Mati Syahid, Jasad Pemuda Ini Dikerumuni Burung (Oleh: Taufiqurrahman)

, Redaktur MINA Bahasa Arab

Siapa yang tidak berharap mati syahid?

Saya, Anda dan setiap muslim tentu merindukannya. Begitu juga dengan pemuda ini. Bukan hanya dia yang bercita-cita syahid di jalan Allah, Ibunya pun berharap dan bahkan bahagia jika kelak putra tercintanya itu meraih cita-cita mulianya.

Sebenarnya, sosok utama dari kisah ini adalah sang Ibu. Untuk itu Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, dalam kitabnya Shifat Al Shofwah, menulis kisah yang diriwayatkannya dari Abu Qudamah tersebut dan memasukkanya ke dalam bab tentang kisah para perempuan pilihan yang ahli ibadah. Maka kisah tentang kesuksesan pemuda itu meraih syahid adalah juga kisah tentang kesuksesan seorang ibu mendidik anaknya. Maka izinkan saya memulai kisah ini dari sosok sang Ibu.

Dia adalah seorang wanita Syam, tepatnya di kota Riqqah, yang sekarang menjadi salah satu kota bersejarah di Negara Suriah. Di masanya peperangan cukup sering terjadi. Sebagai seorang wanita, ia sadar medan juangnya bukanlah dengan mengangkat senjata. Namun situasi itu tak menghalanginya untuk bisa berpartisipasi dalam jihad. Ia pun berfikir langkah apa yang bisa dilakukannya dalam membantu jihad, tanpa menyimpang dari fitrahnya sebagai wanita.

Suatu ketika, gelora jihadnya tersulut api semangat yang dinyalakan oleh seorang komandan perang bernama Abu Qudamah. Ksatria dari Syam itu memang berkunjung ke berbagai daerah untuk menghimpun kekuatan. Dengan penuh gairah, ia sadarkan banyak orang  akan urgensi jihad, pahalanya dan keutamaan syahid di jalannya. Tanpa ia sadari, ruh jihad itu berhasil menembus relung hati seorang wanita tersebut.

Hingga saat Abu Qudamah tengah berjalan kembali ke rumahnya, tiba-tiba wanita itu memanggil, “Wahai Abu Qudamah.”

Dalam hati Abu Qudamah berkata, “Ini adalah tipu daya setan.” Sebab ia tahu suara seorang wanita adalah aurat. Ia tidak ingin tergoda oleh suara itu. Ia pun enggan menjawab panggilan tersebut. Hingga wanita itu pun terus berjalan mendekatinya. Abu Qudamah akhirnya berhenti.

Rupanya wanita itu hanya ingin menyerahkan sepotong lembaran tulisan kepadanya, lalu pergi dengan segera. Abu Qudamah dihinggapi penasaran sebab wanita tadi pergi sambil menangis. Apa gerangan isi lembaran itu?

Ia pun membukanya dan tertulis di dalamnya:

“Sungguh engkau telah mengajak kami berjihad dan bersemangat mencari pahalanya. Namun aku tidak bisa melakukan itu dan kuputuskan untuk menyerahkan sesuatu yang lebih baik dari hal itu, yaitu dua ikat rambutku. Sengaja kugulung keduanya agar bisa kau jadikan pengikat kudamu. Semoga Allah melihat ikatan rambutku yang mengekang kuda yang kau gunakan untuk jihad itu lalu Dia mengampuni dosa-dosaku.”

Sulit dibayangkan ada ide seperti itu muncul dari benak siapapun. Banyak cara bisa orang lakukan untuk membantu jihad. Dengan uang, kendaraan, senjata atau obat-obatan. Namun wanita itu berfikir tentang hal yang tidak biasa, membuat tali kekang kuda dari ikatan rambutnya. Barangkali tidak ada harta yang ia miliki yang layak diserahkan untuk jihad. Atau mungkin ia ingin ada diantara anggota tubuhnya yang bisa turut berjihad. Jika benar seperti itu, tentu hanya rambutnya lah yang mungkin bisa ia serahkan. Tapi bagaimana caranya rambut bisa dimanfaatkan untuk jihad? Maka muncullah ide untuk mengepangnya hingga seperti berbentuk tali. Dengan tali yang terbuat dari rambutnya itu, siapapun bisa menggunakannya untuk kekang kuda.

