Ketua KNIU: Lebih 700 Bahasa di Indonesia, Baru 37 yang Tercatat

Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), Itje Chodidjah.(Foto: Humas BRIN)

Jakarta, MINA – Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), Itje Chodidjah mengatakan, saat ini keanekaragaman bahasa di dunia semakin terancam, bahkan, dia menyebut dalam 40 hari, satu bahasa dinyatakan punah.

Hal tersebut disampaikan saat menjadi pembicara kunci pada hari kedua penyelenggaraan Konferensi Internasional Preservasi Bahasa dan Sastra (The 1st International Conference on Language and Literature Preservation) di Auditorium Utama Sasana Widya Sarwono, BRIN Kawasan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (22/2).

Itje menyampaikan dalam keterangan resmi BRIN, berdasarkan World Atlas of Language, ada 8.324 bahasa yang diucapkan atau ditandatangani, didokumentasikan oleh pemerintah, lembaga publik, dan komunitas akademik. Namun, saat ini hanya sekitar 7.000 bahasa yang masih digunakan.

World Atlas of Language adalah sebuah aplikasi daring interaktif dan dinamis yang mendokumentasikan berbagai aspek dan fitur status bahasa di berbagai negara di seluruh dunia.

Lebih jauh, Itje menjelaskan dari 700 lebih bahasa yang terdapat di berbagai daerah di Indonesia, namun baru 37 bahasa yang tercatat dalam World Atlas of Language. “Ini menjadi tantangan bagi seluruh pegiat bahasa untuk meng-update data tersebut,” katanya.

Baca Juga:  Jamaah Haji Indonesia Mulai Berangkat Ahad 12 Mei

Maka dari itu, Itje menekankan agar penggunaan Bahasa Ibu harus dimulai dari ranah yang paling kecil yaitu keluarga, komunitas, dan masyarakat.

Menurutnya, dalam pelestarian bahasa ibu, hendaknya janganlah hanya menjadi mata pelajaran muatan lokal saja. Sehingga nantinya para siswa hanya sekadar mencari nilai.

“Kami mendorong BRIN, agar kegiatan konferensi seperti ini dapat dijadikan sebagai sarana kolaborasi bagi para periset untuk mengembangkan bahasa ibu,” tukasnya.

Dijelaskan Itje, sejauh ini peran UNESCO dalam upaya pelestarian Bahasa Ibu dilakukan dalam bentuk penetapan, peringatan, dan imbauan. Pada saat General Conference (Sidang Umum) tanggal 17 November 1999, UNESCO mendeklarasikan tanggal 21 Februari menjadi Hari Bahasa Ibu Internasional.

Hal ini sebagai penghormatan kepada gerakan bahasa yang dilakukan oleh orang-orang Bangladesh atau Pakistan Timur saat itu. Tujuannya untuk menetapkan hak Bahasa Ibu Bangla sebagai bahasa negara untuk melindungi etnis, entitas diri, dan perbedaan budaya.

Baca Juga:  Kematian DBD Hampir 3 Kali Lipat, Kemenkes Imbau Edukasi 3M

UNESCO mengakui bahwa bahasa dan multibahasa dapat memajukan inklusi dan tujuan pembangunan keberlanjutan (SDGs), berfokus untuk tidak meninggalkan siapapun (no one left behind).

Hari Bahasa Ibu adalah dari inisiatif lebih luas untuk mempromosikan melestarikan dan perlindungan semua bahasa yang digunakan oleh orang-orang di dunia. UNESCO percaya akan pentingnya keanekaragaman budaya dan bahasa untuk masyarakat yang berkelanjutan.

Dalam mandatnya untuk perdamaian, perbedaan budaya dan bahasa yang memupuk toleransi dan rasa hormat terhadap orang lain. UNESCO senantiasa menghimbau kepada negara anggotanya agar terus melestarikan Bahasa Ibu milik masing-masing negara.

“Salah satunya dengan menyarankan penggunaan Bahasa Ibu pada tahun-tahun awal sekolah, yang digabungkan dengan bahasa pengantar resmi. Pendekatan ini dinamakan Pendidikan Multibahasa,” imbuh Itje.

Baca Juga:  Hotel di Madinah Siap Layani Jamaah Haji Indonesia

Penyelenggaraan Konferensi Internasional Preservasi Bahasa dan Sastra yang digelar oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra, merupakan acara yang sangat spesial. Hal itu lantaran kegiatan ini merupakan momen pertama kalinya di Indonesia menyelenggarakan konferensi internasional untuk pelestarian bahasa dan sastra.

Kegiatan ini melibatkan 400 peserta dari kalangan dosen, guru, mahasiswa, peneliti, sampai dengan pegiat bahasa dan sastra. “Tentunya ini merupakan upaya besar yang diberikan oleh BRIN untuk memperingati pelestarian bahasa ibu,” ungkap Itje lagi.

Oleh karena itu, pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan konservasi dan revitalisasi, hal ini merupakan salah satu upaya untuk perlindungan terhadap bahasa dan sastra daerah agar terhindar dari kepunahan.

“Pengetahuan tentang bahasa adalah pintu menuju kebijaksanaan, jadi mari kita bersama tak kenal lelah untuk terus belajar dan terus melestarikan Bahasa Ibu kita, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang,” jelas Itje, menutup paparannya.(R/R1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Ismet Rauf