KONSPIRASI PEMILU MYANMAR ANTI-MUSLIM

Oleh: Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Sebuah kelompok ultranasionalis Budha yang sangat berpengaruh di Myanmar, turut membantu partai berkuasa untuk memenangkan pemilihan umum pada Ahad, 8 November 2015.

Dikenal dengan nama Burma,  , kelompok nasionalis Budha ini tidak mencalonkan orangnya dalam pemilihan 8 November, karena biarawan dilarang oleh hukum untuk menjadi seorang pejabat. Namun mereka telah berada di garis depan kampanye dan bisa mempengaruhi bentuk pemerintah Myanmar pertama yang terpilih secara demokratis setelah lebih dari setengah abad berada di bawah pemerintahan militer.

Untuk pertama kalinya, seorang pendiri Ma Ba Tha, seorang biarawan bernama Parmaukkha, mengungkapkan kepada Reuters, beberapa rincian pembicaraan dalam  diskusi tertutup antara kelompok itu dan pemerintah tentang hukum yang mereka ajukan.

Wanita dan anti-Muslim

Di Myanmar yang warganya mayoritas beragama Budha, terdapat beberapa hukum yang berasal dari usulan Ma Ba Tha dan disetujui oleh pemerintah. Di antaranya hukum yang mengharuskan warga meminta persetujuan pemerintah jika ingin pindah keyakinan, mewajibkan wanita mengatur jarak kelahiran anaknya dengan anak berikutnya selama tiga tahun,  lelaki yang memiliki isteri lebih dari satu akan dihukum.

Kelompok HAM mengatakan, undang-undang baru yang mendiskriminasi penganut Islam dan perempuan di negara itu bisa menimbulkan ketegangan agama.

Partai Pembangunan dan Solidaritas Bersatu (USDP) yang berkuasa, menggunakan suara mayoritas parlemen untuk meloloskan RUU yang berasal dari Ma Ba Tha itu.

“Ma Ba Tha akan membantu mereka mendapatkan suara dalam pemilu,” kata Parmaukkha. “Mereka (penguasa) tahu kita adalah organisasi yang kuat.”

Namun, seorang anggota parlemen dari USDP dan pejabat senior partai di Yangon, Tha Win, membantah hubungan dengan Ma Ba Tha.

“Kami hanya terlibat hubungan dalam politik. Aturan partai kami tidak membolehkan kami melaksanakan urusan agama,” katanya.

Deskripsi Parmaukkha tentang peran Ma Ba Tha itu juga dibantah oleh juru bicara kelompok, Thurain Soe. Dia mengatakan, organisasinya bersyukur atas bantuan USDP dalam memberlakukan undang-undang, tetapi tidak mendukung pihak mana pun.

“Kami membutuhkan empat undang-undang  agama kami. Kepada siapa tempat kami bertanya? Kami perlu meminta kepada pemerintah ini. Ini adalah proses yang sangat normal,” kata Thurain Soe. “Kami berterima kasih kepada presiden dan parlemen. Tapi itu hanya ‘terima kasih’, tidak mendukung (USDP dalam pemilu).”

Pemilihan umum 8 November adalah yang pertama sejak pemerintah sipil menggantikan pemerintahan militer pada 2011, dan secara luas dianggap sebagai referendum atas proses reformasi Myanmar.

Pengamat pemilu mengatakan, pengaruh Ma Ba Tha di mayoritas Budha Myanmar mungkin terbukti penting dalam kampanye pemilu, terutama di daerah pedesaan di mana otoritas monastik tidak diragukan lagi.

Pengaruh Ma Ba Tha mungkin cukup menggoyang suara dukungan bagi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan tokoh oposisi Aung San Suu Kyi dan menyelamatkan USDP pimpinan Presiden Thein Sein dari kekalahan yang memalukan di pemilu.

Pemerintah bekerjasama dengan radikal

Dua pemimpin NLD mengatakan kepada Reuters, karena khawatir dengan potensi Ma Ba Tha yang mengintimidasi, NLD memutuskan untuk tidak menurunkan kandidat Muslim pada 8 November.

Dalam beberapa tahun terakhir, kekerasan agama di Myanmar telah menewaskan ratusan orang, sebagian besar umat Islam.

Ma Ba Tha yang secara resmi dikenal dalam bahasa Inggris “Committee for the Protection of Nationality and Religion” (Komite untuk Perlindungan Kebangsaan dan Agama) tumbuh dari gerakan “969” yang juga dipimpin oleh para biksu yang menyerukan larangan nikah beda agama dan memboikot bisnis Muslim.

Parmaukkha mengatakan, Ma Ba Tha mulai bekerja sama erat dengan pemerintah dan USDP dalam serangkaian pertemuan tentang ras dan hukum agama pada 2014 dan 2015.

Satu pertemuan di ibukota Naypyitaw pada Mei 2014, dihadiri oleh para pejabat dari Kementerian Agama, Imigrasi, dan Urusan Dalam Negeri, serta penasehat presiden.

Tiga biksu terkemuka Ma Ba Tha lainnya yang dikonfirmasi Reuters mengakui, mereka telah menghadiri pertemuan Mei untuk membahas UU dengan gugus tugas pemerintah.

Sejauh ini, pertemuan tertutup antara Ma Ba Tha dan pemerintah belum pernah diungkapkan secara terbuka.

Pada pertemuan lain, Maret 2015, seorang pejabat USDP yang juga seorang direktur jenderal di kementerian pemerintah, meyakinkan Ma Ba Tha bahwa pemerintah akan menyetujui RUU untuk ras dan agama.

Informasi ini muncul hanya beberapa pekan setelah survei internal USDP  mengklaim NLD akan menghantam partai yang berkuasa di pemilu.

Dua bulan kemudian, Presiden Thein Sein menandatangani satu dari empat RUU yang diusulkan Ma Ba Tha menjadi undang-undang. Tiga RUU  diberlakukan kurang dari tiga pekan sebelum kampanye pemilu November 2015 resmi dimulai.

Namun juru bicara Ma Ba Tha, Thurain Soe membantah pemimpin kelompoknya telah bertemu pejabat pemerintah terkait RUU ras dan agama pada 2014 dan 2015.

Biksu dan militer

Zaw Htay, seorang pejabat senior dari Kantor Presiden mengatakan, seorang biarawan memimpin petisi sebagai awal untuk meluluskan RUU tersebut. Kampanye itu mengumpulkan lebih dua juta tanda tangan yang menyerukan memberlakukan hukum yang melindungi ras dan agama. Sementara Kantor Presiden menyusun RUU dalam menanggapi petisi itu.

“Sangat sulit untuk memisahkan biksu Budha dari politik di negeri ini,” katanya, mengutip peran mereka dalam perjuangan kemerdekaan Myanmar dari pemerintahan kolonial Inggris, serta protes pro-demokrasi di tahun-tahun terakhir.

Kepemimpinan Ma Ba Tha secara terbuka menyatakan dukungannya kepada USDP dan menjadi cemoohan bagi Suu Kyi.

Biksu Ashin Wirathu (47) adalah salah satu tokoh yang paling menonjol dari para biarawan Ma Ba Tha.

Biksu lain yang turut membentuk Ma Ba Tha, Vimalabuddhi, mengatakan, karena sebagian besar pemimpin USDP berasal dari militer yang memahami situasi di negara itu, maka mereka lebih baik dari pada NLD yang berasal dari politisi dan warga sipil.

Ashin Wirathu

Biksu Budha berusia 45 tahun ini dinilai bertanggungjawab atas terbuangnya kaum Rohingya dari tanah Myanmar, tentu selain pemerintah Myanmar yang gagal mengontrol konflik agama di daerah perbatasan.

BBC menyebut Wirathu sebagai provokator kekerasan melalui kampanye “969”. Wirathu percaya ada suatu rencana besar dari Muslim untuk mengubah Myanmar menjadi negara Islam. Atas kampanye ini, dia diganjar penjara 25 tahun pada 2003.

Namun, pada 2011, Wirathu dibebaskan karena menerima grasi untuk para tahanan politik. Tak jera, Wirathu memulai lagi gerakan melawan Muslim, terutama di Rakhine barat. Saat itu kondisi konflik komunal di Myanmar sudah sangat tinggi.

Wirathu rutin menyebarkan rumor-rumor melalui berbagai media, termasuk DVD dan Internet. Isinya berupa tuduhan menyesatkan, seperti Muslim “mengincar gadis Myanmar lugu untuk diperkosa” dan “kolusi”. Tindakan ini membuahkan julukan “Budhist bin Laden”. Dan pada sampul majalah Time edisi Juli 2013, dia disebut sebagai “Wajah Teror Budha”, majalah itu kemudian dilarang beredar di Myanmar.

Tak ambil pusing tentang pemberitaan tersebut, dia justeru berkata, “Saya bangga disebut sebagai Budhis radikal.”

Alih-alih menghentikan tindakan adu dombanya, pemerintah Myanmar malah mendukung kampanye kebencian Wirathu. Sebagai hasilnya, ratusan kematian menimpa Muslim Rohingya dan 140 ribu Muslim lainnya kehilangan tempat tinggal dalam kurun waktu tiga tahun ini. (P001/P2)

Sumber: Reuters dan BBC

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0