Keluarga di Tengah Media Sosial yang Anti-Sosial

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Pernahkah kita sedikit waktu saja memperhatikan bagaimana di sebuah meja makan sarapan pagi, si adik usia sekolah dasar sedang asyik memainkan game di gadget-nya sambil menyantap roti keju kesukaannya. Sementara kakaknya sedang konsen mengirim dan membalas pesan di sebuah group jejaring sosial WhatsApp. Orang tuanya pun tak ketinggalan sedang menekuni dunia maya mengunggah foto selfy-nya di Instagram, lalu pindah ke lain jalur, bikin status hari itu di Line.

Sebuah frame modern yang begitu aktif bermedia sosial di dunia maya, yang justru menomorduakan aktivitas sosial keluarga di alam nyata.

Pernahkah pula kita sesekali melihat bagaimana anak-anak remaja begitu masuk bus kota atau kereta listrik langsung saja mereka buka handphone-nya. Lalu jejarinya dengan lincahnya menari ke sana ke mari memencet huruf-huruf bercuit-cuit di twitter-nya. Sambil sesekali terlihat senyum sendirian atau kadang berteriak kecil tertawa hahaha. Kaum ibu-ibu pun tak ketinggalan mengunggah foto selfi-nya saat reunian di akun Facebook-nya. Beberapa saat kemudian ada tanda jempol like dan komen dari rekannya di dunia antah berantah itu.

Inilah dunia di mana masyarakat menggantungkan komunikasi kehidupannya di sebuah dunia lain, yang belum pernah terbayangkan dekade sebelumnya.

Margaret Rouse (2015), editor sebuah media di Athena menyebutkan, banyak pengguna internet kini memang begitu kuat ‘mendedikasikan’ waktunya untuk berinteraksi dan saling berbagi status, melalui jejaring sosial gratis di media internet.

Jejaring sosial ini memungkinkan pengguna untuk membuat profil, meng-upload foto dan video, mengirim pesan dan tetap berhubungan dengan teman-teman, keluarga dan koleganya.

Demikian halnya, layanan gratis twitter yang memungkinkan anggotanya untuk menyiarkan tulisan pendek tweets. Anggota twitter dapat menyiarkan cuitan dan mengikuti tweets pengguna lain dengan menggunakan berbagai platform dan perangkat.

kini sedang menjadi bagian tak terpisahkan dari anak-anak, generasi muda bahkan orang dewasa. Sehingga kebutuhan pokok menjadi pangan, sandang, papan dan ‘colokan’. Ke mana bertamu dan berkumpul yang ditanya adalah, “Ada colokan nggak?” Untuk mengisi gadget atau notebook yang sudah mulai habis nyawanya. 

Menjadi Anti-Sosial

Menggunakan situs web media sosial kini menjadi salah satu kegiatan wajib bagi jutaan anak-anak, remaja, hingga orang tua. Situs video seperti YouTube dan berbagai blog menawarkan aneka hiburan dan komunikasi, mengekspansi mereka dalam beberapa tahun terakhir.

Karena itu, adalah penting bagi para orang tua untuk menyadari keniscayaan ini, dan bahwa tidak semua yang ada di dalam web itu adalah menjadikan lingkungan yang sehat.

Para dokter, pemerhati dan psikolog berada dalam posisi yang unik untuk mulai membantu dan menemukan formula buat keluarga memahami situs tersebut dan untuk mendorong penggunaan yang sehat. Potensi potensi masalah ejek-mengejek (cyberbullying), status galau (depresi), dan seksualitas, merupakan paparan konten yang tidak pantas untuk anak-anak dan remaja.

Memang ada penelitian yang telah menunjukkan adanya manfaat bagi anak-anak dan remaja dalam hal meningkatkan komunikasi, hubungan sosial, informasi dan bahkan kemampauan diri. Itu karena situs media sosial seperti Facebook dan MySpace menawarkan banyak kesempatan setiap hari untuk menghubungkan dengan teman-teman, teman sekelas, dan orang-orang dengan kepentingan bersama.

Sebuah survei Healthy Children oleh American Psychological Association menyebutkan, selama lima tahun terakhir, jumlah praremaja dan remaja menggunakan situs telah meningkat secara dramatis. Menurut jajak pendapat, 22% dari remaja log on ke situs media sosial favorit mereka lebih dari 10 kali sehari.

Hal itu ternyata ditunjang dengan ketersediaan sejumlah 75% remaja yang memiliki handphone sendiri, baik mereka beli sendiri, pemberian hadiah dari special one atau memang dikasih orang tuanya. Ternyata, telepon genggam itu digunakan 25%-nya untuk media sosial. Sisanya untuk telepon dan berkirim pesan singkat.

Namun, anehnya, mereka yang tadinya begitu aktif bahkan agresif dalam mengunggah status maupun memberikan komen. Ternyata begitu saling bertemu, malah tidak menjadi lebih aktif dan agresif lagi. Justru masih tetap asyik dengan media sosial yang dimilikinya itu. Sebuah ironi, media sosial yang jutsru menjadi anti-sosial bagi penggunanya.

Ajang silaturahim, tatap muka dan tegur sapa, arisan keluarga, saling berkirim makanan atau hadiah, seolah menjadi sesuatu yang hilang ditelan kesibukan.

Keluarga Online

Banyak kalangan orang tua hari ini yang seolah kehilangan akal untuk memagari aktivitas media sosial anak-anaknya. Selain itu, orang tua kini sering kekurangan pemahaman dasar bahwa kehidupan online anak-anak merupakan perpanjangan dari kehidupan offline mereka atau sebaliknya kehidupan offline sesungguhnya itu dipengaruhi oleh kegiatan online-nya.

Ada semacam kesenjangan sosial yang begitu jauh, jurang komunikasi yang menganga, dan kontradiksi-kontradiksi pola orang tua dengan anak. Anak menjadi lebih senang bermain game daripada diajak orang tua berkunjung ke tetangga. Juga lebih suring mengurung diri di kamar dengan media teknologi yang disediakan sendiri oleh orang tuanya, dengan melupakan ketersediaan mengajak ke tempat ibadah yang utama.

Arus deras gelombang media sosial, dunia internet, handphone, dan dengan segala lingkungannya memang tidak bisa dihentikan.

Maka, jangan salahkan bila beragam kiriman teks, foto, dan video yang menjurus ke arah seksualitas (pornografi) disengaja atau menyasar ke group jejaring sosial. Keingintahuan anak dan remaja pada akhirnya akan melihat konten itu, untuk kemudian ‘ketagihan’ dan menjadi racun di pemikirannya, jiwanya dan kehidupannya.

Karena itu, menjadi penting bahwa orang tua mengevaluasi situs di mana anak mereka ingin berpartisipasi untuk memastikan bahwa situs tersebut sesuai untuk usia anak. Orang tua juga harus mengevaluasi perkembangan anak melalui percakapan aktif melalui jejaring sosial keluarga, yaitu dengan membuat group keluarga, sehingga menjadi keluarga online.

Ciptakan situasi acara keluarga pada waktu weekend atau longweekend seperti tamasya, mudik ke kampung, mancing bersama, atau sejenisnya, Lalu, jangan lupa selipkan acara komunikasi bersama membicarakan penggunaan online mereka pada isu-isu spesifik yang dihadapi. Ya, dengan bahasa canda riang supaya tidak terkesan memberikan kuliah.

Anjuran bergabung dengan grup-grup positif pun layak dikemukakan orang tua, disertai uraian manfaatnya untuk masa depan anak.

Sebab, memang ada beberapa partisipasi media sosial yang dapat menawarkan remaja mengambil manfaat lebih luas ke pandangan mereka tentang diri, masyarakat, dan dunia. seperti peluang bagi keterlibatan remaja dalam aksi mengumpulkan donasi untuk amal, menangapi perkembangan peristiwa politik, grup belajar Islam, dakwah, dan komunitas pecinta alam, filantropis, dan sebagainya.

Peran Keluarga

“Memang tidak ada keluarga yang sempurna dalam hidup, tetapi hidup tak kan sempurna tanpa keluarga”, begitu salah satu slogan acara di sebuah siaran televisi.

Agaknya, itu dapat mengarah pada peran keluarga pada era online kesejagatan saat ini dan mendatang. Komen-komen orang tua di grup keluarga, paling tidak dapat memberi pelajaran akan makna menghormati, toleransi, menjaga cita rasa bahasa, dan peningkatan wacana tentang masalah-masalah pribadi dan global yang tidak serta merta begitu saja diumbar di dunia maya.

“Bahasa menunjukkan bangsa,” begitu semboyannya. Bahwa status apa yang diunggah, sebenarnya ya menunjukkan begitulah bangsa jiwanya. Kepribadiannya dan eksistensinya di dunia maya, yang menjadi gambarannya pada dunia nyata.

Di sinilah letak pentingnya peran keluarga dalam membentengi generasi anak-anak mendatang dari serangan negatif media sosial dunia maya. Penciptaan suasana religi di rumah tangga, aktivitas bersama dalam kegiatan sosial kemanusiaan, menghadiri program dakwah, dan mengunjungi kerabat, layak menjadi agenda rutin keluarga secara offline. Ini untuk mengimbangi kehidupan online, agar terjadi keseimbangan jatidiri pribadi dan jiwa sosial anak.

Sebab, pada hakikatnya anak terlahir dalam keadaan fitrah, alami, bersih. Kedua orangtuanyalah yang mempunyai peran menjadikannya tetap dalam fitrahnya itu, atau ada pembiasan ke arah pengingkaran anak nimat-nikmat ilahi.

Jangan sampai sarana media sosial yang orang tua sediakan untuk anak-anaknya, menjadi bumerang dalam pembentukan karakter Sumber Daya Manusia mendatang. Sehingga kehadiran media sosial menjadi keniscayaan yang tidak perlu terlalu dirisaukan, karena ada benteng keluarga yang dipenuhi dengan nuansa iman, ruh keagamaan dan tetap cinta pada aktivitas sosial yang manfaat. Semoga. (P4/P001)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.