Esok paginya, saat pasukan tengah berbaris dan siap untuk berperang, Abu Qudamah dikejutkan oleh sosok remaja yang berdiri di antara mereka. Tentu saja jihad bukanlah medan bagi para remaja belia. Jihad membutuhkan kedewasaan, keberanian, ketangkasan, pengalaman dan kekuatan fisik yang prima. Sebab resiko yang ditanggung bukan hanya luka atau cacat, tapi juga nyawa. Tidak terbayangkan ada remaja yang mau dan sanggup menanggung resiko itu kecuali dalam hatinya telah mengakar kuat obsesi meraih puncak kemuliaan, berupa mati syahid.

Abu Qudamah ragu remaja itu sanggup merasakan ganasnya medan perang. Ia pun mendekatinya dan mengajaknya berfikir bahwa dirinya yang masih belia bisa saja mati terinjak-injak kuda perang. Maka ia pun memintanya untuk pergi meninggalkan barisan, kembali ke rumahnya.

Tapi remaja ini bergeming. Malah dengan gagah ia mengatakan kepada Abu Qudamah, “Apa kau perintahkan aku untuk kembali ?! Sedangkan Allah Ta’ala berfirman,

…{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفاً فَلا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ، وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفاً لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزاً إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ} الأنفال.

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang akan menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Dan barang siapa mundur pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sungguh, orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah. Tempatnya ialah neraka Jahannam, dan ia seburuk-buruknya tempat kembali.” Al Anfal: 15 & 16

Remaja ini semakin tak terbendung. Tanpa ragu ia justru berkata kepada Abu Qudamah, “Hai Abu Qudamah, hutangi aku tiga anak panah! ”

“Sempat-sempatnya di saat perang engkau berhutang,” jawab Abu Qudamah seraya menolak permohonannya.

Tapi remaja itu enggan beranjak. Begitu optimisnya dia bisa membunuh musuh meski usianya terlalu belia dan tak punya pengalaman.

Abu Qudamah akhirnya mengalah. Tapi ia mengajukan syarat pada remaja itu, “Jika Allah anugerahkan untukmu syahid, syafaatilah aku di hari kiamat.”

Kini di genggamannya sudah ada tiga anak panah. Tak menunggu lama, ia tembakkan anak panah pertamanya dan berhasil bersarang di tubuh lawan.

“Hai Abu Qudamah, assalamu’alaika,” teriak remaja itu.

Bahkan ia sukses membunuh dua musuh lagi dengan dua panah yang tersisa padanya. Dan ia mengulangi kata-katanya kepada penjual itu setiap kali mengenai lawan.

Tapi remaja ini tak mampu menolak keganasan perang. Dari arah tak terduga sebuah anak panah meluncur mengenainya. Ia jatuh seketika.

Melihat remaja itu terkapar, Abu Qudamah mendekatinya. “Jangan lupa pesanku!” ujar Abu Qudamah mengingatkannya soal syafa’at yang ia syaratkan padanya sebagai ganti dari tiga anak panahnya.

“Tentu saja. Tapi aku minta tolong padamu, jika kau pulang ke kota, temuilah ibuku dan sampaikan salamku padanya lalu ceritakan apa yang terjadi padaku. Dialah wanita yang memberimu gulungan rambutnya untuk kau gunakan sebagai tali kekang kudamu,” terang remaja itu dengan nafas tersengal yang pelan-pelan meninggalkannya.

Lalu tibalah ajalnya. Remaja ini syahid menyusul ayahnya yang lebih dulu syahid di tahun sebelumnya.

Peristiwa aneh terjadi usai pemakamannya. Belum jauh Abu Qudamah meninggalkan makam remaja itu, tiba-tiba tanah makamnya bergerak, menganga dan memuntahkan jasadnya. Jasad itu terlempar ke permukaan tanah.

Orang-orang yang melihat kejadian itu sangat terkejut. Diantara mereka ada yang mengira mungkin remaja itu pergi berperang tanpa izin ibunya. Akibatnya bumi enggan menelan jasadnya.

Abu Qudamah yang tahu betul kegigihan remaja itu, tak ingin menilainya negatif. Ia lalu mendekati jasad remaja itu. Lalu ia tunaikan shalat dua rakaat dan berdo’a kepada Allah memohon kebaikan untuk remaja itu. Tiba-tiba ia mendengar suara yang tak jelas sumbernya berkata, “Hai Abu Qudamah pergilah, tinggalkan wali Allah tersebut.”

Kejadian aneh terjadi lagi. Jasad pemuda itu dikerumuni burung-burung yang memakannya. Apa yang sebenarnya terjadi pada remaja itu? Hal baikkah atau buruk? Abu Qudamah pergi dengan menyimpan rasa penasaran mendalam.

