Muhammad Jarada menjadi saksi ketika ia sedang berjalan pulang dari kantornya. Dia melihat seorang pria turun dari sepeda motor dan memeluk seorang polisi Gaza, Palestina.
Beberapa saat kemudian, Jarada harus roboh oleh kekuatan suatu ledakan. Penglihatannya sejenak benar-benar gelap.
“Ketika saya menyadari apa yang terjadi, saya melihat ada mayat petugas polisi di tanah,” kata Jarada yang berprofesi sebagai seorang tukang kayu. “Saya berlari pulang ke rumah segera.”
Peristiwa itu terjadi pada malam 28 Agustus 2019.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Pria yang turun dari sepeda motor itu kemudian diketahui bernama Abdulaziz Al-Hajjaj, berusia 26 tahun. Dia meledakkan dirinya setelah memeluk Alaa Al-Gharabli, seorang perwira polisi berusia 32 tahun yang mengatur pos pemeriksaan di persimpangan Al-Dahdouh di Tel Al-Hawa daerah Gaza City.
Alaa meninggalkan dua anak, yaitu Yousif (4) dan Ahed (2).
“Setiap pagi, Yousif dan Ahed bertanya kepada saya kapan ayah mereka akan pulang,” kata ayahnya Alaa, Ziad. “Terkadang saya segera menjawab mereka dan terkadang hanya diam saja.”
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Riwayat perih
Keluarga Alaa telah kehilangan anggota karena kekerasan di masa lalu.
Saudara Alaa bernama Bahaa, terbunuh dalam Operasi Cast Lead, serangan besar Israel hampir 11 tahun yang lalu. Bahaa juga seorang petugas polisi. Ia terbunuh ketika Israel menyerang kantor polisi pada tanggal 27 Desember 2008, hari pertama serangannya.
Saudara laki-lakinya yang lain bernama Ahed, terbunuh dalam serangan Israel tahun 2014 di Gaza. Ia seorang petugas medis. Ahed sedang berusaha untuk membantu orang yang terluka oleh Israel di pasar Al-Shujaiyeh Gaza City ketika ia ditembaki oleh militer Israel.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Saudara-saudara Alaa tidak mengenal pembunuh mereka secara pribadi.
Alaa sendiri diledakkan oleh salah satu tetangganya. Abdulaziz Al-Hajjaj tinggal hanya 700 meter dari rumahnya di Al-Shujaiyeh.
Tidak aneh baginya untuk menyambut Alaa dengan pelukan.
Seorang petugas polisi lainnya terbunuh bersama Alaa. Dia bernama Salameh Al-Nadim, juga berusia 32 tahun.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Abdulaziz Al-Hajjaj sebelumnya telah dicurigai oleh otoritas Gaza sebagai pendukung kelompok Islamic State (ISIS). Dia telah ditahan awal tahun ini karena membuat bahan peledak, tetapi kembali dibebaskan dalam waktu singkat, menurut Kementerian Dalam Negeri di Gaza.
Serangan yang dilakukan Hajjaj adalah salah satu dari dua pengeboman bunuh diri pada 28 Agustus.
Yang kedua terjadi kurang dari satu jam kemudian.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Kekacauan besar
Abdulkarim Abu Ras sedang menjual kopi di kiosnya di area Sheikh Ajleen di Gaza City ketika dia melihat seorang petugas di pos pemeriksaan polisi Palestina sedang didekati oleh pria lain.
“Tiba-tiba, ada ledakan besar,” kata Abu Ras. “Saya melihat bagian tubuh terbang di udara.”
Abu Ras mengenal Wael Khalifa, polisi yang terbunuh, selama lima tahun sebelumnya. “Dia orang yang sangat baik, selalu tersenyum,” kata Abu Ras.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Khalifa berusia 43 tahun, memiliki tiga anak yang bernama Zain, Adam dan Muhammad. Sepekan sebelumnya, dia baru saja merayakan ulang tahun pertama Muhammad, putra bungsunya.
“Kami menghabiskan hari yang menyenangkan bersama dan Wael sangat bahagia,” kata istrinya Sumaya Younis. “Saya tidak pernah berpikir itu akan menjadi salah satu dari terakhir kali kami bersama.”
Seperti Muhammad, kakak laki-lakinya Zain yang berusia 5 tahun terlalu muda untuk memahami bahwa ayahnya terbunuh.
“Setiap pagi Zain menunggu ayahnya untuk membawanya ke taman kanak-kanak,” kata Sumaya. “Dia belum menyadari bahwa dia telah kehilangan ayahnya.”
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Pembunuh Wael bernama Muhammad Al-Basous, berusia 27 tahun.
Pihak berwenang Gaza sebelumnya pernah menahan Al-Basous selama 14 bulan dengan tuduhan bahwa terlibat dalam pembuatan bom untuk ISIS. Dia telah dibebaskan awal tahun ini, menurut Kementerian Salam Negeri Gaza.
Setelah pembebasannya, Al-Basous menolak ideologi ISIS dalam sebuah pernyataan, kata seorang sumber di Kementerian Dalam Negeri. Pengeboman yang dilakukannya menunjukkan bahwa penolakannya tidak jujur.
Cabang ISIS di Sinai – wilayah Mesir yang berbatasan dengan Gaza – dilaporkan menyatakan perang terhadap Hamas tahun lalu. Sebuah video yang dikaitkan dengan ISIS menuduh Hamas, yang mengawasi pemerintahan Gaza, murtad karena telah berpartisipasi dalam pemilihan umum.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Eyad Al-Buzom, Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Gaza, mengatakan bahwa beberapa penangkapan telah dilakukan sejak pengeboman terjadi pada bulan Agustus.
Pihak berwenang sedang menyelidiki kemungkinan bahwa ISIS telah merekrut sebuah kelompok di Gaza melalui Internet. Sumber pendanaan untuk kelompok juga sedang diperiksa.
Satu teori yang diteliti adalah bahwa bom bunuh diri ketiga telah direncanakan untuk malam yang sama. Pria yang dicurigai mempersiapkan serangan itu, ditangkap sebelum dia dapat melaksanakan rencananya.
Menurut Al-Buzom, niat kelompok yang direkrut oleh ISIS itu adalah “menyebabkan kekacauan besar di Jalur Gaza.” (AT/RI-1/P1)
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Sumber: Electronic Intifada
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud