Masyarakat Menanti Gebrakan Pemerintah soal Epidemi Rokok di Indonesia

Jakarta, MINA – Koordinator Nasional Untuk , Ifdhal Kasim menyampaikan, tahun 2022 kembali menjadi tahun yang kelam bagi sektor kesehatan publik nasional.

Menurutnya, tidak ada terobosan yang dilakukan Pemerintah RI untuk menyelesaikan masalah Khususnya agar target penurunan angka perokok anak yang tertuang di dalam RPJMN 2020-2024 dapat tercapai.

“Hal ini berpotensi menjadi warisan yang buruk bagi Presiden Jokowi, mengingat praktis masa jabatan beliau tersisa kurang dari dua tahun lagi,” ungkap Ifdhal konferensi pers bertema “Peredaran Produk Tembakau Tanpa Kendali: Rapor Merah 2022 Pemerintahan Jokowi-Amin,” secara virtual, Jumat (25/11).

Dia menilai pada penghujung tahun 2022 ini pemerintah Kabinet Jokowi-Amin belum melakukan gebrakan berarti terkait masalah epidemi rokok di Indonesia.

“Iklan rokok masih menguasai ruang publik, harga rokok masih murah, rokok ketengan masih mudah dibeli anak-anak, bahkan ironinya rokok elektrik justru dianggap sebagai solusi masalah kecanduan rokok di Indonesia,” imbuh Ifdhal.

Hal demikian, lanjutnya, tentunya menjadi perhatian khusus pegiat HAM dan kesehatan publik nasional. Negara dianggap tidak hadir dalam menangani masalah epidemi rokok di tanah air.

Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Pusat Studi Center of Human Development ITB AD, Roosita Meilani Dewi.

Kenaikan Cukai Rokok Belum Maksimal

Roosita menilai meski Kementerian Keuangan RI telah memutuskan kenaikan cukai rokok konvensional sebesar 10 persen untuk tahun 2023 dan 2024, namun angka tersebut masih jauh di bawah standar yang direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Dia mengatakan, sesuai dengan masukan WHO, cukai rokok idealnya dinaikkan minimal 25 persen per tahun. Selain itu, kebijakan kenaikan cukai rokok jadi terasa kurang dampaknya, mengingat rokok ketengan masih mudah diakses masyarakat, khususnya anak-anak.

“Penjualan ketengan membuat rokok jadi semakin murah. Untuk masalah rokok ketengan ini, Kementerian Perdagangan memang terkesan lepas tangan,” tegas Roosita.

Ada hal yang baru pada penetapan cukai tahun ini. Pemerintah RI tidak hanya menaikkan cukai rokok konvensional, melainkan cukai rokok elektrik. Cukai rokok elektrik akan dinaikkan sebesar 15 persen terhitung selama lima tahun ke depan.

Menanggapi keputusan tersebut, pemerhati HAM Nasional, Asep Mulyana, menyatakan kenaikan cukai rokok tidak cukup untuk menekan prevalensi perokok elektrik di Indonesia.

Berdasarkan hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, jumlah perokok elektrik meningkat hampir 10x lipat sejak tahun 2011.

“Regulasi kita masih sangat longgar terhadap rokok elektrik. Idealnya, rokok elektrik diperlakukan sama dengan rokok konvensional,” papar Asep.

Untuk itu, Lanjutnya, perlu ada peringatan kesehatan bergambar pada rokok elektrik, pelarangan atau minimal pembatasan iklan, promosi, dan sponsor, hingga memasukkan rokok elektrik sebagai produk yang turut diatur dalam peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tiap Kota/Kabupaten di Indonesia.

Regulasi rokok elektrik sejatinya akan dimasukkan ke dalam poin revisi PP 109 Tahun 2012. Namun hingga kini belum ada titik terang dari proses revisi regulasi tersebut.

Pada semula, untuk mempercepat proses revisi PP 109 Tahun 2012, Kementerian Kesehatan RI diharapkan kembali mengajukan Izin Prakarsa ke Presiden Jokowi pada tahun 2022. Wacana yang justru tidak terealisasi sampai detik ini.

Belum Ratifikasi FCTC

Sementara Adviser Indonesia Institute for Social Development (IISD), Sudibyo Markus, menyatakan, isu rokok sepertinya memang tidak masuk ke dalam agenda prioritas utama Presiden Jokowi.

“Jika memang ada deadlock antar Kementerian/Lembaga, Presiden seharusnya mengambil inisiatif untuk melakukan Ratas Kabinet dan memimpin jalannya diskusi. Seperti ketika pemerintah RI menangani kasus Covid 19 misalnya. Jika kondisi terus seperti sekarang, jangan harap visi Indonesia Emas 2045 dapat tercapai,” ujarnya.

Dia juga menyatakan, masalah rokok sudah menjadi epidemi global sebelum adanya pandemi COVID-19, sehingga tidak berdampaknya pandemi COVID-19 terhadap konsumsi rokok menjadi alasan penting untuk mendorong proses revisi PP/109 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, untuk menjadi landasan pengendalian konsumsi tembakau yang lebih komperhensif.

Revisi PP 109/2012 merupakan bentuk komitmen dan hadirnya pemerintah dalam melindungi masyarakat Indonesia dan menurunkan prevalensi perokok usia 10-18 tahun.

Ajang KTT G20 juga tak luput menjadi sorotan masyarakat sipil. Hal ini tidak terlepas dari masuknya PT. HM Sampoerna dan Djarum Foundation sebagai sponsor hajatan akbar negara-negara dunia.

Sektor kesehatan Indonesia juga dianggap paling buruk dibanding negara G20 lain, mengingat Indonesia menjadi satu-satunya negara G20 yang belum melakukan aksesi terhadap Framework Convention on Tobacco Conctrol (FCTC).

Senior Advisor Human Rights Working Group (HRWG), Rafendi Djamin , menyampaiakn, masuknya PT. HM Sampoerna dan Djarum Foundation sebagai sponsor KTT G20 menunjukkan negara tidak peka dengan masalah rumah tangganya sendiri.

“Lebih-lebih lagi, pemerintah RI tidak firm terhadap isu perlindungan hak anak dan kelompok rentan. Hal ini juga melukai semangat SDGs, di mana secara jelas menuntut komitmen negara-negara dunia untuk melalukan kontrol ketat terhadap produk tembakau atau rokok,” pungkas Rafendi Djamin.

Epidemik tembakau merupakan salah satu ancaman kesehatan masyarakat terbesar di dunia. Pada 2021, WHO menyatakan, epidemik tembakau telah membunuh sekitar 8 juta orang setiap tahun.

Lebih dari 7 juta kematian diakibatkan oleh perilaku merokok, sementara 1,2 juta kematian diakibatkan oleh paparan asap rokok orang lain (secondhand smoke) yang disebabkan karena penyakit kardiovaskular dan gangguan pernapasan.(L/R1/P2)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.