Sesampai di kota, Abu Qudamah segera mendatangi rumah ibu remaja itu. Setibanya di kediaman wanita itu, seorang  pemudi yang tak lain saudari remaja itu, datang menyambutnya. Ia lalu memanggil sang Ibu sembari berkata, “Ibu, itu Abu Qudamah datang tanpa ada saudara kita bersamanya. Tahun lalu kita terkena musibah karena ayahku yang syahid. Kini giliran saudaraku yang syahid.”

Sang ibu pun keluar menemui Abu Qudamah. “Apakah kau kemari hendak menyampaikan berita duka atau kabar gembira? ” tanya Ibu itu kepadanya. Ia seperti tahu putra tercintanya itu telah bertemu dengan Abu Qudamah di medan jihad.

“Apa maksudnya? ” Abu Qudamah sama sekali tak memahami makna pertanyaan itu.

“Jika dia tewas, maka sampaikanlah dukamu padaku. Tapi jika dia gugur syahid, ucapkan selamat untukku, ” terangnya dengan asa besar putranya menjemput syahidnya.

Dengan sergap Abu Qudamah menjawab, “Dia gugur sebagai syahid.” Ia begitu yakin keadaan yang menimpa remaja itu membuktikan syahidnya.

“Jika begitu, apa buktinya? ” sang Ibu ingin memastikan apakah dia akan bahagia karena syahidnya ataukah sedih karena tewasnya.

“Bumi tidak menerima jasadnya. Lalu burung-burung memakan dagingnya dan menyisakan tulangnya. Lalu aku kubur sisanya,” tutur Abu Qudamah.

Wanita itu sangat senang. “Alhamdulillah,” ucapnya mensyukuri syahid yang diraih putranya. Keadaan yang menimpa putranya ia yakini betul sebagai tanda syahidnya. Lalu apa yang menjadi dasar baginya bahagia karena peristiwa aneh yang terjadi pada jasad putranya itu?

Sebuah kantong besar diserahkan Abu Qudamah kepada wanita itu. Isinya sebuah benda berharga yang turut mengantar putranya itu syahid. Sebuah baju perang dan borgol. Untuk apa borgol itu?

“Setiap malam, putraku mengenakan baju besi ini dan mengekang dirinya dengan borgol ini. Lalu ia pun bermunajat kepada Rabbnya. Ia berkata, ‘Yaa Rabb, kumpulkanlah diriku di perut burung-burung,'” cerita sang wanita mengenang perjuangan putranya mewujudkan mimpi syahid.

Keyakinan wanita itu akan syahid putranya dan kalimat doa putranya itu bukan tanpa dasar. Harapan itu berangkat dari sebuah hadits berikut:

عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ سَأَلْنَا عَبْدَ اللَّهِ عَنْ أَرْوَاحِ الشُّهَدَاءِ وَلَوْلَا عَبْدُ اللَّهِ لَمْ يُحَدِّثْنَا أَحَدٌ قَالَ أَرْوَاحُ الشُّهَدَاءِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي حَوَاصِلِ طَيْرٍ خُضْرٍ لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ فِي أَيِّ الْجَنَّةِ شَاءُوا ثُمَّ تَرْجِعُ إِلَى قَنَادِيلِهَا فَيُشْرِفُ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ فَيَقُولُ أَلَكُمْ حَاجَةٌ تُرِيدُونَ شَيْئًا فَيَقُولُونَ لَا إِلَّا أَنْ نَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا فَنُقْتَلَ مَرَّةً أُخْرَى

“Telah mengabarkan kepada kami [Sa’id bin ‘Amir] dari [Syu’bah] dari [Sulaiman] dari [Abdullah bin Murrah] dari [Masruq] ia berkata; kami bertanya kepada [Abdullah] mengenai ruh seorang syahid, seandainya bukan Abdullah maka tidak ada seorangpun yang menceritakan kepada kami. Ia berkata; “Ruh para syuhada’ berada di sisi Allah pada hari Kiamat, mereka berada rongga burung hijau yang memiliki sarang-sarang yang bergantungan di ‘Arsy, burung-burung tersebut terbang di Surga sekehendak hati mereka, kemudian kembali ke sarang-sarangnya. Kemudian Rabb mereka menampakkan diri kepada mereka dan berfirman: “Apakah kalian punya kebutuhan, kalian menginginkan sesuatu?” Mereka mengatakan; “Tidak, kecuali kami ingin kembali ke dunia dan terbunuh sekali lagi.” (HR Ad Darimi 2303)

Semoga seperti halnya remaja tersebut, ibunya dan Abu Qudamah jiwa, raga dan pikiran kita tersedot habis di jalan Allah hingga titik darah penghabisan. (RA/02/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: توفيق

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.