Ketika PKI Menorehkan Luka Hanya dalam “Satu Malam”

Oleh: Rendy Setiawan, Wartawan MINA

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah atau familiar didengar masyarakat dengan istilah “Jasmerah”. Itulah kata mutiara atau pesan emas yang dulu disampaikan oleh Bung Karno dalam pidato terakhirnya sebagai presiden pertama Indonesia pada hari ulang tahun (HUT) Republik Indonesia tahun 1966.

Pesan yang disampaikan Bung Karno sejak 52 tahun lalu itu menjadi sangat penting di zaman sekarang. Sebabnya tak lain adalah karena dalam beberapa tahun terakhir muncul upaya membangkitkan kembali ajaran komunis di tanah air. Meski tak seramai tahun kemarin, namun mengingatkan sejarah kejam yang ditorehkan tetap harus disampaikan.

Untuk menorehkan luka yang begitu dalam di tubuh NKRI, PKI hanya membutuhkan waktu saja. Tengah malam tanggal 30 September 1965 itulah PKI berhasil menggasak enam perwira tinggi pejabat teras Angkatan Darat (AD) Republik Indonesia sekaligus. Waktu yang terbilang singkat namun lukanya berbekas hingga bertahun-tahun lamanya.

Satuan-satuan tentara yang berhasil dipengaruhi komunis, beraksi. Tanpa ampun mereka membunuh dan membuang mayat enam jenderal beserta sejumlah korbannya di sumur Lubang Buaya, sumur yang berdiameter kecil nan dalam. Dalam tragedi berdarah 30 September itu, yang paling dirugikan adalah TNI, khususnya Angkatan Darat (AD).

Sudah menjadi rahasia umum bahwa target utamanya adalah sejumlah perwira tinggi TNI AD, utamanya Jenderal A.H. Nasution (yang berhasil lolos dari penyergapan), Jend. Ahmad Yani, Letjen. Suprapto, Letjen. M.T. Haryono, Letjen. S. Parman, Mayjen. Pandjaitan, Mayjen. Sutoyo Siswomiharjo.

Salah satu sasaran utama, Jenderal A.H. Nasution, Menko Hankam/KASAB, lolos dari aksi pembunuhan itu. Lolosnya jenderal Islami yang sangat anti komunis ini bersama Pangkostrad kala itu, Mayjen Soeharto kemudian menjadi titik balik hancurnya Gerakan 30 September (G 30-S/PKI) itu.

Beberapa bulan kemudian Soeharto membubarkan PKI karena bertindak sebagai aktor utama di balik pengambilalihan kekuasaan. Tepatnya tanggal 12 Maret 1966, sehari setelah Soeharto menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Bung Karno untuk normalisasi.

Para jenderal yang tewas bersama para perwira lainnya yang juga jadi korban kebiadaban komunis, kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi oleh Pemerintah Indonesia. Pembunuhan tokoh dan lawan-lawan politik merupakan bentuk aksi komunis seperti yang mereka lakukan juga di Uni Soviet dan China.

Apa yang terjadi di dua negara besar itupun dilakukan PKI di Indonesia dengan membunuh jenderal-jenderal pejabat tinggi AD yang berada di bawah pimpinan KSAD Jenderal Achmad Yani. Achmad Yani merupakan salah satu halangan utama PKI untuk berkuasa.

Demikian juga sejak sebelum insiden berdarah, PKI menyasar kekuatan-kekuatan Islam seperti pimpinan-pimpinan Pondok Pesantren di Jawa Timur, Gerakan Pemuda Anshor, Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sehingga banyak yang jatuh jadi korban keganasan komunis atau diprovokasi agar dibubarkan.

Jangan lupakan juga bahwa PKI pun memiliki andil besar dalam pembubaran Partai Islam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) melalui tangan Bung Karno tahun 1960.

Pada 13 September 1960, PP Masyumi menyatakan bahwa Partai Masyumi dibubarkan. Pernyataan itu dilakukan kurang dari sebulan sejak Keppres Nomor 200/1960 dikeluarkan.

Masyumi adalah partai peraih suara terbanyak bersama PNI pada pemilihan umum tahun 1955. Masyumi yang dipimpin Mohammad Natsir adalah partai yang tegas, keras terhadap komunis, tak mau bekerja sama dengan komunis, tak mau sama-sama duduk dalam kabinet dengan komunis.

Kata Mereka tentang PKI

Begitu kelamnya sejarah yang diukir oleh PKI di NKRI ini, maka tak heran jika bekas pucuk pimpinan TNI, Gatot Nurmantyo dengan tegas menyatakan untuk memutar ulang film drama dokumenter tentang kejahatan PKI garapan Arifin C. Noer dan memerintahkan seluruh prajuritnya untuk menonton film ini.

Seorang wartawan senior Indonesia, Ismet Rauf juga terus mengingatkan kejahatan ini. Ia berpendapat bahwa aksi komunis perlu terus dipaparkan, karena makin marak usaha-usaha pihak-pihak tertentu di dalam maupun di luar negeri, yang memisahkan PKI dari tragedi berdarah itu. Seminar, buku, artikel di media massa semacam itu juga marak untuk menghapus sejarah kelam mereka.

“Salah satu upaya PKI membersihkan wajah mereka adalah dengan melemparkan kejahatannya kepada militer. Jadi hati-hati ketika membaca dan menulis tentang PKI ini,” kata Ismet mengingatkan penulis.

Menurut Ismet, pentingnya selalu aksi-aksi berdarah komunis ini dipaparkan adalah juga karena makin kurangnya minat generasi muda umumnya pada sejarah (a historis), sehingga dikhawatirkan terpengaruh oleh aksi-aksi yang membenarkan kejahatan komunis itu.

“Lagipula, bangsa kita adalah bangsa yang pelupa dengan sejarah. Kalau dulu selalu disebut Gerakan 30 September-Gestapu/PKI, kini makin banyak yang menulis tanpa sebutan PKI lagi,” kata Ismet Rauf yang sekarang aktif menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency).

Sastrawan Taufik Ismail yang juga aktif dalam Angkatan 66, mengemukakan bahwa ideologi komunis pertama kali dikembangkan oleh dua sosok pemuda, dia adalah Karl Marx (28) dan Frederick Angels (30) dalam buku Manifesto Komunisme terbitan tahun 1848.

Menurut Taufik, dari sini kemudian bermunculan tokoh-tokoh seperti Vladimir Lenin, Joseph Stalin, Mao Tse Tung yang membanjiri jagat raya ini dengan darah.

Tak heran bila saat ini mereka secara terang-terangan menunjukkan identitas mereka kembali, mengingat sejarah yang mereka tancapkan di bumi Pertiwi ini begitu dalam dan panjang. Tidak sedikit pula pionir-pionir mereka hari ini menjabat wakil-wakil rakyat di DPR RI ataupun beberapa DPRD tingkat I dan II di berbagai provinsi, kota/ kabupaten.

Ia menyatakan, ideologi PKI ini hakikatnya ideologi yang haus darah, yang tahun 1926, 1948, dan 1965 telah mencoba merebut kekuasaan dan akhirnya selalu gagal, maka sejak tahun 1966 melalui Tap MPRS No 25, partai ini secara resmi dilarang di Indonesia.

Ideologi ini, diam-diam bergerak terus atas dasar dendam. Padahal, di seluruh dunia ideologi ini sudah gagal total. Tercatat, selama 74 tahun melakukan aksi kebiadan di berbagai wilayah seluruh dunia, mayoritas mengalami kegagalan.

Memusuhi Umat Islam

Selama ini komunisme selalu memusuhi umat Islam. Banyak faktor pendorong akan adanya fakta itu. Dalam sejarah yang belum sampai satu abad, komunisme telah terlibat dalam pertentangan tak kunjung selesai dengan  pemerintahan negara, bangsa-bangsa, dan kelompok-kelompok muslim di seluruh dunia.

Pada peristiwa Madiun 1948 misalnya, kaum muslimin Indonesia berdiri berhadapan dengan PKI karena dua alasan. Pertama, karena PKI di bawah pimpinan Muso berusaha menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia yang didirikan oleh bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Kedua, banyak pemuka agama Islam dan ulama yang dibunuh oleh PKI, seperti kalangan pengasuh Pesantren Takeran yang hanya terletak beberapa kilometer di luar kota Madiun sendiri. Kiai Mursyid dan sesama kiai pesantren tersebut hingga saat ini belum diketahui di mana dikuburkan.

Demikin juga Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) yang menjadi gerakan underbow-nya PKI, selalu berhadap-hadapan dengan organisasi-organisasi pelajar muslim, salah satunya PII.

Seperti yang diungkapkan oleh Jenderal (Purn) Kivlan Zein yang ketika tragedi 65 itu terjadi, dia menjadi salah satu anggota PII yang mengaku bahwa IPPI adalah gerakan underbow yang mendukung PKI, bahkan beberapa kali terlibat bentrok dengan PII, hingga menjadikan Kivlan Zein salah satu target buruan PKI pada tahun 1965.

Selain itu, secara ideologis, komunisme juga tidak mungkin dipertemukan dengan Islam. Komunisme adalah doktrin politik yang dilandaskan pada filsafat materialisme. Sedangkan Islam betapa pun adalah sebuah agama, sekalipun dalam urusan keduniaan, masih harus mendasarkan dirinya pada spiritualisme dan kepercayaan.

Apalagi komunisme adalah pengembangan ekstrem dari ideologi Karl Marx yang justru menganggap agama sebagai candu yang akan melupakan rakyat dari perjuangan strukturalnya untuk merebut alat-alat produksi dari tangan kaum kapitalis.

Demikian pula dari skema penataan komunisme atas masyarakat, Islam merupakan agama yang harus diperlakukan sebagai super struktur yang dibasmi, karena merupakan bagian dari jaringan kekuasaan reaksioner yang menunjang kapitalisme, walaupun dalam dirinya ia mengandung unsur-unsur antikapitalisme.

Taufik Ismail mengutip pendapat Chang dan Halliday (2006), Courtois (2000), Nihan (1991), Ratanachaya (1996), dan Rummel (1993), yang memaparkan fakta bahwa secara statistik matematis korban kekejaman ideologi komunis sudah di luar perikemanusiaan dan begitu biadab.

Sepanjang 1917-1991 komunisme telah membantai 120 juta manusia, yang jika dirata-ratakan berarti tidak kurang dari 1.621.621 orang pertahun, dan berarti 4.504 sehari, 3 orang per menit, yang mereka lakukan selama 74 tahun di 75 negara. Dari aksi itu, 28 di antaranya berbuah pada berdirinya negara komunis.

Dalam buku Katastrofi Mendunia, Marxisma, Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba yang ditulis Taufiq Ismail menyebutkan, setidaknya ada 100 juta orang lebih dibantai, termasuk di Indonesia oleh rezim Komunis dan orang-orang Partai Komunis di dunia.

Ideologi komunis pada intinya anti hak asasi manusia, anti demokrasi, dan anti Tuhan. Sebab itu, menjadi ironi apabila masih ada orang dan kelompok masyarakat yang masih menginginkan paham komunis ini kembali berkembang di Indonesia. (A/R06/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rendi Setiawan

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.