Sebuah perahu karet yang penuh sesak oleh migran asal Afrika, pada bulan Januari 2018 meninggalkan pantai Garabulli, yang terletak 60km arah timur Tripoli, ibu kota Libya. Namun kemudian tenggelam beberapa mil dari pantai.
“Ini risiko, tentu saja,” kata Ibrahim, pria berusia 32 tahun yang bekerja sebagai kepala geng penyelundup manusia dari Libya ke Eropa. “Kadang kala mereka ditangkap, terkadang mereka tenggelam, tapi mereka sadar akan (risikonya).”
Bagi Ibrahim, pria bertitel sarjana tekhnil sipil itu, dirinya hanya mengatur penyediaan perahu dan tidak bertanggung jawab untuk hal yang lainnya.
Baca Juga: Komunitas Arab di Inggris Desak PM Keir Starmer Hentikan Genosida di Gaza
Ibrahim yang memiliki gudang tempat menampungan sementara para migran, akan membawa para migran dalam kendaraan 4×4 menuju pantai Garabulli yang paling populer untuk keberangkatan menyeberang ke Eropa.
Mobil berangkat malam hari melintasi bukit pasir, mengikuti jalur yang telah dilalui oleh ratusan perjalanan dari gudang penampungan menuju laut. Setibanya di pesisir, para migran disuruh menunggu di dalam hutan atau di balik semak-semak, sementara Ibrahim dan anak buahnya menyiapkan perahu bagi para migran yang diselundupkan.
Jalan menuju teluk dekat dengan mercusuar besar Garabulli.
Migran berangkat dari area kanan mercusuar. Di pasir pantai ada sisa-sisa sepatu, sandal, tas dan benda lainnya. Itu adalah benda-benda migran yang terakhir ditinggalkan atau hilang sebelum pergi.
Baca Juga: Di KTT G20 Brasil, Erdogan Tegaskan Pentingnya Gencatan Senjata di Gaza
Di sebelah kiri mercusuar adalah markas penjaga pantai setempat. Namun, penjaga pantai lokal tidak memiliki kekuatan di daerah itu. Mereka bahkan tidak punya kapal. Satu-satunya kapal yang mereka miliki sekarang terbaring, hancur, di halaman depan kantor mereka.
Di belakang bangunan mercusuar dikuburkan puluhan orang, mayat dari para migran yang meninggal di laut.
Penjaga pantai cukup membuat lubang dengan buldozer dan melemparkan mayat migran ke dalamnya. Tidak ada batu nisan bagi para migran yang meninggal. Bahkan tidak ada yang menunjukkan tanda bahwa hamparan tanah itu mengubur tubuh laki-laki, perempuan dan anak-anak yang meninggal di laut dalam usaha sia-sia untuk pergi ke “negeri ekonomi” harapan.
Di sekitar markas penjaga pantai, seolah-olah tidak terjadi apa-apa di sana. Para pedagang dan penyelundup manusia bisa menyetir mobilnya dengan bebas, kendaraan mereka tanpa pelat pendaftaran.
Baca Juga: AS Sanksi Organisasi dan Perusahaan Israel Pendukung Kolonialisme
Ibrahim tahu kelompok mana saja yang sedang beroperasi dan tahu siapa yang merencanakan perjalanan selanjutnya.
Khaled adalah salah satu pengemudi Ibrahim. Dia berusia 29 tahun, memiliki istri dan dua anak kecil. Hingga satu setengah tahun yang lalu, dia adalah seorang guru yang bekerja di Tajoura, pinggiran ibu kota Tripoli.
Kemudian pemerintah berhenti membayar gaji pegawai negeri sipil dan uang tunai menjadi langka. Karena tidak dapat meninggalkan negara tersebut, Khaled bergabung dengan geng Ibrahim. Dia dibayar 300 dinar Libya (US$ 34) untuk setiap perjalanan dari Beni Walid ke Garabulli untuk membawa tiga atau empat migran sekaligus.
Jadi, Khaled adalah seorang guru matematika muda tanpa gaji dan tanpa prospek, telah menjadi bagian dari satu-satunya bisnis di Libya yang terus memastikan arus kas yang tidak terputus, yaitu perdagangan manusia.
Baca Juga: Turkiye Konfirmasi Tolak Akses Wilayah Udara untuk Presiden Israel
Ada banyak pria yang meminta Ibrahim untuk pekerjakan, sebab di Libya tidak ada pekerjaan, tidak ada rencana untuk masa depan, tidak ada investasi. Orang-orang muda seperti Ibrahim tidak tahu harus berbuat apa. Jadi, mengatur perjalanan orang-orang Afrika untuk menyeberang ke Eropa adalah hal yang paling sederhana bisa dilakukan.
“Kami akan melanjutkan bisnis kami selama mungkin. Jika seseorang mencegah kami, kami akan menemukan solusi lain. Migran selalu menemukan cara untuk melarikan diri. Dan kami selalu menemukan cara untuk membiarkan mereka pergi,” kata Ibrahim berkisah kepada wartawan Francesca Mannocchi yang kemudian menulis kisahnya.
Libya saat ini adalah neraka di bumi bagi para migran. Namun selama beberapa dekade, negara Afrika utara telah menjadi tujuan pilihan bagi ribuan orang yang mencari pekerjaan, baik di Libya maupun di luar Laut Tengah.
Sebelum revolusi tahun 2011, ekonomi Libya kaya dan berkembang. Libya mempekerjakan hampir satu juta migran asing dari jumlah penduduk yang lebih dari enam juta orang.
Baca Juga: Netanyahu Akan Tetap Serang Lebanon Meski Ada Gencatan Senjata
Menurut Foreign Policy, jumlah “orang asing” di Libya sebelum 2011 – termasuk yang tidak dipekerjakan secara formal – mungkin berjumlah dua setengah juta, yaitu lebih dari sepertiga dari penduduk negara tersebut.
Hari ini sulit untuk memperjelas jumlah migran yang ada di Libya. (A/RI-1/P1)
(Sumber: tulisan Francesca Mannocchi di The New Arab. Ia adalah seorang jurnalis yang sebelumnya melaporkan pemberitaan dari garis depan pertempuran di Mosul dan krisis pengungsi di Libya.)
Baca Juga: Kepada Sekjen PBB, Prabowo Sampaikan Komitmen Transisi Energi Terbarukan
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Presiden Brazil: Tak Ada Perdamaian di Dunia tanpa Perdamaian di Gaza