Jakarta, MINA – Ketua Pusat Dukungan Pengendalian Tembakau (Tobacco Control Support Center/TCSC) IAKMI, dr. Sumarjati Arjoso memaparkan sejumlah fakta dan dampak rokok di Indonesia.
Menurut Sumarjati, saat peluncuran buku “Medan Laga Pengendalian Rokok di Indonesia” secara hibrida di Jakarta, Selasa (30/8), pertama, tembakau merupakan faktor risiko kesakitan, kematian dan disabilitas yang terjadi nomor satu pada laki-laki dan kedua perempuan.
Kemudian, fakta dan dampak rokok kedua yaitu konsumen rokok tertinggi di Indonesia merupakan penduduk termiskin.
“Data Riskesdas 2013 menyebutkan bahwa perokok tertinggi adalah penduduk termiskin (27,3 persen) versus terkaya (19,5 persen),” ungkap dr. Sumarjati Arjoso.
Baca Juga: Jelang Libur Nataru, Terminal Bekasi Berlakukan Ram Check Bus
Fakta selanjutnya adalah konsumsi rokok pada rumah tangga termiskin merupakan salah satu pengeluaran pengeluaran terbesar dalam biaya rumah tangga.
“Belanja rokok adalah belanja kedua setelah membeli makanan pokok di setiap rumah tangga Indonesia,” ujar dr. Sumarjati Arjoso.
Kemudian fakta dan dampak lainnya dari rokok adalah berdasarkan riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PJKS UI) 2018 bahwa 5,5 persen anak dengan orang tua yang merokok mengalami kejadian anak pendek atau stunting.
Selain itu, konsumsi rokok di Indonesia yang begitu tinggi juga menyebabkan, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terbebani.
Baca Juga: Menag RI dan Dubes Sudan Bahas Kerja Sama Pendidikan
Fakta dan dampak dari rokok yang terakhir adalah terjadinya ekonomi loss di mana biaya yang harus ditanggung negara untuk biaya kesehatan para perokok mencapai Rp 378, 75 triliun, artinya terlalu besar dari pada pendapatan cukai yang diperoleh dari rokok yang mencapai Rp 103,02 triliun.
Berdasarkan data BPJS tahun 2019, jumlah kasus penyakit terkait rokok atau tembakau, yaitu jantung, kanker dan stroke mencapai 17,5 juta kasus dengan menelan biaya kesehatan lebih dari Rp 16,3 triliun.
“Konsumsi rokok juga berkorelasi negatif dengan kepatuhan membayar iuran JKN, serta rokok juga mengancam upaya Indonesia mencapai Universal Health Coverage (UHC) di 2019, karena dana tersedot untuk penanganan penyakit, membatasi BPJS-K dan memperburuk deficit JKN,” pungkas dr. Sumarjati Arjoso.
Di sisi lain, jumlah perokok anak terus meningkat bertentangan dengan target pemerintah dalam RPJMN 2020 – 2024 yang berambisi menurunkan angka perokok anak sebesar 8,7% setelah gagal mencapai target pada RPJMN sebelumnya sebesar 5,4%.
Baca Juga: Mendikti Sampaikan Tiga Arah Kebijakan Pendidikan Tinggi Indonesia
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018) menyebutkan, konsumsi rokok pada perokok usia 10-18 tahun juga mengalami peningkatan sebesar 1,9% dalam jangka waktu 5 tahun (2013 – 2018), bahkan seorang anak sudah mulai merokok sejak usia sekolah dasar (Atlas Tembakau, 2020).
Sedangkan prevalensi perokok usia 15 tahun ke atas di Indonesia jumlahnya sebesar 33,8%, di mana sebanyak 62,9% di antaranya adalah laki-laki.
Hasil survei GATS (Global Adult Tobacco Survey), menunjukkan selama kurun waktu 10 tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada tahun 2021.
Kenaikan prevalensi juga terjadi pada perokok elektronik hingga 10 kali lipat, dari 0.3% (2011) menjadi 3% (2021). Sementara itu, prevalensi perokok pasif juga tercatat naik menjadi 120 juta orang.(L/R1/P1)
Baca Juga: Kedutaan Besar Sudan Sediakan Pengajar Bahasa Arab untuk Pondok Pesantren
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Konferensi Internasional Muslimah Angkat Peran Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan