghakimi orang dengan agama mereka mengambil alih ideologi BJP. Setelah memikirkan beberapa hal, saya memutuskan untuk berhenti, ”katanya seperti dikutip media lokal.
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia menyoroti Kashmir dan Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan India sebagai kekerasan penyebab keprihatinan besar.
“Saya prihatin dengan laporan tidak adanya polisi dalam menghadapi serangan terhadap Muslim oleh kelompok lain”, kata Komisaris Tinggi Michelle Bachelet, dalam pidatonya di Dewan Hak Asasi Manusia PBB Sesi ke-43, keprihatinannya tentang penahanan para pemimpin politik di Jammu dan Kashmir.
“Di India secara lebih luas, Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan yang diadopsi Desember lalu sangat memprihatinkan,” ujarnya.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Kekerasan berdarah telah terulang di India, seperti terjadi pada tahun 2002. Saat kerusuhan terjadi selama dua bulan lamanya di Gujarat, dengan melibatkan konflik agama yang dikenal paling signifikan terjadi di negara tersebut, yaitu Hindu dan Muslim.
Dalam kerusuhan yang terjadi di negara bagian India itu, lebih dari 1.000 warga Muslim tewas. Pembantaian yang keji dilakukan massa dari warga Hindu dengan membakar serta menjarah rumah-rumah, toko-toko, dan bangunan lainnya milik warga Muslim, membunuh satu per satu, bahkan memerkosa para perempuan.
Kerusuhan Gujarat menjadi kerusuhan terparah dalam sejarah India sejak merdeka dari Inggris pada 1947, dan itu di bawah Narendra Modi sebagai Menteri Utama Negara Bagian Gujarat saat itu.
Modi yang menjabat sebagai menteri Gujarat pada 2001 adalah ketua Bharatiya Janata Party (BJP), partai berhaluan Hindu nasionalis dan kerap menampilkan Muslim sebagai musuh. Tujuannya adalah agar para mayoritas Hindu di India mencari perlindungan dengan memilih partai tersebut.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
ia disebut memiliki peranan besar dalam kekerasan berdarah di Gujarat dan dianggap tidak melakukan sesuatu untuk menghentikan kerusuhan. Bahkan, ia tidak meminta pihak kepolisian untuk turun tangan guna membuat keadaan terkendali.
Mencoreng Leluhur
Langkah-langkah PM Modhi telah mencoreng nilai-nilai luhur Mahatma Gandhi, salah satu founding fathers negara besar India. Gandhi tokoh kemerdekaan India dan pejuang gerakan tanpa kekerasan adalah penganut Hindu yang taat dan mengedepankan toleransi antar umat beragama.
Pendahulu PM pertama Jawaharlal Nehru yang merupakan negarawan India pertama 1947-1964, juga sangat mengedepankan nilai-nilai toleransi tanpa melihat perbedaan apapun dalam kondisi sosial masyarakat.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Itu jugalah yang Nehru perjuangkan dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955, bersama tokoh-tokoh Asia, Ali Sastroamidjojo (Indonesia), Muhammad Ali Bogra (Pakistan), John Kotelawala (Srilangka), dan dari U Nu (Myanmar) yang mengkampanyekan kehidupan bebas dari penindasan menjadi jiwa-jiwa merdeka.
Sebuah konferensi internasional yang mewujudkan visi memperat kebersamaan, solidaritas antara sesama, dan memperkuat persaudaraan antar berbagai komponen bangsa.
Namun kini, reputasi India sebagai salah satu negara demokrasi justru tercemar kemelut politik diskriminasi agama yang sedang merajalela di negeri kelahiran Mahatma Gandhi dan Jawaharlal Nehru.
Lingkaran kekerasan terorganisir terhadap sesama anak bangsa dan warga dunia yang harus segera dihentikan oleh dunia, sekarang juga ! (A/RS2/RS3)
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Mi’raj News agency (MINA)