Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kerusakan Ekosistem karena Ulah Manusia

Redaksi Editor : Arif R - 45 menit yang lalu

45 menit yang lalu

5 Views

Banjir mengepung Kabupaten Aceh Utara, November 2025. (FOTO: FOR MINA)

Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur

 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (الرّوم [٣٠]: ٤١)

Baca Juga: Mengelola Kesedihan, Hikmah dan Solusi Bagi yang Berduka

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum [30]: 41)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan ayat di atas, bahwa kaum terdahulu (sebelum Nabi Muhammad ﷺ) pernah melakukan kemunkaran dan kemaksiatan yang menyebabkan keseimbangan alam dan tatanan kehidupan masyarakat menjadi rusak. Kemudian mereka merasakan bencana yang melanda dan musibah berupa wabah penyakit yang menyebar luas di negerinya.

Sementara Imam Asy-Syaukani Rahimahullah menafsirkan, bahwa kerusakan alam dan tatanan kehidupan masyarakat disebabkan karena manusia memperturutkan hawa nafsunya, melakukan kedzaliman, kemunkaran, merusak alam dan tatanan sosial kehidupan. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan musibah dan bencana agar mereka sadar atas kesalahannya dan kembali ke jalan yang diridhai-Nya.

Ayat di atas menjadi peringatan bagi manusia tentang tanggung jawab menjaga dan merawat lingkungan dan alam sekitarnya. Perbuatan merusak lingkungan, pencemaran lingkungan dan ekspolitasi sumber daya alam berlebihan dapat menyebabkan bencana yang akan merugikan manusia dan makhluk lain yang hidup di muka bumi ini.

Baca Juga: Inilah Dosa Kolektif, Diam Saat Alam Dirusak

Sumber daya alam yang beraneka ragam itu sebenarnya disediakan bagi manusia untuk beribadah dan menjalankan syariat Allah Ta’ala di muka bumi. Namun, jika manusia ingkar dan bermaksiat kepada Allah Ta’ala, maka nikmat tersebut akan berubah menjadi laknat, anugerah menjadi musibah dan karunia menjadi bencana.

Sesungguhnya perbuatan buruk manusia lah yang menyebabkan terjadinya bencana, sebagaimana yang telah menimpa umat-umat terdahulu. Jika manusia saat ini memiliki karakter sama dengan umat terdahulu yang melakukan kemaksiatan dan merusak alam, maka mereka juga akan merasakan musibah dan bencana, sebagaimana telah dirasakan umat-umat sebelum mereka.

Ekosistem sebagai Amanah yang Harus Dijaga

Ekosistem adalah kesatuan antara makhluk hidup dengan lingkungannya yang saling berinteraksi sehingga membentuk sistem yang seimbang. Gunung-gunung menjadi penyangga alam, hutan menjadi paru-paru bumi, menyediakan oksigen bagi manusia, dan sungai-sungai mengalirkan rezeki yang tak pernah berhenti, dan lainnya. Namun, ketika manusia mulai memandang ekosistem hanya sebagai benda mati yang siap dieksploitasi, saat itulah bencana terjadi.

Baca Juga: Fatwa MUI: Pajak Sembako dan Rumah Tinggal Itu Haram

Musibah banjir bandang dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat beberapa hari ini menjadi bukti nyata bahwa alam sedang mengirimkan pesan peringatan kepada manusia. Itu semua bukan sekadar fenomena alam biasa, tetapi sebuah tanda bahwa keseimbangan ekosistem yang menopang kehidupan manusia telah terganggu.

Islam memandang bahwa alam dengan berbagai sumber daya di dalamnya sebagai amanah yang Allah Ta’ala titipkan kepada manusia. Amanah ini bersifat fisik dan spiritual. Allah Ta’ala menyebut manusia sebagai khalifah fil ardh (pemakmur bumi). Status ini mengisyaratkan, manusia hendaknya merawat alam sesuai dengan syariat-Nya. Ketika amanah ini dilalaikan, maka dampaknya akan kembali kepada manusia sendiri.

Ketika manusia mengeksploitasi alam secara berlebihan, hutan-hutan yang lebat menjadi gundul, sungai-sungai kehilangan pelindungnya, lereng-lereng gunung terkelupas akibat penebangan dan aktivitas industri, maka saat itulah keseimbangan alam runtuh.

Tanah yang dulu mampu mengikat air kini menjadi rapuh, aliran sungai berubah liar, dan curah hujan yang seharusnya membawa berkah justru berubah menjadi bencana. Pada akhirnya, alam yang tak lagi mampu menjalankan fungsinya. Semua itu terjadi bukan karena alam berubah tabiat, tetapi karena manusia tak lagi taat pada syariat.

Baca Juga: Kezaliman Ekologis: Ketika Keputusan Sesaat Menghancurkan Masa Depan Anak Cucu

Islam mengajarkan konsep keseimbangan (mīzān). Selama mīzān dijaga, bumi akan menjadi tempat yang aman dan subur bagi manusia. Namun ketika manusia melampaui batas dan mengabaikan risiko ekologis, maka mīzān itu terganggu. Bencana menjadi konsekuensi dari tindakan yang mengabaikan keseimbangan alam.

Rasulullah ﷺ memberikan teladan yang sangat indah dalam menjaga lingkungan. Beliau menganjurkan menanam pohon sebagai sedekah jariyah. Bahkan dalam kondisi perang, para sahabat dilarang menebang pohon sembarangan, meracuni air, atau menghabisi tanaman. Itu semua menunjukkan betapa Islam sangat memuliakan alam.

Para ulama menegaskan bahwa kerusakan lingkungan termasuk bagian dari fasād. Ketika hutan dibabat tanpa kendali, ketika tambang dibuka tanpa perhitungan, dan ketika izin industri diberikan tanpa memperhatikan resiko ekologi, maka itu bukan hanya kesalahan administrasi, tetapi penyimpangan dari amanah Ilahi.

 

Baca Juga: SDA Adalah Amanah Allah, Haram Dikelola Secara Zalim dan Eksplaitatif

Tragedi Ekologis sebagai Peringatan

Tragedi ekologis di beberapa wilayah di Sumatera mengingatkan kita bahwa hubungan manusia dengan alam harus diperhatikan. Kesadaran, niat baik, dan perubahan perilaku sangat diperlukan dalam memelihara alam dan kehidupan.

Musibah adalah peringatan yang mengajak manusia untuk kembali kepada nilai-nilai ketakwaan dan tanggung jawab menjaga lingkungan. Musibah hendaknya menjadi momen untuk memperbaiki diri, menata ulang hubungan dengan Allah Ta’ala, manusia, dan ekosistem sebagai tempat hidupnya.

Islam tidak menolak pembangunan. Islam tidak menolak pemanfaatan sumber daya alam. Namun Islam menolak pembangunan yang mengorbankan keselamatan manusia dan merusak keseimbangan alam. Kaidah fikih menyebutkan:

Baca Juga: Sikap Orang Beriman Menghadapi Bencana Alam

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Mencegah kerusakan lebih utama daripada mengejar kemaslahatan.” (Al-Muwafaqat fi Ushulil Ahkam, karya Imam As-Syathibi)

Jika sebagian pihak menikmati keuntungan triliunan rupiah dari hasil eksploitasi hutan dan sumber daya alam di dalamnya, tetapi masyarakat sekitar menanggung bencana, maka itu pertanda kuat bahwa ada yang tidak seimbang dalam pengambilan keputusan dan kebijakan.

Tujuan kita bukan mencari siapa yang salah, tetapi menemukan jalan agar kita semua menjadi terarah, sesuai aturan, selaras dengan tujuan bersama. Perbaikan selalu dimulai dari kesadaran. Musibah yang terjadi bukan sekadar peringatan, tetapi ajakan untuk kembali kepada nilai-nilai amanah, keadilan, dan tanggung jawab bersama.

Baca Juga: Mahalnya Adab: Ketika Drama Tumbler Menghancurkan Karier

Musibah ekologis seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat. Ketiganya harus berjalan bersama, bukan saling menyalahkan. Tokoh agama memberi panduan moral, pemerintah membuat aturan yang adil, dan masyarakat menjaga perilaku sehari-hari. Inilah cara Islam dalam memberi solusi yang komprehensif.

Solusi Islam Menjaga Kelestarian Alam

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ ۝٧٧ (القصص [٢٨]: ٧٧)

Baca Juga: Gelap Mengajarkan Kita Tentang Cahaya

“Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qhashash [28]: 77)

Ayat di atas mengajarkan keseimbangan hidup, mencari kebaikan akhirat dan kebutuhan duniawi. Menjaga ekosistem bukan hanya langkah preventif terhadap bencana, tetapi juga merupakan bentuk ibadah dan pengamalan nilai-nilai Islam.

Manusia hendaknya bisa hidup selaras dengan alam dan memperhatikan masa depan kehidupan generasi mendatang. Hidup selaras dengan alam berarti tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan, tidak merusak sumber daya secara sembarangan, dan selalu mengutamakan keseimbangan, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta.

Islam menawarkan solusi yang diawali dengan perubahan spiritual. Segala hal dimulai dari kesadaran dan keyakinan. Bila manusia menyadari bahwa alam ini adalah amana dan setiap kebijakan pasti akan dimintai pertanggungjawaban, maka ia akan berhati-hati dalam mengambil keputusan. Tauhid adalah fondasi utama dalam ilmu dan etika ekologis.

Baca Juga: Menikah Itu Saling Menguatkan, Bukan Saling Mengalahkan

Prinsip ihsan juga sangat penting diperhatikan. Ihsan adalah berbuat sebaik-baiknya karena perbuatannya disaksikan Allah Ta’ala. Jika prinsip ini diterapkan dalam setiap pengambilan kebijakan: pemberian izin tambang, pembangunan infrastruktur, dan pengelolaan industri dan lahan, maka kerusakan niscaya tidak akan terjadi.

Islam juga mengenal konsep himā, yaitu kawasan konservasi yang dilindungi dari eksploitasi. Rasulullah ﷺ menetapkan beberapa himā untuk melindungi hutan, mata air, dan padang rumput. Konsep ini dapat diterapkan kembali dalam bentuk kawasan hutan lindung, taman nasional, dan zona hijau yang tidak boleh ada bangunan infrastruktur.

Pemerintah memiliki peran strategis sebagai pelayan umat. Kebijakan yang menyangkut hutan, mineral, dan sumber daya alam harus memprioritaskan keselamatan masyarakat. Keberhasilan sebuah pemerintahan tidak hanya dilihat dari angka ekonomi, tetapi dari seberapa besar mereka mampu menjaga alam dan keberlanjutan kehidupan.

Pendidikan lingkungan berbasis nilai-nilai agama perlu diperluas. Tempat ibadah dan sekolah dapat menjadi pusat pembinaan akhlak dalam menjaga lingkungan. Di tempat-tempat itulah kesadaran spiritual dapat ditanamkan sejak dini, bahwa merawat bumi adalah bagian dari ibadah dan bentuk ketaatan kepada Allah Yang Mahaesa.

Baca Juga: Selingkuh Itu Bukan Khilaf, Tapi Sengaja Dipilih

Solusi terbaik adalah kolaborasi. Para akademisi membawa ilmu pengetahuan, tokoh agama membawa hikmah, pemerintah membawa kebijakan, dan masyarakat membawa kesadaran. Jika semuanya bersatu, kerusakan alam dapat dihentikan dan keseimbangan dapat dipulihkan.

Musibah dan bencana menyadarkan kita bahwa ekosistem bukan musuh, melainkan guru yang sedang berbicara. Ia berbicara melalui air, lumpur, dan tanah yang bergerak. Ia mengajak manusia kembali kepada keseimbangan, kepada amanah, dan kepada nilai-nilai ketakwaan. Menjaga bumi berarti menjaga kehidupan.

والله أعلمُ بالـصـواب

Rekomendasi untuk Anda