Jakarta, MINA – Mantan Deputi Senior Bank Indonesia Anwar Nasution menilai pemberangkatan jemaah haji adalah salah satu penyebab melemahnya nilai tukar rupiah karena menguras devisa negara. Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Siskohat Kemenag Ramadhan Harisman menegaskan, pandangan itu tidak tepat dan berlebihan.
Menurut Ramadhan, kebutuhan valuta asing (valas) untuk operasional haji jauh lebih kecil ketimbang valas untuk impor migas dan pembayaran utang korporasi yang jatuh tempo pada periode tertentu di tahun berjalan.
“Terlalu berlebihan jika pemberangkatan jemaah haji dianggap melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (USD). Banyak faktor lain yang mempengaruhi lemahnya nilai tukar rupiah,” kata Ramadhan, seperti dikutip dari laman Kemenag, Selasa (11/9).
Bicara hitungan angka, ia memaparkan, total biaya operasional penyelenggaraan ibadah haji reguler tahun ini sebesar Rp 14,1 triliun berupa mata uang rupiah dan riyal (SAR). Dari total angka tersebut, pembiayaan dalam mata uang Saudi sebesar SAR 2,1 miliar atau USD 560 juta.
Baca Juga: Kunjungi Rasil, Radio Nurul Iman Yaman Bahas Pengelolaan Radio
“Itu pun tidak digelontorkan langsung, melainkan secara bertahap dalam 4-5 bulan masa operasional haji. Sedangkan sisanya dibayar dalam bentuk rupiah, termasuk ongkos penerbangan haji,” katanya.
Selain itu, pembayaran setoran awal dan setoran pelunasan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) oleh jemaah juga menggunakan rupiah. “Dengan demikian, pada saat pembayarannya tidak berpengaruh terhadap kebutuhan SAR maupun USD dalam negeri,” ujarnya.
Tak bisa dipungkiri, selama musim haji memang terjadi perpindahan devisa ke Arab Saudi. Semua negara mengalami hal sama karena pelaksanaan ibadah haji dan umrah hanya di Tanah Suci.
Namun, pemerintah berupaya mengimbanginya dengan distribusi ekonomi kepada warga Indonesia yang bermukim di Saudi. Setidaknya membantu sebagian dari mereka yang pendapatannya amat bergantung dari pelaksanaan haji dan umrah.
“Di antara mukimin itu ada yang bekerja untuk pebisnis Saudi yang hidup dari siklus haji dan umrah. Ada yang kita rekrut jadi pendukung petugas haji, ada juga yang berjualan ke jemaah. Mereka jugalah yang memenuhi kebutuhan konsumsi jemaah haji khusus. Pendapatan mereka kembali ke kampung halaman sebagai devisa,” ucapnya.
Di sisi lain, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah mengupayakan kebijakan yang memihak ekonomi dalam negeri. Misalnya, perangkat jemaah haji seperti seragam dan kain ihram yang disediakan oleh bank penerima setoran harus berasal dari produk usaha kecil dan menengah (UKM).
“Katering jemaah selama di Tanah Suci wajib menggunakan menu Nusantara dengan bumbu masak dari Indonesia. Setiap penyedia katering juga diharuskan merekrut juru masak berpaspor Indonesia,” jelasnya.
Gerai makanan Indonesia seperti warung padang dan warteg memang masih minim di kota tujuan haji di Saudi. Tapi, kata Ramadhan, bukan berarti hal itu menjadi penyebab melemahnya nilai tukar rupiah sebagaimana disebut Anwar Nasution.
Baca Juga: Sertifikasi Halal untuk Lindungi UMK dari Persaingan dengan Produk Luar
“Restoran Turki menjamur di Mekkah dan Madinah, tapi buktinya tak bisa juga membantu mengurangi depresiasi mata uang lira Turki terhadap dollar AS. Bahkan, lira mengalami depresiasi yang lebih besar daripada rupiah,” Ramadhan memberi perbandingan.
Ramadhan memastikan bahwa kebijakan pemerintah terkait haji didasarkan pada kepentingan nasional. Secara spesifik kebijakan itu memihak umat Islam sebagai komponen terbesar bangsa Indonesia.
Sejak lima tahun silam, kebijakan penyelenggaraan haji diselaraskan dengan penguatan ekonomi syariah. Setoran biaya haji harus melalui bank syariah dan seluruh dana haji sudah dipindahkan dari bank konvensional ke bank syariah.
“Pengelolaan keuangan haji juga diwajibkan menggunakan platform syariah sebagaimana amanat UU 34 tahun 2014,” katanya. (R/R06/B05)
Baca Juga: Menko Budi Gunawan: Pemain Judol di Indonesia 8,8 Juta Orang, Mayoritas Ekonomi Bawah
Mi’raj News Agency (MINA)