Jakarta, MINA – Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti, menemukan lima alasan penyebab anak putis sekolah selama pandemi Covid-19.
“KPAI justru menemukan data-data lapangan yang menunjukan angka putus sekolah cukup tinggi, terutama menimpa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin,” kata Retno, demikian keterangan yang diterima MINA, Sabtu (6/3).
Pertama, jumlah siswa yang berhenti sekolah karena menikah jumlahnya mencapai 33 peserta didik dari kabupaten Seluma, Kota Bengkulu dan Kabupaten Bima.
Rata-rata siswa yang menikah berada di kelas XII, yang beberapa bulan lagi ujian kelulusan sekolah.
Baca Juga: Program 100 Hari Kerja, Menteri Abdul Mu’ti Prioritaskan Kenaikan Gaji, Kesejahteraan Guru
Selain itu, karena masih PJJ maka mayoritas yang sudah menikah tanpa sepengetahuan pihak sekolah. Wali kelas atau guru Bimbingan Konseling (BK) baru mengetahui setelah dilakukan “home visit” karena tidak pernah lagi ikut PJJ.
Kedua, siswa putus sekolah karena bekerja yang terdampak secara ekonomi selama pandemi sehingga anak harus membantu ekonomi keluarga.
Ketiga, siswa putus sekolah karena menunggak SPP selama berbulan-bulan, penunggak sekolah terjadi karena dampak pandemi di mana ekonomi keluarga dari anak-anak tersebut terdampak secara signifikan, memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit, sehingga bayar SPP yang dikorbankan.
Selanjutnya, rata-rata yang mengadu sudah tidak membayar SPP 6-11 bulan, faktor ekonomi keluarga yang terpuruk selama pandemi menjadi penyebab utama.
Baca Juga: Delegasi Indonesia Raih Peringkat III MTQ Internasional di Malaysia
Retno menjelaskan beberapa sekolah memang melakukan penahanan ijasah anak yang lulus tahun 2020 lalu karena belum melunasi pembayaran SPP, ada juga yang tidak dikeluarkan tetapi tidak diberi akses PJJ dan bahkan Try Out (TO) karena sang anak akan ujian kelulusan sebentar lagi.
“Dan yang parah sekolahnya mengeluarkan anak tersebut. Kasus-kasus ini berasal dari berbagai wilayah seperti Jakarta, Bandar Lampung, Makasar, Denpasar, Pekanbaru, kota Tangerang Selatan, dan lain-lain,” ujarnya.
Keempat, kecanduan game online dan PJJ secara online yang mensyaratkan alat daring dan kuota internet ternyata berdampak pada anak-anak kecanduan “game online”. Bisa dikarena pengawasan orang tua yang lemah dan dapat juga karena upaya anak mengalihkan kejenuhan selama pandemi yang mengharuskannya berada di rumah saja.
Kelima, kasus siswa putus sekolah karena meninggal dunia terjadi di salah satu SMAN di Kabupaten Bima karena terseret arus ketika bencana banjir Januari lalu, dan satu lagi berasal dari salah satu SMK Swasta di Jakarta yang meninggal karena kecelakaan motor.
Baca Juga: Matahari Tepat di Katulistiwa 22 September
Jadi secara data KPAI, ada dua siswa yang meninggal pada semester genap tahun ajaran 2020/2021.(R/SH/R1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Roma Sitio Raih Gelar Doktor dari Riset Jeruk Nipis