Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Dalam kehidupan seorang muslim, sikap wala’ wal bara’ harus hidup dan tumbuh subur. Salah satu makna dan konsekuensi yang terkandung dalam kalimat syahadatain adalah munculnya sikap al-wala’ dan al-bara’.
Sikap al-bara’ (berlepas diri), adalah manifestasi dari pernyataan: “La Ilaha” (Tidak ada sesembahan). Kata La adalah an-nafy, yaitu kata penolakan. Sedangkan kata Ilah (sesembahan) adalah al-manfiy, yaitu kata yang ditolak.
Jadi, kata La Ilaha mengandung makna al-bara’ (menolak/berlepas diri), seperti sikap berlepas dirinya Nabi Ibrahim alaihissalam terhadap kekufuran dan kemusyrikan. Hal ini diungkapkan dalam firman Allah Ta’ala berikut,
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 4).
Dalam kata al-bara’ terkandung makna: al-kufr (mengingkari), al-‘adawah (permusuhan), al-mufashalah (pemisahan), dan al-bughdu (kebencian).
Sikap al-bara’ juga biasanya diiringi sikap al-hadamu (menghancurkan/memerangi). Dalam hal ini, maksudnya adalah menghancurkan/memerangi apa-apa yang dibenci oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Sementara, sikap al-wala (loyal), adalah manifestasi dari pernyataan: “Illa-Llah” (kecuali Allah). Kata Illa adalah al-itsbat (kata peneguhan/pengecualian). Sedangkan kata Allah adalah al-mutsbat (yang diteguhkan/dikecualikan). Artinya kepada Allah Ta’ala sajalah ditujukan al-wala’ (loyalitas). at-tha’ah, (ketaatan), an-nushrah (pertolongan), al-qurbu (pendekatan), dan al-mahabbah (kecintaan).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Sikap seperti inilah yang hendaknya senantiasa dibangun (al-bina). Yakni mencintai apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728])
Dari penjelasan di atas, al-wala’ dan al-bara’ dapat didefinisikan sebagai penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala serta apa yang dibenci dan dimurkai oleh-Nya dalam hal perkataan, perbuatan, kepercayaan dan orang. Dari sini kemudian kaitan-kaitan al-wala’ dan al-bara’ dibagi menjadi empat antara lain sebagai berikut.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Pertama, perkataan; dzikir dicintai Allah, sedangkan mencela dan memaki dibenci Allah Ta’ala.
Kedua, perbuatan; shalat, puasa, zakat, sedekah dan berbuat kebajikan, mengerjakan sunnah-Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dicintai Allah sedangkan tidak shalat, tidak puasa, bakhil, riba, zina, minum khamr dan berbuat bid’ah dibenci Allah Ta’ala.
Ketiga, kepercayaan; iman dan tauhid dicintai Allah Ta’ala sedang kufur dan syirik dibenci Allah Ta’ala.
Keempat, orang yang muwahhid (mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah) dicintai Allah Ta’ala, sedangkan orang kafir dan musyrik, munafiq dibenci Allah Ta’ala.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Pembagian manusia berdasarkan al-wala’ dan al-bara’
Dalam Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah (hal. 195), disebutkan bahwa manusia, dari sudut al-wala’ dan al-bara’, terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama, orang yang berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) mutlak, yaitu orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka dalam agama mereka dan meninggalkan larangan-larangan agama dengan ikhlas semata-mata karena Allah Azza wa Jalla.
Kedua, orang yang berhak mendapatkan wala’ di satu sisi dan berhak mendapatkan bara’ (pemutusan loyalitas) di sisi lain. Artinya, seorang muslim yang melakukan maksiat, yang melalaikan sebagian kewajiban agamanya dan melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan Allah, namun tidak menyebabkan ia menjadi kufur dengan tingkat kufur besar.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Dasarnya adalah riwayat Imam al-Bukhari dari sahabat ‘Umar bin Khaththab ra bahwasanya ada seseorang pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Abdullah, diberi laqab (gelar) dengan ‘himar’, dan ia sering membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tertawa. Ia pernah didera dengan sebab minum khamr. Kemudian pada suatu hari ia dibawa lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan sebab minum khamr), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk didera. Lalu ada seseorang dari kaum itu berkata, “Ya Allah, laknat (kutuk)lah dia, betapa sering ia dibawa menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk didera).” Maka Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَلْعَنُوْهُ فَوَاللهِ مَا عَلِمْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ
“Janganlah kamu mengutuknya, sesungguhnya ia (masih tetap) mencintai Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Bukhari).
Ketiga, orang yang berhak mendapatkan bara’ mutlak, yaitu orang musyrik dan kafir, baik ia dari golongan Yahudi atau Nasrani maupun Majusi dan lainnya, wallahua’lam. (A/RS3/P2)
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat