Kisah Gas Beracun Akhiri Perjalanan Keluarga Jamal Al Qasem

Ilustrasi: seorang pria Suriah membawa balita korban serangan gas beracun. (Gambar: EMC)

Pada tanggal 4 April 2017, sebuah serangan senjata kimia terjadi di kota Khan Sheikhoun di provinsi Idlib, Suriah, yang menewaskan 91 orang dan setidaknya 557 lainnya cedera.

Menurut kelompok relawan sipil White Helmets, di antara korban yang tewas, sedikitnya 29 orang pengungsi internal Suriah. Beberapa korban berumur sembilan bulan.

“Bisakah Anda bayangkan bangun pagi-pagi dan melihat anak-anak Anda, kejang, berbusa dan tidak bisa bernafas,” kata Zaher Sahloul, seorang dokter berdarah Suriah-Amerika dalam sebuah wawancara melalui telepon dengan Al Jazeera.

Menurut Sahloul, gas itu mempengaruhi otot-otot pernapasan, sehingga meski benar-benar sadar, tapi korban tidak dapat bernapas masuk atau keluar.

“Itulah mengapa ini adalah jenis kematian yang terburuk,” kata Sahloul, yang masih ingat gambaran serangan kimia pertama di kota asalnya, Homs pada tahun 2012.

Serangan di Khan Sheikhoun adalah satu lagi konflik berdarah tempat warga sipil Suriah dijadikan sasaran bom drum, bom fosfor, amunisi tandan, bunker busters, klorin, gas mustard dan agen saraf, semuanya ditujukan untuk korban maksimum.

Masyarakat Medis Amerika Suriah yang bermarkas di Washington DC, tempat Sahloul bekerja, telah mendokumentasikan setidaknya 175 kasus serangan kimia sejak awal perang tahun 2011.

Baca Juga:  Fakta Kebusukan Protokol Zionis Israel

“Setiap monster yang membenarkannya (serangan kimia) dan monster yang membela orang yang menggunakannya, tidak pantas disebut pemimpin di dunia ini,” kata Sahloul.

Senin, tanggal 1 Mei 2017 lalu, sebuah laporan Human Rights Watch menyalahkan rezim Presiden Bashar Al-Assad menggunakan racun saraf, setidaknya dalam empat kesempatan sejak Desember 2016. Serangan paling mematikan terjadi di Khan Sheikhoun.

Kelompok oposisi dan aktivis Suriah juga menyalahkan serangan gas sarin itu kepada rezim Assad. Namun, militer Suriah telah membantah tuduhan tersebut.

Korban selamat dari serangan tersebut mengatakan, banyak dari mereka sudah tahu bahwa kematian orang yang mereka cintai selama perang ini merupakan kemungkinan yang nyata, tapi tidak ada yang berpikir akan terjadi seperti itu.

Inilah kisah Jamal Al Qasem yang berusia 57 tahun. Ia adalah seorang pengungsi internal yang harus mengisahkan kepedihan dan kesedihannya sebagai seorang ayah dan kepala keluarga.

Qasem tiba di Khan Sheikhoun tiga tahun yang lalu dari kota Mourik di provinsi Hama. Tidak ada yang tersisa di kotanya, sebagian besar rumah di sana hancur oleh pengeboman yang terus-menerus, dan hampir semua orang pergi mengungsi.

Rezim terus-menerus mengebom mereka dan garis depan di Hama secara perlahan semakin dekat kepada mereka.

Suatu hari Qasem memutuskan untuk pergi ke Khan Sheikhoun bersama keluarganya tanpa membawa apa pun kecuali harapan yang redup untuk keselamatan mereka.

Baca Juga:  Dukungan Mahasiswa AS untuk Palestina Menginspirasi Dunia

Sejak mereka tiba di Khan Sheikhoun, mereka berada di bawah belas kasihan orang asing, hidup dari bantuan amal.

Tahun lalu, selama bulan Ramadhan, seseorang mengatakan kepada Qasem bahwa sudah aman untuk kembali ke Mourik, karena oposisi telah merebut kota tersebut.

Ketika mereka kembali, mereka menemukan rumah meraka telah hancur karena pertempuran. Meski demikian, Qasem senang berada di sana.

Dia membersihkan debu dan puing-puing satu ruangan untuk tinggal bersama keluarganya. Menurutnya, bagaimanapun, itu adalah rumahnya di kota tempat ia dilahirkan, dekat dengan perkebunan kacang pistasi keluarganya, tempat ia menghabiskan hari-hari bahagianya, bekerja dan bermain bersama anak-anaknya. Tidak masalah bahwa rezim tersebut telah menghancurkan segala sesuatu di kota, termasuk keran air minum, yang penting mereka ada di rumah.

Namun, perasaan lega mereka berumur pendek. Mereka hanya bisa menghabiskan 20 hari di sana sampai rezim mulai mengebom mereka lagi. Mereka pun mengungsi sekali lagi ke Khan Sheikhoun.

Di sana, orang-orang asing membuka pintu mereka lagi, tapi lingkungan itu selalu diserang. Mereka pun terus berpindah dari satu lingkungan ke tempat lain demi keamanan.

Bulan April 2017, Qasem memutuskan pergi ke sebuah kamp pengungsi yang dekat dengan perbatasan Turki, tapi di sana tidak cukup tenda bagi mereka. Dia lalu meninggalkan anak laki-lakinya, anak perempuannya dan keluarganya di Khan Sheikhoun, sampai ia dapat menemukan tempat yang aman bagi mereka untuk tinggal. Tapi tidak ada tempat yang aman di Suriah.

Baca Juga:  Demonstrasi Mahasiswa Bukti Lemahnya Zionis Israel

Suatu saat, pukul 08.30 pagi pada tanggal 4 April 2017. Tetangga Qasem menelepon untuk mengatakan ada serangan tepat di luar tempat tinggal keluarga Qasem. Tetangga itu mengatakan kepadanya bahwa serangan ini berbeda dari yang lain.

Qasem lalu melompat ke mobil dan melaju sejauh 120 km kembali ke Khan Sheikhoun.

Setibanya di sana, terlihat kekacauan di rumah sakit. Banyak pakaian ditumpuk di lantai. Semua orang telanjang, terbaring di lantai. Mayat mereka basah akibat percikan air setelah serangan gas beracun. Orang-orang yang meninggal ditumpuk di lorong bersama dengan korban luka yang terlihat seperti orang mati, dengan kulit pucat dan mata merah.

Qasem harus berlari dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain mencari anak-anaknya. Namun, harapan Qasem perlahan memudar.

Saat pertama kali melihat mayat anak-anaknya, Qasem mengira seseorang telah meracuni mereka. Busa kental keluar dari lubang hidung dan mulut mereka.

“Saya kehilangan anak perempuan saya, anak laki-laki saya, istri, dan saudara perempuan saya,” katanya sedih. (RI-1/B05)

(Sumber: cerita Jamal Al Qasem kepada Priyanka Gupta Al Jazeera)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.