Jakarta, MINA – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan beberapa indikasi masalah dari pengaduan yang masuk terkait sulitnya soal Ujian Nasional Berbasi Komputer (UNBK) mata pelajaran Matematika Sekolah Menengah Atas (SMA).
“KPAI mendorong Kemdikbud RI untuk melakukan evaluasi terhadap penyajian soal ujian nasional jenjang SMA yang berlangsung pekan lalu secara transparan, karena ada dugaan mal praktek evaluasi yang menimbulkan ketidakadilan bagi anak-anak peserta UNBK SMA,” kata Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan dalam jumpa media di Gedung KPAI, Jakarta, (17/4).
Ia menilai ada dugaan mal praktek evaluasi karena, sejumlah soal terindikasi sulit dipahami oleh siswa karena materinya belum pernah diajarkan di kelas.
“Siswa tidak memahami soal itu karena soal itu tidak mengukur kemampuan siswa terkait materi yang dipelajari. Artinya validitas soal bermasalah. Menguji siswa dengan materi yang tidak pernah dipelajari adalah ketidakadilan,” ujarnya.
Baca Juga: Syaikh El-Awaisi: Menyebut-Nyebut Baitul Maqdis Sebagai Tanda Cinta Terhadap Rasulullah
Menurutnya, bisa jadi soal itu bermasalah karena tidak memiliki daya pembeda. Artinya soal itu tidak bisa membedakan antara siswa yang ada di kelompok atas dan bawah (kemampuan diskriminasi).
“Bisa juga karena teks soal itu bersifat ambigu atau multitafsir sehingga dipahami berbeda oleh siswa satu dan siswa lainnya (masalah realibilitas soal). Berbeda dengan tingkat kesukaran, level berpikir tiap soal ditentukan sejak tahap persiapan pembuatan soal,” jelasnya.
Lebi lanjut ia mengatakan, dari referensi yang dipelajari oleh KPAI, soal tipe HOTS (Higher Order Thinking Skills/ Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi) bukan berarti soalnya harus sulit. Soal tipe Hots pada UNBK adalah soal-soal yang dalam bahasa blue print ujian dikenal dengan kode L3 artinya soal tipe penalaran.
Ciri utama soal L3 adalah benar-benar mencoba menghindari soal yang bertipe sekedar ingatan, sebaliknya menuntut siswa untuk berpikir dan menerapkan konsep-konsep yang mereka pelajari pada situasi baru yang tidak familiar atau situasi yang sudah mereka kenal tetapi tidak ada algoritma tunggal yang tersedia untuk menjawabnya, mereka harus melakukan proses berpikir analisis, sintesis, menilai dan mengambil keputusan atas masalah yang disodorkan dalam soal.
Baca Juga: AWG: Daurah Baitul Maqdis, Jadi Titik Balik Radikal untuk Perjuangan Umat Islam
“Hal ini berbeda dengan soal sulit (hard), soal yang dikatakan sulit bila dalam menjawabnya membutuhkan banyak langkah penyelesaian, banyak variabel yang tidak diketahui dan biasanya menggunakan banyak operasi matematika untuk menyelesaikannya,” paparnya.
Pembelajaran HOTS menuntut para guru yang mampu meyakinkan siswa bahwa materi yang dipelajari berguna untuk kehidupan sehari-hari. Untuk itu, Penguasaan konsep/teori bukan hanya dihafalkan. Tapi dibawa untuk mampu diaplikasikan dalam hal-hal yang sederhana hingga rumit. Pembuat kebijakan harus bisa merumuskan pembelajaran HOTS yang mampu dikembangkan para guru.
“Kalau Kemdikbud mau adil, maka yang perlu dibenahi para gurunya untuk melakukan proses pembelajaran HOTS bukan malah berkosentrasi pada UN saja untuk menguji HOTS para siswanya,” ucapnya. (L/R10/RS2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [WAWANCARA EKSKLUSIF] Ketua Pusat Kebudayaan Al-Quds Apresiasi Bulan Solidaritas Palestina