Oleh karena itu Allah menyebut hamba-Nya dengan sebutan mukmin karena hanya orang mukmin saja yang dapat memelihara amanat Allah, menunaikan serta memegangnya dengan erat, sebagaimana difirmankan oleh Allah, “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Qs. 23:8)
Dalam konteks perilaku kehidupan sehari-hari amanah memilki arti tumbuhnya sikap untuk memelihara dan menjaga apa saja yang menjadi perjanjian atau tanggungan manusia berupa benda nyata atau yang bersifat maknawi. Hal ini seperti yang ditunjukkan di dalam sabda Nabi SAW, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanya tentang kepemimpinannya.” Maka amanah memiliki makna yang sangat luas yang mencakup seluruh hubungan muamalah dan hak-hak pihak lain yang harus ditunaikan. Maka secara garis besar amanah terbagi menjadi tiga bagian antara lain sebagai berikut.
Pertama, amanah dalam menunaikan hak-hak Allah Azza wa Jalla. Yaitu dengan menauhidkan-Nya, mengesakan-Nya di dalam beribadah, mengerjakan apa yang Dia perintahkan dan menjauhi apa yang Dia larang, semata-mata untuk mengharapkan keridhaan Allah. Ini merupakan amanah yang terbesar, yang setiap hamba wajib melaksanakannya pertama kali sebelum amanah-amanah yang lain. Dan darinya akan muncul seluruh bentuk amanah yang lain.
Kedua, amanah dalam nikmat yang diberikan Allah. Seperti nikmat pendengaran, penglihatan, pemeliharaan, harta dan anak-anak. Ketiga, juga amanah badan dan segala isinya, kepala dan kemampuan otaknya untuk berfikir. Maka setiap mukallaf wajib menggunakan nikmat-nikmat tersebut sesuai fungsinya yang Allah ciptakan dan dalam rangka menunaikan perintah-perintah Allah.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Apabila anggota badan, kesehatan, harta dan seluruh nikmat yang kita terima digunakan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka berarti kita telah merealisasikan amanah serta menunaikan sesuai tuntutannya. Dan sebagai balasannya maka Allah akan menjaga dan memelihara orang yang berbuat demikian dan juga menjaga nikmat tersebut. Nabi SAW bersabda, “Jagalah Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah Allah maka dia akan kau dapati dihadapanmu.”
Seorang salaf berkata, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah maka dia telah menjaga dirinya sendiri, dan barangsiapa menyia-nyiakan ketakwaan kepada-Nya maka berarti dia menyia-nyiakan dirinya sendiri, sedangkan Allah tidak pernah membutuhkannya.”
Oleh karenanya siapa saja yang menunaikan amanah dalam menjaga batasan-batasan Allah serta memelihara hak-hak Nya, baik yang berkaitan dengan dirinya atau apa yang diberikan oleh Allah berupa nikmat, harta dan sebagainya maka Allah akan menjaganya untuk kebaikan agama dan dunianya. Sebab balasan itu sesuai dengan amal usaha seseorang sebagaimana firman Allah SWT, “Hai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).” (Qs. 2: 40).
Dalam ayat lain, Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”(Qs. 47:7).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Amanah dalam Menunaikan Hak Sesama Manusia
AMANAH-2.jpg">AMANAH-2.jpg" alt="AMANAH" width="446" height="302" />
Seperti titipan, harta, rahasia, aib dan kehormatan dan lain sebagainya. Al Qur’an telah menyebutkan tentang keutamaan sifat amanah dalam banyak ayat, yang sekaligus menganjurkan kepada kita untuk memelihara dan menjaganya. Diantaranya adalah firman Allah, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” Juga firman Allah yang menyebutkan sifat-sifat orang mukmin yang berhak mendapatkan surga Firdaus, “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Qs. 23:8).
Berkaitan dengan amanah ada sebuah ayat yang menceritakan tentang tawaran Allah kepada langit, bumi dan gunung untuk memikul amanah, namun mereka semua enggan karena merasa tidak mampu, lalu amanah tersebut dipikul oleh manusia.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Qs. 33:72).
Dalam ayat ini terkandung penjelasan tentang beratnya amanah dan beban yang harus ditanggung oleh manusia, dimana langit, bumi dan gunung sebagai makhluk Allah yang perkasa dan kuat merasa lemah dan enggan untuk memikul amanah itu, takut dan khawatir jikalau tidak sanggup menunaikannya. Akan tetapi manusia menawarkan diri untuk memikul amanah tersebut,dan dengan itu manusia berarti telah berlaku zhalim terhadap diri sendiri, sekaligus telah bersikap bodoh terhadap berbagai konsekwensi yang begitu banyak dari amanah itu, berupa kerja keras sehingga tidak menjadikannya terjerumus ke dalam siksa.
Oleh karenanya siapa saja yang menerima amanah ini, menjaganya serta menunaikan hak-haknya maka dia mendapatkan kemenangan dan pahala yang besar. Dan barang siapa yang menyia-nyiakannya, menelantarkan hak-haknya maka dia akan merugi dan mendapatkan siksa. Maka dalam lanjutan ayat Allah menjelaskan tiga golongan manusia dalam menunaikan amanah tersebut, yaitu munafik, musyrik dan mukmin.
Allah SWT berfirman, “Sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mu’min laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. 33: 73).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Orang musyrik menyia-nyiakan amanah secara lahir dan batin, orang munafik menyia-nyiakan amanah secara batin meskipun secara lahirnya terlihat menunaikan amanah sedangkan orang mukmin menjaga amanah Allah secara lahir dan batin.
Ada satu hal yang perlu diperhatikan tentang kengganan langit, bumi dan gunung, yang berbeda dengan keengganan iblis ketika diperintahkan sujud terhada Adam as. Perbedaanya adalah bahwa keengganan langit, bumi dan gunung adalah timbul dari kelemahan dan ketidakmampuan sedangkan keengganan iblis karena menolak dan takabbur (sombong). Hal yang kedua adalah bahwa yang disampaikan kepada langit, bumi dan gunung adalah tawaran yang disitu ada pilihan sedangkan yang disampaikan kepada iblis adalah perintah wajib yang harus, tidak ada pilihan lain selain patuh.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang