Tel Aviv, MINA – Pusat Hukum Hak-Hak Minoritas Arab di Israel, yang dikenal bernama Adalah, telah mengajukan petisi ke Mahkamah Agung Israel pada Ahad (13/3), memprotes undang-undang Kewarganegaraan dan Masuk ke Israel, yang dikecam sebagai “rasis”.
Adalah mendesak agar UU tersebut dicabut, The New Arab melaporkan.
Tiga pengacara dari Adalah mengajukan petisi atas dasar bahwa itu melanggar hak konstitusional dasar dan bertentangan dengan hukum internasional.
Adalah berpendapat, UU tersebut bertujuan memastikan mayoritas demografis Yahudi. Badan itu menyebutnya sebagai salah satu UU paling rasis dan diskriminatif di dunia.
Baca Juga: Netanyahu Kembali Ajukan Penundaan Sidang Kasus Korupsinya
“Para penggagas undang-undang itu mengandalkan ketetapan luas bahwa setiap ‘keturunan’ orangtua Palestina merupakan ancaman keamanan. Mereka juga mengandalkan doktrin ‘musuh asing’ yang dilarang, yang menentukan bahwa setiap individu yang tinggal di ‘wilayah musuh’ harus dipertimbangkan sebagai musuh,” kata petisi itu.
“Untuk pertama kalinya, undang-undang tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa larangan penyatuan keluarga Palestina dimaksudkan untuk melayani karakter negara Yahudi. Para pembuat undang-undang sendiri menyatakan bahwa mereka melihat perlu untuk melakukannya, mengingat Undang-Undang Negara-Bangsa Yahudi 2018,” demikian pernyataan Adalah dalam petisi tersebut.
“Sekarang Mahkamah Agung harus memutuskan apakah mereka akan terus mengizinkan negara untuk beroperasi di dua jalur kewarganegaraan yang terpisah berdasarkan afiliasi nasional dan etnis dengan dalih temporalitas yang abadi,” katanya.
Diperkenalkan pada tahun 2003, UU tersebut melarang warga Palestina yang menikah dengan orang Israel, seringkali warga negara Palestina-Israel, untuk mendapatkan tempat tinggal permanen atau dinaturalisasi sebagai warga negara.
Baca Juga: Hujan Deras Rusak Tenda-Tenda Pengungsi di Gaza
Pada tahun 2007, diperluas untuk memasukkan warga negara dari negara-negara yang dianggap “negara musuh” seperti Iran, Irak, Lebanon, dan Suriah.
Undang-undang tersebut diperbarui setiap tahun sejak 2007, hingga Juli 2021, ketika Knesset gagal mendapatkan suara mayoritas untuk memperbaruinya.
Pada hari Kamis (10/3), parlemen Israel mengesahkan undang-undang tersebut dengan suara mayoritas 45-15 yang melintasi garis koalisi-oposisi, yang akan memaksa ribuan keluarga Palestina untuk beremigrasi atau hidup terpisah. (T/RI-1/P2)
Baca Juga: Abu Obaida: Sandera Perempuan di Gaza Tewas oleh Serangan Israel
Mi’raj News Agency (MINA)