Kelahiran TNI yang Sempat Jadi Perdebatan

Oleh: Rendy Setiawan, Wartawan MINA

Setiap tanggal 5 Oktober, rakyat Indonesia mengingatnya sebagai hari lahirnya Tentara Nasional Indonesia (). Namun, jauh sebelum itu, lembaga keamanan tingkat nasional ini baru bisa terbentuk setelah melewati jalan yang terjal dan perdebatan begitu panjang, sejak diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sesaat setelah Indonesia menegaskan dirinya sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, muncul silang pendapat yang cukup kuat antara dengan . Perbedaan pendapat itu terjadi khususnya mengenai pembentukan sebuah lembaga keamanan rakyat sebagai bentuk jaminan terhadap perlindungan rakyat dari pihak-pihak yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Sejarawan militer Indonesia, Saleh As’ad Djamhari dalam ‘Ichtisar Sejarah Perjuangan ABRI’ menyebutkan, golongan muda menginginkan agar Indonesia secepatnya membentuk angkatan perang, setidaknya untuk membela diri jika terjadi hal-hal di luar perkiraan. Apalagi, di berbagai wilayah di tanah air telah berdiri laskar-laskar bersenjata yang tidak terbilang banyaknya, bekas bentukan di masa Belanda maupun Jepang.

Dalam pandangan golongan muda, dibentuknya suatu angkatan perang adalah hal yang sangat penting dan diperlukan jika Indonesia ingin berdikari dan dipandang sebagai sebuah negara yang mandiri dan berdaulat. Sudah saatnya seluruh elemen bangsa bersatu untuk merebut kekuasaan negara sepenuhnya yang masih berada di tangan penguasa Jepang. Untuk mewujudkan misi itu, maka Indonesia harus mempunyai angkatan perang.

Akan tetapi, tidak semua pihak sepakat dengan wacana yang digelorakan oleh golongan muda itu. Sebagian dari golongan tua berpendapat, kemerdekaan yang telah diproklamirkan dapat dipertahankan tanpa tumpah darah, yaitu dengan memperoleh pengakuan dari Sekutu selaku pemenang Perang Dunia II. Mereka meyakini jalur diplomasi menjadi pilihan yang paling tepat dan rasional untuk mengawal kemerdekaan menuju masa depan yang lebih cerah.

Golongan tua pada waktu itu memilih lebih menempuh cara diplomasi untuk memperoleh pengakuan terhadap kemerdakaan yang baru saja diproklamasikan. Tentara pendudukan Jepang yang masih bersenjata lengkap dengan mental yang sedang jatuh karena kalah perang, menjadi salah satu pertimbangan juga, untuk menghindari bentrokan apabila langsung dibentuk sebuah tentara kebangsaan.

Meski muncul pertentangan dan tidak mendapat restu dari golongan tua, golongan muda tetap bergerak maju dengan semua gagasan yang telah ada. Tepat pada tanggal 19 Agustus 1945, para pimpinan pemuda di Jakarta menyusun sebuah rancangan dekrit pembentukan tentara Indonesia sebagai kelengkapan negara yang berdaulat, sekaligus untuk menghadapi penguasa Jepang yang masih lengkap persenjataannya.

Ternyata, tidak semua golongan tua menentang rencana yang cukup ‘brilian’ itu. Ada sejumlah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang sependapat dengan golongan muda, termasuk Abikoesno Tjokrosoejoso dan Otto Iskandardinata. Mereka membawa rancangan pembentukan tentara Indonesia yang dihasilkan dari rumusan golongan muda itu ke dalam sidang PPKI di hari yang sama.

Menurut sejarawan Pamoe Rahardjo dalam ‘Badan Keamanan Rakyat (): Cikal Bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI)’ mengatakan, usul dari Abikoesno maupun Otto Iskandardinata sempat ditolak dengan alasan dapat memancing bentrokan dengan tentara Jepang yang masih bersenjata lengkap, serta mengundang intervensi tentara Sekutu yang akan melucuti senjata tentara Jepang di Indonesia.

Alasan tersebut didasari karena pada saat itu Perang Pasifik baru saja usai setelah Jepang menyerah kepada sekutu. Tentara Jepang yang jumlahnya mencapai 344 ribu di seluruh Indonesia mentalnya sangat terpukul karena kalah perang. Dengan keadaan mental yang tidak stabil mereka diberi tugas oleh tentara sekutu untuk menjaga keamanan di Indonesia, sampai sekutu datang.

Para pimpinan RI yang mayoritas golongan tua merasa bahwa perumusan rancangan angkatan bersenjata sebagai kesalahan besar. Maka, rancangan dekrit pembentukan tentara yang sempat disetujui itu kemudian diubah menjadi maklumat pembentukan suatu badan keamanan saja. Momen inilah yang menjadi awal kelahiran Badan Keamanan Rakyat atau BKR.

Menurut catatan Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, pembentukan BKR pada 22 Agustus 1945, dan diresmikan Presiden Soekarno sehari kemudian, tidak dilakukan secara terang-terangan agar Jepang tidak mencurigai keputusan tersebut. Oleh para perumus negara Indonesia, BKR hanya disisipkan sebagai bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang telah dibentuk dua hari sebelumnya.

BPKKP sendiri sebenarnya bermula dari badan pembantu prajurit atau Badan Pembantu Pembelaan (BPP) bentukan Jepang yang sudah ada jauh sebelumnya. Wadah ini dibentuk Jepang untuk menaungi kesatuan-kesatuan prajurit yang melibatkan orang-orang lokal, termasuk PETA, Heiho, Seinendan, Keibodan, dan lain-lainnya itu

Awalnya, BKR tidak ditempatkan sebagai angkatan bersenjata reguler, melainkan hanya untuk menjaga keamanan saja. BKR juga bukan merupakan institusi yang dibebani tanggung jawab sebagai pertahanan negara. Tapi, pada perkembangannya nanti, BKR justru berkembang sendiri menjadi korps pejuang bersenjata.

Kendati golongan tua berhati-hati dalam memposisikan BKR, namun tidak bagi kaum muda. Mereka justru melihat ini adalah peluang besar untuk menggalang kekuatan militer. Maka, struktur kepengurusan BKR pun dirumuskan dengan lebih serius, dan terbentuklah BKR tingkat pusat di Jakarta. BKR digalang para pemuda yang pernah mendapatkan pelatihan militer dari Jepang maupun Belanda.

Pamoe mencatat, BKR Pusat diresmikan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk pada 29 Agustus 1945. BKR di Jakarta ini dimotori anak-anak muda pemberani macam Moefreni Moekmin, Daan Mogot, Latief Hendraningrat, Arifin Abdurrachman, Zulkifli Lubis, Kaprawi, Priyatna, Soeroto Koento, Daan Jahja, Sutaklasana, dan lainnya.

Diresmikannya BKR Pusat memantik pembentukan laskar-laskar serupa di berbagai wilayah di tanah air. Di sejumlah daerah di Jawa Barat, termasuk di Bogor, Bandung, Garut, Majalengka, Tasikmalaya, Ciamis, Lembang, Purwakarta, atau Sumedang, misalnya, BKR diprakarsai oleh Husein Sastranegara, Ibrahim Adjie, Arudji Kartawinata, Pardjaman, Amir Machmud, Umar Wirahadikusumah, dan lainnya.

BKR memang sempat mendapat pertentangan cukup keras dari golongan tua yang mengutamakan jalur diplomasi. Namun, tindakan nekat dan berani para anggota BKR yang kemudian menjamur di berbagai daerah, juga berbagai jenis laskar perjuangan, inilah yang justeru menjadi pengawal kedaulatan republik dari ancaman Sekutu maupun Belanda, juga sisa-sisa tentara Jepang yang masih ada.

Pada perjalanannya, BKR kemudian resmi dijadikan sebagai angkatan perang RI. Hal ini terjadi dimulai dengan peningkatan fungsi BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat () pada 5 Oktober 1945, atau bertepatan dengan hari ini 74 tahun lalu, kemudian berganti nama menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada 26 Januari 1946, dan akhirnya berganti menjadi TNI sejak 3 Juni 1947.

Selamat Ulang Tahun ke-74 TNI!

(A/R06/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)